Layanan Ketanggapdaruratan di Rumah Sakit

103
Andi Syahrir
Andi Syahrir

Ketika berbicara tentang layanan di rumah sakit, otak kita serta merta singgah di perihal kemodernan fasilitas. Kelengkapan peralatan. Luasnya gedung dan bangunan. Deretan ambulans-ambulans canggih. Kesiapsediaan dokter dengan segala keahliannya.

Sangat jarang kita membincang tentang rasa empati, sebagai pondasi dari layanan rumah sakit. Kejengkelan, kekesalan, dan segala bentuk ketidakpuasan pasien dan keluarganya, kebanyakan tidak disebabkan oleh ketidaklengkapan fasilitas rumah sakit. Melainkan pada minimnya rasa empati yang ditunjukkan oleh tenaga medis dan paramedis, dan termasuk pula petugas layanan administrasi.

Minggu siang sekitar pukul sebelas lewat, saya melintas di depan unit gawat darurat (UGD) Rumah Sakit Bahteramas hendak membeli obat. Di pelataran UGD, sebuah mobil fortuner parkir. Samar-samar ada isak tangis dari dalam mobil.

Pengemudi tampak kebingungan, membuka pintu mobil, dan terisak-isak. Dari dalam mobil, suara wanita hanya berteriak-teriak histeris. Suaranya teredam dari balik pintu mobil yang tertutup di sebelahnya.

Dua orang polisi pamong praja terlihat melongok-longok ke arah mobil. Salah seorang di antaranya kemudian membuka pintu kaca UGD. Tidak ada paramedis yang terlihat mendekat.

Terjadi keriuhan kecil di sekitar mobil. Tiga orang, termasuk sang sopir, hanya bolak balik dari luar mobil dan masuk ke mobil lagi. Menangis. Suasana memang agak lengang karena hari Minggu.

Hingga beberapa menit selanjutnya, belum ada petugas medis atau paramedis yang termakan oleh rasa penasaran untuk tahu apa yang terjadi. Orang yang lalu lalang di sekitar situ berkumpul, tapi tak berbuat apa-apa. Hanya menonton. Menyaksikan nestapa keluarga ini.

“Tolong. Angkat istri saya. Jangan tinggalkan saya sayang….sayaang…,” lelaki yang menyopiri kendaraan itu mengguncang tubuh wanita di dalam yang terlentang tak bergerak lagi. Dia menciumi wajah istrinya sembari terus menangis.

“Bapak pegang bagian pinggulnya pak. Biar saya di kepalanya,” kataku pada lelaki paruh baya yang terus saja menangis itu. Seorang Pol PP naik ke mobil dan mengangkat kaki wanita itu.

Paramedis sudah siap dengan brankarnya. Tapi tidak ada yang membantu mengangkat tubuh itu turun dari mobil. Praktis, hanya kami bertiga yang menurunkan pasien itu ke brankar. Suami pasien, saya, dan satpol pp.

Hal yang ingin saya sampaikan adalah betapa lemahnya standarisasi layanan ketanggapdaruratan yang ada di sana. Pihak RSUD Bahteramas dapat saja berdalih bahwa ini kasuistis. Bahwa itu hari Minggu. Bahwa mereka sudah menjalankan standar operasional prosedur.

Tapi buktinya, petugas Satpol PP dan seseorang yang kebetulan melintas, yang menurunkan pasien itu dari dalam mobilnya. Orang-orang yang tidak paham seluk beluk mengangkat tubuh manusia secara efektif dan efisien.

Bukan paramedis. Bukan petugas UGD yang sudah terlatih. Mereka hanya berdiri dengan wajah tertutup masker. Memegangi tepian brankar. Menunggu pasien diangkat.

Setelah tubuh pasien berpindah, saya tak lagi mengikuti apa yang terjadi. Medis sepertinya sudah memberikan tindakan diiringi tangisan keluarga.

Pada pengalaman kali ini, saya merasa layanan ketanggapdaruratan rumah sakit perlu diperbaiki. Bukan pada perangkat aturannya. Bukan pada fasilitasnya.

Tapi pada empati petugasnya. Ini tidak ditemukan dalam pelatihan, workshop, seminar, atau pendidikan tinggi. Ini soal panggilan jiwa. Itulah sebabnya, tidak semua orang bisa bekerja sebagai tenaga medis atau paramedis.

Itulah sebabnya, cukup perangkat kerja yang menjadi mesin. Petugasnya jangan ikut-ikutan seperti mesin. Karena rumah sakit bukanlah bengkel, yang tidak membutuhkan empati.

Di jalan pulang, musik di kendaraan kumatikan. Saya kehilangan mood mendengarkannya. Apalagi menikmatinya.

Saya membayangkan sang suami yang menciumi wajah istrinya yang telah pucat. Membayangkan wajah kebingungannya yang butuh pertolongan cepat, namun orang-orang tak lantas bergegas memberikan sedikit dari nuraninya.

Lalu, saya berbalik merenungi diri sendiri. Bagaimana hidup di masa-masa depan. Seperti apa kelak ketika maut sudah mengetuk pintu. Membayangkan jika sekiranya orang-orang yang kita sayangi mendahului kita.

Ah, saya tak akan pernah sanggup bekerja di rumah sakit. Airmataku akan lebih banyak tercurah ketimbang pikiran, tenaga, dan keahlianku.***

 

Oleh : Andi Syahrir
Penulis merupakan pemerhati sosial & alumni UHO

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini