Lebih Dekat dengan Korporatisasi Petani

746
Resmi Dilantik, Anggota PPK dan PPS Harus Bekerja Profesional

Tulisan ini hadir sebagai respon atas pertanyaan menggelitik dari seorang pejabat kementerian pertanian dalam sesi diskusi sebuah pertemuan di Surabaya, 8-10 November 2017.

Pertanyaannya kurang lebih begini, “Kenapa dalam setiap pembicaraan tentang kelembagaan ekonomi petani ataupun korprorasi petani, kita semua kurang merespon? Tidak ada pertanyaan. Tidak ada tanggapan. Apakah kita tidak mengerti atau tidak peduli?”

Saya yakin, tiadanya pertanyaan atau tanggapan lebih dikarenakan karena ketidakmengertian, dan bisa jadi sedikit dipengaruhi oleh ketidakpedulian. Tulisan ini hadir untuk mencoba menyederhanakan topik “korporatisasi petani” dan “kelembagaan ekonomi petani atau KEP” dalam bahasa lebih populer. Paling tidak kita mengerti. Paling tidak kita peduli. Semoga maksud ini tercapai. Semoga saya tidak salah tafsir.

Andi Syahrir
Andi Syahrir

Pada Pembukaan Rapat Kerja Nasional Pembangunan Pertanian Tahun 2017, Januari silam, Presiden Joko Widodo mengutarakan tentang korporasi petani, yang lalu diterjemahkan menjadi skala yang lebih luas menjadi korporatisasi petani.

 

“Tidak bisa lagi kita biarkan petani ini berjalan sendiri. Harus ada yang mendampingi, harus ada yang mengawal, harus ada sebuah manajemen yang modern yang mendampingi mereka, kalau skala ekonominya sudah besar,” kata presiden.

“Kita harus bisa mengkorporasikan petani. Petani ini kalau sudah clustering-nya dapat, kemudian tahapan berikutnya dikorporasikan. Artinya skala ekonomi itu harus ada. Tanpa itu kalau hanya kecil…kecil…kecil…kecil, tidak dalam skala ekonomi, tidak ada efisiensi di situ. Mengkorporasikan petani, mengkorporasikan BUMDes-nya dalam sebuah skala yang besar, baru akan muncul sebuah efisiensi,” lanjutnya.

Gagasan korporasi petani bukan hal baru. Pada Pasal 19 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian Perikanan dan Kehutanan istilah korporasi disebut. Lalu diperkuat dengan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani dan secara teknis pada Peraturan Menteri Pertanian Nomor 67 Tahun 2016 tentang Pembinaan Kelembagaan Petani.

Pidato Presiden Jokowi berhasil menginspirasi tiga menterinya –Menteri BUMN, Menteri Desa dan PDTT, dan Menteri Pertanian– sekaligus untuk duduk bersama membahasnya dan setidaknya menghasilkan tujuh kesepakatan, yang intinya pembentukan cluster percontohan “korporasi petani”.

Penumbuhan dan pengembangan korporasi ini kemudian diistilahkan dengan korporatisasi. Apa tujuannya? Meningkatkan skala ekonomi yang menguntungkan, mencapai efisiensi usaha, dan meningkatkan posisi tawar petani.

BACA JUGA :  Pengelolaan Sumberdaya Hutan di Era UU Omnibus Law

Korporasi petani berangkat dari apa yang disebut dengan kelembagaan ekonomi petani (KEP). Sejak tahun 2012, regulasi tentang pengembangan KEP sudah ada, namun gaungnya baru terasa setelah pidato presiden, awal tahun ini.

Apa yang disebut dengan KEP? Adalah kelembagaan petani baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum, yang memiliki kegiatan usahatani dari hulu sampai hilir di sektor pertanian, dan ditumbuhkembangkan oleh, dari, dan untuk petani guna meningkatkan skala ekonomi yang menguntungkan serta efisiensi usaha. Itu pengertiannya.

Berbadan hukum, misalnya koperasi petani atau perseroan terbatas yang sahamnya dimiliki oleh petani.
KEP yang tidak berbadan hukum tapi memiliki kekuatan hukum karena teregistrasi di tingkat kecamatan dan kab/kota, misalnya gabungan kelompok tani (gapoktan). Usaha yang dikelola misalnya unit pelayanan jasa alsintan (UPJA).

Apa beda antara KEP yang berbadan hukum dan yang tidak? Orientasi usaha pada KEP yang berbadan hukum adalah untuk memenuhi permintaan pasar secara komersial, sedangkan KEP yang tidak berbadan hukum hanya memenuhi permintaan dan kebutuhan terbatas untuk anggotanya saja. KEP juga dikenal dengan sebutan Badan Usaha Milik Petani (BUMP).

Bagaimana KEP/BUMP ini dibentuk menjadi sebuah korporasi? Kita akan menyinggung satu lembaga pemerintah yang merupakan simpul koordinasi pembangunan pertanian. Namanya Balai Penyukluhan Pertanian (BPP) yang berkedudukan di kecamatan. Hitung-hitungannya begini. Dalam setiap BPP, terdapat minimal 8 penyuluh. Setiap penyuluh mendampingi minimal 8 kelompok tani.

Setiap kelompok tani (poktan) terdiri dari 20-25 orang dengan total luasan minimal 25 hektar. Sehingga setiap penyuluh mengawal setidaknya 200 hektar lahan pertanian. Dengan demikian, dalam satu BPP, paling tidak terdapat 1.600 hektar lahan pertanian yang didampingi. Mereka biasanya bernaung dalam satu lembaga lagi bernama gabungan kelompok tani (Gapoktan).

Gapoktan ini adalah lembaga petani. Jika mereka membentuk satu lembaga ekonomi petani, maka dalam konsepsi korporasi, disebut sebagai satu cluster korporasi petani. Cluster inilah yang terhimpun dalam KEP/BUMP dalam bentuk koperasi tani ataupun perseroan.

Jika cluster ini adalah petani jagung, maka dalam satu kali siklus produksi, cluster itu dapat menghasilkan 9.600 ton jagung (dengan asumsi produktifitas sebesar 6 ton per hektar). Jika harga jagung Rp 3.000 per kilogram, maka dalam satu kali produksi uang yang beredar di cluster itu sebanyak Rp 28,8 miliar. Ini gambaran kasar kekuatannya jika dipersatukan.

BACA JUGA :  Pengelolaan Sumberdaya Hutan di Era UU Omnibus Law

Bagaimana kekuatan cluster ini dikonsolidasikan? Kita akan perkenalkan satu lembaga ekonomi lain yang ada di pedesaan, yakni BUMDes, Badan Usaha Milik Pedesaan. BUMDes dibentuk oleh pemerintah desa yang penyertaan modalnya diperoleh dari APBDesa dan modal masyarakat. Pengelolaan BUMDes terpisah dengan pengelolaan pemerintahan desa. Setiap BUMDes yang ada desa dapat bergabung membentuk BUMDes bersama di tingkat kecamatan.

Nah, KEP/BUMP –dengan (misal) cluster jagungnya– ini melakukan joint venture dengan BUMDes Bersama tingkat kecamatan tadi untuk menyatukan modal usaha mereka. Boleh dikatakan ini penyatuan modal yang ada di desa (dalam satu kecamatan).

Di sisi lain, pemerintah telah membentuk PT. Mitra BUMDes Nusantara (PT. MBN), yang didirikan pada April 2017 silam. Perusahaan ini dibentuk oleh Koperasi Pegawai dan Pensiunan Perum BULOG Seluruh Indonesia (KOPELINDO). Perusahaan ini merupakan sinergi Kementerian BUMN dan Kementerian Desa dan PDTT.

PT. MBN dapat menjadi mitra bagi “koalisi” BUMP-BUMDes untuk memperkuat modal usahanya, dengan komposisi modal 51 persen dari PT. MBN dan 49 persen dari BUMP-BUMDes. Mitra lainnya dapat dari pihak swasta ataupun perbankan. Demikian konsepsi operasional dari korporatisasi petani ini.

Siapa saja yang terlibat? Paling tidak ada enam stakeholder. Pertama, dinas teknis lingkup pertanian dalam hal pendampingan teknis dan manajemen. Kedua, BUMDes itu sendiri sebagai pihak “luar” dari KEP/BUMP untuk menyinergikan kegiatan dan penguatan modal. Ketiga, akademisi dan peneliti yang berperan dalam pendampingan teknis atau intoduksi teknologi unggulan.

Keempat, Bulog sebagai pembei atau berperan sebagai pengendali mutu standar. Meskipun demikian, Bulog dapat saja tidak hadir pada komoditas atau usaha tertentu yang tidak menjadi tanggungjawabnya secara langsung. Kelima, perbankan sebagai penyalur skim kredit. Keenam, pelaku usaha yang dapat menjadi mitra usaha ataupun sumber pembiayaan.

So, mewujudkan korporatisasi petani bukanlah pekerjaaan yang sendirian. Ada banyak pihak yang terkait. Ada banyak proses yang dilewati. Ini bukan pekerjaan mudah tapi tidak berarti mustahil untuk diwujudkan. Ayo bergerak. Karena mengabdi pada petani adalah mengabdi kepada kemanusiaan.***

#jangan_takut_jadi_petani_karena_petani_itu_bersatu

 

Oleh : Andi Syahrir
Penulis Merupakan Alumni UHO & Pemerhati Sosial

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini