Kebijakan Kriminal /Criminalpolicy Terhadap Tindak Pidana Korupsi dalam Dimensi Post-Adjudikasi

544
OKKI OKTAVIANDI, S.Tr. Pas
Okki Oktaviandi, S.Tr. Pas

Dalam perspektif hukum pidana, tindak pidana korupsi ditafsirkan sebagai suatu bentuk kejahatanExtraordinary crime.Mengapa demikian? Edward O.S Hiariej, 2012menjelaskan bahwa Pertama, korupsi merupakan kejahatan terorganisasi, terencana dan massive yang dilakukan secara sistematis, Kedua, korupsi biasanya dilakukan dengan modus operandi yang sulit sehingga tidak mudah untuk membuktikannya, Ketiga, korupsi selalu berkaitan dengan kekuasaan. Keempat, korupsi adalah kejahatan yang berkaitan dengan nasib orang banyak karena keuangan negara yang dapat dirugikan sangat bermanfaat untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Peranan kebijakan kriminal hukum terhadap penanganan tindak pidana Extraordinary crime khususnya tindak pidana korupsi wajib dilaksanakan melalui extraordinary lawdan crime policy.G. PeterHoefnagelsmenjelaskan bahwa “crimepolicy is the rationalorganization of the social reaction to crime”yakniPenanggulangan kejahatan dengan menggunakan hukum pidana merupakan bagian darikebijakan kriminal.Penanggulangan kejahatan tersebut adalah dalam rangka untuk mencapaitujuan akhir dari kebijakan kriminal itu sendiri,yaitu memberikan perlindungan masyarakatdalam rangka untuk mencapai kesejahteraan bagi masyarakat.

Menelisik kasus terpidana Tindak Pidana Korupsi Muh. Nazaruddin yang baru – baru ini menjadi topik hangat di Warta Indonesia. Urgensinya adalah terkait dengan kebijakan kriminal terhadap tindak pidana korupsi serta bagaimana proses pembinaan yang didapatkan setelah pelaku incraht. Peran Muh. NazaruddinsebagaiJustice Collaboratortelahmembantuaparatpenegakhukumdalammengungkap TindakPidanaKorupsi di indonesia.Fakta yuridis menyebutkan bahwa:

A. Surat Keterangan yang diterbitkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan bahwa Terpidana atas nama Muhammad Nazaruddin, SE ;

  1. Surat Nomor R – 2250/55/06/2014 tanggal 09 Juni 2014 perihal Surat Keterangan bekerja sama dengan penegak hukum atas nama Mohammad Nazaruddin yang menyatakan bahwa yang bersangkutan selama proses penuntutan sampai dengan persidangan telah menunjukkan kerjasama yang baik dalam mengungkap perkara dugaan tindak pidana korupsi Pembangunan Pusat Pendidikan dan Pelatihan dan Sarana Olahraga Nasional (P3SON) di Hambalang.
  1. Surat Nomor R.25/6/55/06/2017 tanggal 21 Juni 2017, yang pada pokoknya menyatakan bahwa Surat Nomor R-2576/55/06/2017 tanggal 21 Juni 2017 perihal permohonan keterangan telah pada pokoknya menyatakan bahwa menurut pendapat Jaksa Penuntut Umum yang menangani perkara Nomor 159/Pid.Sus/TPK/2015/PN.Jkt.Pst surat keterangan dimaksud secara substansi yang bersangkutan bersikap kooperatif baik dalam perkara sebelumnya maupun perkara-perkara berikutnya.

B. Bahwa berdasarkan surat bersedia bekerjasama (JC) tersebut narapidana Muhammad Nazaruddin telah mendapatkan hak remisi sebanyak 45 bulan 120 hari

  1. Bahwa pada tanggal 30 Januari 2018, dengan pertimbangan telah memenuhi persyaratan administratif dan substantif usulan asimilasi kerja sosial dan pembebasan bersyarat narapidana atas nama Muhammad Nazaruddin, SE mendapat persetujuan dalam Sidang Tim Pengamat Pemasyarakatan Pusat.
  2. Bahwa atas rekomendasi TPP tersebut sesuai ketentuan Pasal 36A Ayat (3) serta Pasal 43B Ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 99 tahun 2012, Direktur Jenderal Pemasyarakatan meminta rekomendasi dari instansi terkait dan bersurat ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tanggal 05 Februari 2018 nomor PAS.3.PK-01.04.04-173.

Eksistensi Justice Colallaborator memegang peranan penting dalam rangka membantu aparat hukum dalam mengungkap kejahatan tindak pidana korupsi dalam rangka menegakkan keadilan atas nama kesejahteraan rakyat. Selain itu, Justice Collaborator membantu aparat hukum dalam memberikan kebijakan kriminal hukum terhadap pelaku tindak pidana korupsi dalam memberikan perlakuan terbaik setelah terpidana mendapat putusan dari Pengadilan. Relevansinya pada tahap Post – Adjudikasi atau bagian akhir dari sistem pemidanaan adalah menempatkan posisi Pemasyarakatan sebagai proses pembinaan bagi terpidana yang telah incraht  untuk mendapatkan perlakuan terbaik sehingga terpidana tersebut dapat diterima kembali ke masyarakat.

Apa yang dimaksud dengan Justice Collaborator?

  • Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor: 04 Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborators) di Dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu disebutkan sebagai pelapor tindak pidana adalah orang yang mengetahui dan melaporkan tindak pidana tertentu dan bukan bagian dari pelaku kejahatan yang dilaporkannya, sehingga seorang pelaku yang bekerjasama (justice collaborator) merupakan salah satu pelaku tindak pidana tertentu, mengakui kejahatan yang dilakukannya, bukan pelaku utama dalam kejahatan tersebut serta memberikan keterangan sebagai saksi di dalam proses peradilan.
  • Pasal 10 UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan KorbanadalahJustice Collaborator atau saksi sekaligus tersangka dalamkasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila terbuktisecara sah dan meyakinkan bersalah.
  • Justice Collaborator merupakan salah satu pelaku tindak pidana tertentu, mengenai kejahatan yang dilakukannya, bukan pelaku utama dalam kejahatan tersebut serta memberikan keterangan sebaga saksi di dalam proses peradilan (Firman Wijaya.2012 WB dan JC dalam Perspektif Hukum)

Relevansi Pemasyarakatan dalam Justice Collaborator di tahap Post – Adjudikasi

Pada dimensi pelaksanaan pidana yaitu tahap Post – Adjudikasi dalam sistem peradilan pidana hukum adalah menempatkan Pemasyarakatan sebagai pelaku utama yang berperan dalam memberikan perlakuan terbaik terhadap terpidana. Sasarannya adalah pembinaan kepada Warga Binaan Pemasyarakatan/ Narapidana. Fakta Yuridis menyatakan bahwa pada tahap post – ajudikasi, status seorang pelaku tindak pidana adalah incrahtatau dinyatakan sebagai orang yang bersalah menurut hukum. Di tahap ini tentu, narapidana dipandang sebagai orang yang wajib dibina, dibentuk serta mendapatkan keterampilan sehingga narapidana mengakui kesalahannya dan kembali menjadi manusia yang baik dan bertanggung jawab.Hakekatnya, Prinsip Pemasyarakatanmenyatakan bahwa pembinaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan, dan terpidana tetap diakui hak-hak asasinya sebagai manusia. Dengan kata lain, terpidana harus tetap memperoleh keadilan yang sesuai dengan kedudukannya sebagai seorang yang telah dinyatakan bersalah menurut hukum.

Relevansi Pemasyarakatan dalam aspek penjatuhan pidana terhadap justice collaborator dalam perkara yang termasuk organized crimekhususnya Tindak Pidana Korupsisejatinya adalah bentuk pemulihan kesatuan hidup, kehidupan dan penghidupan. Aspek dan dimensi ini pararel dengan eksistensi UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang pemasyarakatan dimana pada kahehatnya lembaga pemasyarakatan adalahwadah untuk membina narapidana menjadi orang yang baik dan diterima kembali di masyarakat.. Filsafat pemidanaan dan penjatuhan pidana di Indonesia bukan berdasarkan filsafat retributif, melainkan filsafat integratif. Oleh karena ini, untuk masa kini hendaknya pendekatan keadilan restoratif yang paling harus dikedepankan Indonesia.

Sejalan dengan filsafat integratif pada sistem pemidanaan di Indonesia tentu diperlukankebijakan kriminal terhadap justice collaborator dalam upaya penanggulangan organized crime. Kebijakan kriminal dapat berbentuk pemberian reward dan punishment terhadap justice collaborator dalam mengungkapkan secara signifikan terhadap perkara yang berdimensi organized crime. Mengapa demikian, tiada lain karena para justice collaborator tidak akan berani memberikan keterangan apa yang dilihat dan dialami karena ancaman tekanan dan intimidasi bahkan terancam keselamatan jiwanya, sementara itu organized crime tersebut menimbulkan masalah dan ancaman serius terhadap stabilitas ekonomi, perdagangan, ancaman dan ketertiban masyarakat, sehingga meruntuhkan lembaga serta nilai-nilai demokrasi, dan keadilan serta membahayakan pembangunan berkelanjutan dan supremasi hukum.

Kebijakan Kriminal terhadap Justice Collaborator

Hakikat model penjatuhan pidana bersyarat adalah mengelaborasi dari Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 4 Tahun 2011 dan ketentuan Pasal 37 ayat (2) UNCAC/Konvensi PBB Anti Korupsi 2003 adalah terhadap saksi pelaku yang bekerjasama (justice collaborator), maka pelaku merupakan salah satu pelaku tindak pidana tertentu, mengakui kejahatan yang dilakukannya, bukan sebagai pelaku utama dalam kejahatan tersebut serta memberikan keterangan sebagai saksi dalam proses peradilan. Kemudian Jaksa Penuntut Umum dalam tuntutan pidananya menyatakan yang bersangkutan telah memberikan keterangan dan bukti-bukti yang sangat signifikan sehingga penyidik dan/atau penuntut umum dapat mengungkap tindak pidana secara efektif, mengungkap pelaku-pelaku lainnya yang mempunyai peran lebih besar dan/atau mengembalikan aset-aset/hasil suatu tindak pidana. Atas bantuan tersebut, maka terhadap saksi pelaku yang bekerjasama (justicecollaborator) dalam dalam menjatuhkan pidana yang akan dijatuhkan dapat menjatuhkan pidana bersayarat khusus / Pembebasan Bersyarat dan/atau menjatuhkan pidana berupa pidana penjara yang paling ringan diantara terdakwa lainnya yang terbukti bersalah dalam perkara tersebut.

Bentuk Kebijakan Kriminal Terhadap Justice Collaborator       

A. Pembebasan Bersyarat

Pembebasan Bersyarat adalah proses pembinaan di luar lembaga pemasyarakatan, yang:

  • Setelah menjalani sekurang-kurangnya 2/3 masa pudana tersebut minimal 9 bulan;
  • Berkelakuan baik selama menjalani masa pidana paling singkat 9 bulan terakhir di hitung sebelum tanggal 2/3 masa pidana;
  • Telah mengikuti program pembinaan dengan baik, tekun dan bersemangat; dan
  • Masyarakat dapat menerima program kegiatan pembinaan narapidana.

B. Remisi

PERATURAN PEMERINTAH NO. 99 TAHUN 2012

Setiap narapidana dan anak pidana berhak mendapat remisi, dan dapat ditambah apabila selama menjalani pidana yang bersangkutan

  1. Berkelakuan baik; dan
  2. Telah menjalani masa pidana lebih dari 6 (enam)bulan.Bagi Narapidana yang dipidana karena melakukantindak pidana terorisme, narkotika danpsikotropika, korupsi, kejahatan terhadapkeamanan negara dan kejahatan hak asasimanusia yang berat, dan kejahatan transnasionalterorganisasi lainnya, diberikan Remisi apabilamemenuhi persyaratan sebagai berikut:
  • Berkelakuan Baik;
  • Tidak Sedang Menjalani Hukuman Disiplin Dalam Kurun Waktu 6 (Enam) Bulan Terakhir, Terhitung Sebelum Tanggal Pemberian Remisi
  • Telah Mengikuti Program Pembinaan Yang Diselenggarakan Oleh Lapas Dengan Predikat Baik ;
  • Telah Menjalani 1/3 (Satu Per Tiga) Masa Pidana;
  • Bersedia Bekerjasama Dengan Penegak Hukum Untuk Membantu Membongkar Perkara Tindak Pidana Yang Dilakukannya

3. Telah membayar lunas denda dan uang pengganti sesuai dengan putusan pengadilan untuk Narapidana yang dipidanakarena melakukan tindak pidana korupsi; dan

4. Telah mengikuti program deradikalisasi yang diselenggarakan oleh LAPAS dan/atau Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, serta menyatakan ikrar:

  • Kesetiaan kepada negara kesatuan republik indonesia secara tertulis bagi narapidana warga negara indonesia, atau
  • Tidak akan mengulangi perbuatan tindak pidana terorisme secara tertulis bagi narapidana warga negara asing, yang dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme.

PASAL 12 KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 174 TAHUN 1999 TENTANG REMISI

Memberikan pengecualian terhadap pemberian Remisi Umum dan khusus bagi Narapidana maupun Anak Pidana yaitu

a. Dipidana kurang dari 6 (enam) bulan;

b. Dikenakan hukuman disiplin dan di daftar pada buku pelanggaran tata tertib Lembaga Pemasyarakatan dalam kurun waktu yang diperhitungkan pada pemberian remisi;

c. Sedang menjalani Cuti Menjelang Bebas;d.Dijatuhi pidana kurungan sebagai pengganti pidana denda

Dengan pertimbangan terhadap perlakuan bagi pelaku Justice Collaborator diharapkan dapat mengungkap tindak pidana korupsi di Indonesia serta mengembalikan aset negara demi kepentingan rakyat. Selanjutnya, pelaksanaan putusan pengadilan terhadap Tindak Pidana Korupsi agar dapat menyadarkan pelaku akan kesalahannya sehingga dapat memperbaiki diri dan menjadi manusia yang baik dan bertanggung jawab.

 

Oleh OKKI OKTAVIANDI, S.Tr. Pas
Penulis Merupakan ASN Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini