Kepahlawanan Oputa Yikoo, Diprakarsai AS Tamrin, Ali Mazi Jadi Ahli Waris

1654
Kepahlawanan Oputa Yikoo, Diprakarsai AS Tamrin, Ali Mazi Jadi Ahli Waris
ZIARAH - Makam Oputa Yikoo, La Karambau alias Sultan Himayatuddin Muhammad Saidi yang berada di puncak Gunung Siontapina. Saban tahun, di musim kemarau, makam ini akan dikunjungi warga Buton untuk dibersihkan dan sekadar berziarah. (Risno Mawandili/ZONASULTRA.COM)

ZONASULTRA.ID, BAUBAU – Orang Buton patut berbangga dengan gelar pahlawan nasional yang disematkan kepada Oputa Yikoo, La Karambau alias Sultan Himayatudin Muhammad Saidi. Stigma yang melekat sebagai kawan kolonial Belanda di masa penjajahan pun bisa sirna.

Tapi siapa yang punya ide mengajukan Sultan Himayatudin segai pahlawan? Siapa ahli warisnya? Bagaimana perjuangan tim hingga ajuan itu diteken Presiden Joko Widodo atau Jokowi?

Ketua Tim Peneliti Pengkaji Gelar Daerah (TP2GD) Pengusulan Sultan Himayatuddin, Tasrifin Tahara menceritakan kisah di balik gelar pahlawan nasional si Sultan.

Mulai dari Wali Kota Baubau AS Tamrin yang jadi motor pengajuan, Gubernur Ali Mazi didaulat sebagai ahli waris, dan 6 September 2019 Presiden Jokowi meneken Surat Keputusan Sultan Himayatudin sebagai pahlawan nasional.

Pertengahan April 2019, Tasrifin bersama beberapa kawannya diundang AS Tamrin di kediamannya. Undangan tersebut ternyata untuk membahas pengajuan si Sultan sebagai pahlawan nasional. Tasrifin lalu ditunjuk sebagai Ketua TP2GD.

(Baca Juga : Pemkot Baubau Gelar Seminar Usulkan Raja La Karambau Jadi Pahlawan Nasional)

Pekerjaan Tasrifin bersama tim dimulai saat itu. Mereka mengumpulkan berbagai arsip bukti perjuangan Oputa Yikoo mengusir panjajah. Bukti dikumpulkan, naskah akademik lantas disusun.

Berdasarkan cerita Tasrifin, timnya saat itu cuma memperbaiki lagi naskah akademik yang sudah ada. Pasalnya, sebelum mereka, Oputa Yikoo pernah diusulkan sebagai pahlawan nasional. TP2GD bentukan AS Tamrin merupakan usulan kali ketiga.

Tasrifin tidak merincikan usulan pertama dan kedua. “Kami mencari sumber dari naskah-naskah di perpustakaan Belanda, kami juga mengumpulkan sumber perjuangan Sultan Himayatudin dari buku-buku sejarawan Indonesia,” terangnya pada zonasultra saat dihubungi, Jumat (8/11/2019).

BACA JUGA :  Disabilitas Netra dan Pemilu: Antara Keinginan dan Keraguan Memilih

Dia melanjutkan, materi yang paling berperan dari penyusunan naskah akademik adalah buku kepunyaan Prof Susanto Zuhdi, seorang sejarawan dari Universitas Indonesia, Labu Wana Labu Rope, dan yang terbaru Tentang Perlawanan Sultan Himayarudin, dua di antara bukunya yang menceritakan riwayat Oputa Yikoo mengusir kolonial Belanda.

“Sangat sulit memang, tapi itu tugas yang harus kami laksanakan agar naskah yang kami ajukan pada presiden membuhkan hasil,” tegas Tasrifin.

Kesulitan lainya yakni menentukan makam si Sultan. Oputa Yikoo kata Tasrifin, memiliki tiga makam. Masing-masing masyarakat punya versi kebenarannya sendiri-sendiri.

Begitulah di Buton. Kata Tasrifin, orang sakti akan memiliki banyak kuburan. Mana yang asli, penelusuran sejaralah yang akan menguaknya.

(Baca Juga : Berkas Pengusulan Oputa Yi Koo sebagai Pahlawan Nasional Segera Dibawa ke Presiden)

“Akhirnya setelah berdiskusi dengan tetua-tetua adat, dan mencari sumber sejarah, kami menetapkan makam Sultan Himayatuddin berada dalam kawasan benteng keraton,” bebernya.

Kerumitan masih berlanjut. Kali ini penentuan ahli waris. Pewaris Sultan Himayatuddin sudah generasi kesembilan. Untuk menentukan siapa ahli waris, TP2GD mencari jejak-jejak genealogi dengan saksama. Ali Mazi akhirnya dipilih.

“Tahu sendiri kan kalau dari tahun 1700-an sampai saat ini (2019), bagaimana kita mencari jejak-jejak genealogi, sulitnya,” akunya.

Keluar dari Kemapanan Seorang Sultan

Kesulitan paling mendasar dari menjari jejak perjuangan Oputa Yikoo, Lakarambau alias Sultan Himayatuddin Muhammad Saidi, disebabkan lakonnya yang senyap.

Tasrifin mengisahkan, saat Oputa Yikoo menjadi Sultan ke-20, dia memilih turun tahtah untuk melawan Belanda. Kemudian lari ke hutan menju Gunung Siontapina, bermukim di puncaknya, menghimpun kekuatan, kemudian gerilya melawan kolonial.

BACA JUGA :  Hakim Perempuan di PN Andoolo Ungkap Keresahan, dari Minim Fasilitas hingga Rentan Intervensi

Berhasil mengusir penjajah dia lalu diangkat kembali menjadi Sultan Keraton Buton ke-23. Dia merupakan satu-satunya yang dua kali diangkat jadi sultan di tempat itu.

“Sosok yang berani keluar dari kemapanan. Dia meninggalkan tahtanya sebagai sultan yang ke-20 untuk bergerilya, meninggalkan istri dan anaknya, hanya untuk mengusir (penjajah) Belanda,” kata Tasrifin.

Oputa Yikoo juga merupakan satu-satunya Sultan Keraton Buton yang berani menentang kolonialisme. Masa itu, Buton masih menjadi sekutu Belanda. Dia menentang karena tidak sepakat dengan penjajahan.

“Kisahnya selalu kita dengarkan, tapi bukti bahwa dia menentang Belanda pada masa penjajahan, sulit kita dapatkan,” ungkap Tasrifin.

Bukti Buton Bukan Sekutu Penjajah

Masa Kesultanan, Buton dianggap sekutu penjajah karena bekerja sama dengan kolonial Belanda. Lewat perlawanan Oputa Yikoo yang kini jadi pahlawan nasional, stigma itu bisa hilang.

Itulah harapanTP2GD. Istilah Tasrifin, meluruskan sejarah. Harapan berikutnya, guna menghargai jasa-jasa leluhur.

“Kami ingin membuktikan kalau Buton itu adalah satu wilayah yang terpenting, yang dulu punya spirit-spirit kepahlawanan, yang mengusir penjajah, dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia,” urainya.

Untuk membuktikan itu semua, TP2GD merangkum kisah Oputa Yikoo demi diusulkan sebagi pahlawan nasional. Kesulitannya bagai menyusun puzzle dalam posisi acak. Puncaknya, puzzle tersusun dengan Oputa Yikoo jadi pahlawan nasional. (SF/*)

 


Penulis: Risno Mawandili
Editor: Jumriati

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini