Jurnalisme Sains dan Indonesia yang Terjajah Lewat Lidah

192
Jurnalisme Sains dan Indonesia yang Terjajah Lewat Lidah

Jurnalisme Sains dan Indonesia yang Terjajah Lewat LidahJURNALISME SAINS – Tejo Wahyu Jatmiko dari Indonesia Berseru membawakan materi soal pangan dihadapan para jurnalis peserta Face to Face Meeting, yang digelar oleh Society of Indonesian Science Journalist (SISJ), di Jakarta, Jumat (21/7/2017). (Foto Istimewa)

 

ZONASULTRA.COM, JAKARTA – Soekarno pernah mengatakan, pangan adalah soal hidup mati bangsa. Namun hingga setengah abad setelah pernyataan itu, pangan belum mendapat perhatian cukup dari pemerintah Indonesia.

Hal itu diungkapkan oleh Tejo Wahyu Jatmiko dari Indonesia Berseru, lembaga yang fokus pada isu pangan serta desa mengatakan, Indonesia mengalami paradoks (kontradiksi) soal pangan. Memiliki sumber pangan yang beragam, tapi penggalian manfaatnya sangat. Semantara, keran impor pangan dibuka seluas-luasnya oleh pemerintah.

“Sumber karbohidrat kedua kita sekarang roti dan mie. Banyak yang tidak tahu bahwa terigu itu 100 persen impor. Indonesia dijajah mulai dari lidah kita,” tutur Tejo dihadapan para jurnalis peserta Face to Face Meeting, Indonesian Science Journalists Mentoring Program 2017, yang digelar oleh Society of Indonesian Science Journalist (SISJ) di Jakarta, Jumat (21/7/2017).

Masih terkait pangan, lembaga Indonesia Baru juga menemukan paradoks lain. Generasi milenial Indonesia memiliki pemahaman pangan yang sangat minim.

“Informasi pangan banyak tetapi mereka tahu sedikit,” kata Tejo.

Di tempat yang sama, Mariko Hayashi dari Sasakawa Peace Foundation mengatakan, meski fokus pada isu pangan, pelatihan jurnalisme sains ini diharapkan punya dampak lebih luas.

“Lewat pangan, kita berharap bisa mendorong perhatian pada persoalan pembangunan, hak asasi manusia, dan kerjasama dunia,” katanya.

Sementara itu, Ketua SISJ Harry Surjadi mengatakan, dalam upaya meningkatkan pemahaman publik, SISJ mengadakan pelatihan jurnalisme sains yang fokus pada isu pangan. Pelatihan itu didukung oleh Sasakawa Peace Foundation dan British Council .

“Pelatihan ini fokus pada isu pangan dari sisi sains. Harapannya, informasi pangan yang tersebar berbasis riset dan bisa mendasari kebijakan (pemerintah) berbasis penelitian,” ujar Harry.

Theresa Birks dari British Council juga mengatakan hal yang sama. Menurutnya, jurnalisme sains berperan penting dan menjadi salah satu perhatian lembaganya.

“Di tengah beragam hoax, klaim, dan informasi yang tidak benar, termasuk dalam soal pangan, jurnalisme sains diharapkan bisa memberi pencerahan,” ungkapnya.

Pelatihan yang digelar itu merupakan tindak lanjut dari program Science journalist Coorporation (SjCOOP) Asia yang diprakarsai World Federation of Science Journalists (WFSJ) untuk memajukan jurnalisme sains di kawasan Asia Tenggara.

Pelatihan dari 20 sampai 23 Juli 2017 itu diikuti oleh 20 jurnalis berdasarkan seleksi dari berbagai media, mulai Tempo.co, Kompas.com, Tirto.id, BBC Indonesia, Kumparan, grup Tribun, dan lainnya. Jurnalis dari Sulawesi Tenggara (Sultra) yang turut serta adalah Muhamad Taslim Dalma yang berasal dari salah satu media online zonasultra.id. (B)

 

Reporter : Rizki Arifiani
Editor : Abdul Saban

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini