Kisah Transmigran di Muna, Tuai Manisnya Hidup dengan Budidaya Buah Naga

2512
Kisah Transmigran di Muna, Tuai Manisnya Hidup dengan Budidaya Buah Naga
PANEN BUAH - Ketua Penggerak PKK Desa Langkoroni, Sri Hayu saat panen buah naga di kebun milik Sabar Santoso. (NASRUDIN/ZONASULTRA.COM)

ZONASULTRA.COM, RAHA – Semringah. Lekukan wajahnya berbinar membentuk senyuman bahagia. Begitu sapaan yang kerap ditawarkan Sabar Santoso (47) warga transmigrasi asli Jawa Timur kepada setiap orang yang berkunjung ke rumahnya, di Trans II Desa Langkoroni, Kecamatan Maligano, Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara (Sultra).

Warga asli Banyuwangi ini ikut program transmigrasi ke Pulau Muna pada 2012. Ia merajut asa bertekad merubah nasib jadi lebih baik di perantauan. Modal berani, lelaki yang akrab disapa Sabar ini menafkahi keluarganya dengan bercocok tanam.

Sabar, istri dan tiga anaknya adalah generasi keempat transmigran dari Pulau Jawa yang merintis kehidupan di Desa Langkoroni. Selain mereka juga ada transmigran dari Bali dan Bugis.

Sabar bercerita, awal kehidupan 2012 lalu di desa yang kini dicanangkan sebagai kampung buah oleh pemerintah setempat sangat sulit. Kawasannya masih berupa hutan. Para transmigran harus bertahan dengan kondisi yang serba terbatas.

Kisah Transmigran di Muna, Tuai Manisnya Hidup dengan Budidaya Buah Naga

Bahkan hidup mereka jauh dari hiruk – pikuk keramaian. Berjarak 10 kilometer dari ibukota kecamatan, Sabar hidup berdampingan dengan ratusan warga yang mendiami lokasi trans dua, di jalur yang menghubungkan Kabupaten Muna dan Buton Utara (Butur).

Berbekal keahlian bertani dan pernah mengenyam pendidikan di Sekolah Pertanian Menengah Atas (SPMA) di Banyuwangi, Sabar mulai mengembangkan buah naga di tempat tinggalnya. Buah yang merupakan tanaman asli dari Meksiko ini ia kembangkan sejak awal 2013.

Saat dikunjungi awak zonasultra.id di kediamannya, lelaki yang usianya sudah tidak muda ini masih gesit merawat buah naga di kebun belakang rumahnya. Ia memangkasi sebagian batang tanaman itu dan sesekali membersihkan tanah di bawahnya.

Ia pun menceritakan kisahnya jatuh bangun membudidayakan buah naga hingga sayur mayur. Ia mengaku menikmati hasil panen awal buah naga setelah tiga tahun masa tanam. Ia sempat bingung karena tuntutan kebutuhan yang selalu kurang, padahal di Pulau Jawa panen awal buah naga hanya berkisar delapan bulan.

BACA JUGA :  Disabilitas Netra dan Pemilu: Antara Keinginan dan Keraguan Memilih

Sabar awalnya tak semangat karena tahun pertama tanaman buah naga yang ditanamnya tak berbuah. Gagal. Kesabarannya nanti berbuah manis setelah tiga tahun berikutnya.

“Nanti tiga tahun baru berbuah. Itupun hanya beberapa saja. Tapi saya lantas tidak patah semangat, bahkan semangat saya semakin meningkat,” kata Sabar, di kediamannya di Kompleks Trans II Desa Langkoroni, Senin (24/3/2019).

Berkat keuletannya kini Sabar sudah membudidayakan 1.200 buah naga di lahan seluas sekitar dua hektar. Kesuksesannya sebagai petani buah naga dinikmatinya sejak 2016 lalu dengan harga Rp70 ribu per kilo. Namun kini menurun Rp55 ribu per kilo untuk jenis buah naga putih. Sementara buah naga merah dihargai Rp45 ribu per kilo.

“Sejak 2016 lalu saya biasa panen sebulan mencapai satu ton atau jika dirupiahkan sekitar Rp35 jutaan,” kata Sabar.

Pria murah senyum ini mengaku panen buah naga setiap bulannya tak tentu, kadang meningkat tapi juga kadang menurun. Panen melimpah pada Desember hingga April. Sekali panen Rp5 juta sampai Rp10 juta.

Selain buah naga, Sabar juga pernah menanam cabai rawit di lahan seluas dua hektar. Usahanya ini sempat ditertawakan warga setempat.Namun ia tak bergeming. Semangatnya terus membara karena harga cabai saat itu naik Rp80 ribu per liter.

“Saya pasarkan di Jawa, Kendari dan Baubau. Alhamndulilah, dari tanam cabai selama dua tahun sebulan saya bisa kumpulkan Rp 30 juta,” ujarnya.

Namun dua tahun berikutnya harga cabai mulai turun hingga Rp 40 ribu per liter. Ia pun mulai serius mengembangkan buah naga hingga saat ini.

Enam tahun mendiami lokasi rtansmigran di Desa Langkoroni, warga pun mulai menuai berkah. Dulu mereka hidup di lahan kaplingan, kini sudah bisa membeli tanah dan mengembangkan ilmu pertaniannya.

Pada ulang tahun ke-6 hari kedatangan mereka di Raha, mereka mengadakan syukuran besar besaran dan mengundang Bupati Muna LM Rusman Emba menikmati segarnya buah buahan di kampung buah trans satu Desa Langkoroni.

BACA JUGA :  Hakim Perempuan di PN Andoolo Ungkap Keresahan, dari Minim Fasilitas hingga Rentan Intervensi

“Kami undang bupati, para pejabat SKPD dan semua camat di Muna Timur. Dananya itu swadaya masyarakat,” girangnya.

Ia pun mengaku bangga dengan langkah bupati Muna yang mencanangkan Desa Langkoroni sebagai kampung buah dan kampung santri. “Kami sebagai petani sangat bangga dengan upaya pak bupati ini karena selain mengangkat ekonomi juga bisa mengangkat derajat kami yang dulunya dicemooh,” ucapnya.

Ketua Penggerak PKK Desa Langkoroni Sri Hayu mengaku kisah Sabar menginspirasi warganya di Desa Langkoroni. Ini menunjukkan ikut program transmigrasi bisa meningkatkan ekonomi.

Wanita yang juga transmigran asal Jawa ini menyebut, keberhasilan Sabar buah dari kesabaran yang dipupuk bertahun-tahun. Tanpa menyerah, apalagi pulang kampung dan menjual lahan. Ia membuktikan mampu bertahan hingga menuai hasil yang memuaskan di perantauan.

Sri Hayu menjelaskan, Desa Langkoroni kini sudah ditetapkan sebagai kampung buah. Lokasinya ada di lima titik, di antaranya kampung Kauduma dikembangkan varietas buah dan sayur seperti jagung, tomat, terong, buah naga, dan semangka.

Di kampung tengah dikembangkan buah naga, jeruk manis, dan jeruk nipis. Di Kampung Bali ditanami berbagai jenis pisang. Namun di kampung trans dua ini memang didominasi buah naga.

“Pencanangan kampung buah sebenarnya baru bebebrapa bulan lalu oleh Bupati Muna Rusman Emba. Jadi sekarang kita mulai kader ibu-ibu PKK-nya untuk serius menjadikan Langkoroni sebagai kampung buah terbesar di Muna,” harapnya.

Selain kampung buah, Desa Langkoroni juga dikukuhkan sebagai kampung santri karena animo masyarakat untuk belajar agama sangat tinggi. “Bukan hanya kalangan anak-anak tapi orang tua bahkan mereka yang sudah berusia lanjut semangat belajar alquran,” timpalnya. (SF*/)

 


Kontributor : Nasruddin
Editor : Jumriati

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini