Kisah Mahasiswa Asal Buton yang Kuliah di Tiga Negara Eropa Sekaligus

15097
La Ode Marzujriban M. Rachman (DOKUMENTASI FOR ZONASULTRA.COM)
La Ode Marzujriban M. Rachman (DOKUMENTASI FOR ZONASULTRA.COM)

ZONASULTRA.COM, KENDARI – Ada pepatah yang mengatakan ‘ Tuntutlah ilmu hingga ke negeri China’. Nah, mungkin pepatah ini sangat cocok bila disematkan dengan perjuangan salah satu generasi muda asal Kota Baubau, Pulau Buton yang saat ini mampu melanjutkan kuliah Strata Dua (S2) nya di tiga negara benua Eropa dalam waktu bersamaan.

Ia adalah La Ode Marzujriban M. Rachman, anak pertama dari pasangan La Ode Masfara dan Wa Ode Kamariah.

Pria yang dikenal dengan sapaan akrab iban ini kuliah di Universitas Teknologi Delft (TU Delft) , Delft Belanda, Institut Teknologi Konfederasi Zurich (ETH Zurich), Swiss dan Universitas Teknologi Rhein Westfalen Aachen (RWTH Aachen), Jerman dengan mengambil jurusan spesialiasi geofisika terapan sejak September tahun 2017 lalu.

Sebelumnya, iban menyelesaikan kuliah S1 di Universitas Hasanuddin (Unhas), Makassar tahun 2011 dengan memilih program studi geofisika. Ia juga sempat mengikuti student exchange ke Australia selama satu bulan di Universitas Teknologi Sidney.

Pemuda berusia 25 tahun itu, mengikuti program join degree dari pemerintah untuk bisa melankutkan studi S2 di tiga negara sekaligus. Program kembaran atau gelar ganda (double degree) adalah penyelenggaraan kegiatan antar perguruan tinggi baik dalam negeri maupun melalui kerjasama antara perguruan tinggi di dalam negeri dengan perguruan tinggi di luar negeri, untuk melaksanakan suatu program studi secara bersama serta saling mengakui lulusannya.

La Ode Marzujriban M. Rachman (DOKUMENTASI FOR ZONASULTRA.COM)

“Kenapa memilih geofisika, karena saya menyukai science dari kecil serta universitas yang memiliki prodi geofisika saat itu cukup jarang dan salah satu yang terbaik ada di Unhas pada waktu itu,” ungkap Iban saat dikonfirmasi awak zonasultra melalui sambungan chat Facebook Mesengger dan Gmail, Kamis (14/3/2019).

Alasannya untuk melanjutkan kuliah di luar negeri, terutama di Benua Eropa karena program yang ditawarkan sangat menarik serta diajarkan oleh pakar-pakar geofisika. Para pakar terkenal ini biasanya hanya ia membaca namanya melalui buku, dan kini dirinya pun dapat langsung berinteraksi soal pendidikan dengan mereka.

Baca Juga : Kisah Ibu Pemecah Batu di Maligano: Berjuang Demi Anaknya yang Mengidap Tumor

Sebut saja Profesor Kees Waapenar dari TU Delft, Profesor Johan Robertson dari ETH Zurich dan pembimbingnya saat ini Profer Andrew Curtis dari Edinbrugh University dan ETH Zurich.

Selain itu, ada beberapa tokoh yang Iban kagumi yakni Einstein dan mantan Presiden RI BJ. Habibie, serta salah satu ilmuan muda asal Indonesia Yogi Ahmad Erlangga. Untuk diketahui, Yogi Ahmad Erlangga lulusan TU Delft adalah seorang ilmuwan yang berhasil memecahkan persamaan Helmholtz menggunakan metode matematika numerik dan mendapatkan Penghargaan Bakrie Award X pada Agustus 2012. Saat ini Yogi mendapatkan penghargaan berupa trofi, piagam, dan uang sebesar Rp 250 juta bersama 5 orang lainnya dari Abul Rizal Bakrie.

“Mereka masing-masing berkuliah di eth zurich, rwth aachen dan tu delft. Sehingga ketika saya mendapatkan program ini, saya semangat untuk mengikutinya, selain karena memang karena cita-cita dan minat saya pada ilmu yang saya tekuni, saya juga ingin menemukan tantangan baru serta mengikuti jejak idola-idola saya itu,” jelasnya.

BACA JUGA :  Seorang Wanita di Kendari Jadi Korban Salah Tembak Polisi

Untuk jadwal perkuliahan, dijelaskan anak sulung dari empat bersaudara itu bahwa perkuliahan di tiga universitas tersebut telah diatur oleh komite program perberdaannya adalah karena ia joint master dan berpindah-pindah, maka ia mengambil kredit yang berlebih dari perkuliahan biasa, sebab jika tidak lulus di salah satu universitas maka dirinya akan kehilangan ketiga degreenya atau gelarnya.

Kisah Mahasiswa Asal Buton yang Kuliah di Tiga Negara Eropa Sekaligus
Berikut lengan robot dan laser yang digunakan Iban untuk penelitian di Swiss dibawah supervisi ETH Zurich. (DOKUMENTASI FOR ZONASULTRA.COM).

Dengan sebaik mungkin, Iban pun berusaha mengatur waktu serta menyusun jadwal dengan rapi dan konsisten. Untuk mengisi kekosongan waktu selain fokus belajar, ia juga menjaga kesehatan dengan rutin berolahraga. Saat musim panas, Iban memilih untuk magang di pusat riset kebumian di ETH Zurich.

Sedikit bercerita, saat tinggal di Belanda jarak tempuh dari tempat tinggalnya dengan kampus sekitar menggunakan sepeda, sementara di Swiss sekitar setengah jam menggunakan kereta antar kota dan tram. Untuk di Jerman semua mahasiswa mendapat kartu transportasi gratis, dan disana Iban bebas menggunakan bus ataupun kereta ke kampus dengan jarak tempuh sekitar 8 hingga 15 menit.

“Mobilisasi pun cukup mudah untuk pindah dari satu kampus ke kampus lain, karena kampus telah membooking housing untuk kami. Sisa kami yang harus ke negara tujuan, bisa menggunakan bus, pesawat atau fast train dan waktunya bervariasi dengan pesawat seabagai moda tercepat dengan waktu kurang dari dua jam,” tutur lulusan SDN 7 Baubau ini.

Baca Juga : Kisah Guru Honorer di Koltim, Berjalan Kaki 14 Kilometer untuk Bisa Mengajar

Dalam kurun waktu satu minggu, ia kuliah kurang lebih 40 jam dengan alokasi waktu belajar mandiri 2 sampai 3 jam perhari, dan sampai saat ini perkuliahannya tidak bertabrakan sebab telah diatur oleh komite program.

Untuk berkomunikasi dengan masyarakat atau mahasiswa di sana, dirinya tidak menemukan kesulitan yang berarti terutama di Belanda dan Swiss, lain halnya di Jerman penggunaan bahasa inggirs masih kurang jika di luar lingkungan kampus, sehingga Iban harus belajar bahasa jerman meskipun sangat dasar dan itu cukup berguna untuk bertahan hidup disana.

Iban saat ini tinggal di Swiss, untuk beradaptasi dengan lingkungan Eropa bagi pemuda yang hobi olahraga dan nonton film ini cukup mudah, karena ia sudah terbiasa merantau dan kerja di lingkungan ekstrim. Jadi normalnya sehari-hari ia memakai jaket yang tebal kemudian makanan ia memilih untuk memasak sendiri, selain alasan untuk kesehatan guna menjaga berat badan (diet).

Saat ini dirinya lebih mengkonsumsi makanan vegetarian terutama untuk makan siang seperti salad dan telur, atau spagethi, kadang pula ia membuat opor ayam dengan nasi hangat tapi biasa juga makan buah.

“Untuk makanan favorit saya gulai ikan buatan ibu saya, karena saya tumbuh dan besar dengan memakan ikan. Tapi sesekali saya keluar untuk makan di restoran dan untuk soal rasa saya tidak ada masalah,” celetusnya.

Saat ini, alumnus SMPN 1 Betoambari itu sedang fokus untuk menyelesaikan tesisnya berkaitan dengan gelombang ultra sonik, yang memanfaatkan lengan robot dan laser guna merekam penjalaran gelombang untuk melokalisasi rekahan. Aplikasinya mulai dari seismologi, non-destructive testing hingga medis.

BACA JUGA :  Hakim Perempuan di PN Andoolo Ungkap Keresahan, dari Minim Fasilitas hingga Rentan Intervensi

Kuliah di Belanda ia banyak belajar tentang teori dan konsep serta beberapa praktikal. Di Swiss lebih condong pada metode numerik serta praktek lapangan, sementara di Jerman lebih ke aplikasi konsep melalui pendalaman teori serta coding.

Dijelaskan Iban, kuliah di tiga Universitas itu masing-masing diselesaikan dalam kurun waktu satu semester untuk mengambil mata kuliah wajib dan mendapat gelar. Untuk tesis ia bersama mahasiswa lainnya dipersilahkan memilih dari 60 list yang diberikan. Tesis tersebut dapat dilakukan di Inggris, Belanda, Jerman, Paris, Italy hingga United State (US).

Kisah Mahasiswa Asal Buton yang Kuliah di Tiga Negara Eropa Sekaligus

“Saya memilih di swiss di bawah supervisi ETH Zurich dan akan di uji oleh penguji dari RWTH Aachen dan TU Delft. Pada akhirnya kami akan mendapatkan masing-masing gelar dari kampus tersebut dari TU Delft, kami diberikan gelar master of science (in english) serta diberi gelar Ir (“Ingenieur”) versi Belanda, oleh ETH kami diberi gelar Master of Science (M.Sc) in Applied Geophysics dan oleh RWTH Acchen kami di beri gelar M.Sc.RWTH,” pungkasnya.

Pendidikan S2 ini harus diselesaikan lulusan SMA Negeri 1 Baubau itu dalam dua tahun dan jika semua berjalan lancar ia akan wisuda pada bulan Agustus 2019 mendatang. Setelah menyelesaikan studinya tersebut Iban berniat melanjutkan karier di pusat riset sebagai peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) ataupun, maupun perusahaan yang berkaitan dengan geofisika seperti minyak dan gas. Ia pun mempunyai impian memiliki suatu usaha yang bersifat sociopreneur.

Baca Juga : Menumbuhkan Asa, Membangun Mimpi, Kisah Inspiratif Yais Dirikan SLB di Tengah Hutan

Sociopreneur adalah usaha atau bisnis yang tidak hanya mengambil keuntungan semata, ada unsur sosial di dalamnya. Usaha yang tidak bertujuan untuk memperkaya diri sendiri ini berkontribusi dalam kesejahteraan banyak orang. Jenis-jenis usaha sociopreneur sangat beragam, mulai dari lingkungan, kesehatan, bahkan hingga pendidikan. Hal ini tergantung orang yang melakukannya. Biasanya mereka akan memulai dari hal yang paling disukainya.

Baginya dukungan dan doa dari kedua orang tua menjadi motivasi terbesar untuk menyelesaikan pendidikan sesuai waktu yang ditetapkan. Ia juga tak lupa tetap menjaga komunikasi via pesan singkat atau melalui sosial media dengan sahabatnya waktu semasa sekolah dan kuliah.

“Ibu dan ayah saya membebaskan kami (anak-anaknya) untuk mengambil jalan apapun yang kami mau dengan syarat bertanggung jawab serta selalu mengingat tuhan dalam berbagai urusan,” kata Iban.

Iban pun memberikan pesan bagi generasi muda yang masih menjalani proses pendidikan agar selalu percaya dengan impian, percaya pada sendiri, kerja keras dan tidak mudah berpuas diri serta lakukan apapun yang Anda cintai dengan penuh hati bukan karena paksaan.

“Dan yang terakhir dan paling mujarab adalah minta restu dan doa orang tua, sisanya biarkan tangan tuhan yang bekerja,” tukasnya. (**)

 


Reporter : Ilham Surahmin
Editor : Kiki

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini