Masalah Tambang di Kabaena: Kerusakan Lingkungan hingga Konflik Lahan

1329
pulau Kabaena di Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara (Sultra)
Pulau Kabaena di Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara (Sultra)

ZONASULTRA.COM,KENDARI– Hujan yang mengguyur pulau Kabaena di Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara (Sultra) beberapa hari terakhir sejak Jumat, 22 Januari 2021 memicu banjir di sejumlah kecamatan. Selain rumah yang terendam, banjir juga membuat sungai Lakambula meluap.

Tidak hanya meluap, kali yang menjadi sumber mata air kebutuhan sehari-hari warga, berubah keruh dan penuh potongan-potongan kayu dari hutan pegunungan. Kondisi ini diduga merupakan dampak dari aktivitas pertambangan yang marak terjadi di Pulau Kabaena beberapa tahun terakhir.

Menurut aktivis Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sahrul Gelo, terdapat perbedaan banjir dan kerusakan kali sebelum dan sesudah masuknya perusahaan tambang di wilayah tersebut. Kata dia, perbedaannya dapat terlihat dari besaran volume air kali yang semakin meningkat, sementara kapasitas badan kali tidak mampu menampung derasnya aliran air. Bertambahnya debit air diduga bersumber dari bukit bekas galian tambang yang tidak tertutup kembali pasca eksplorasi.

“Kondisinya diperparah dengan ketersediaan sediment pond atau kolam endap yang disiapkan perusahaan untuk mengedapkan bahan-bahan padat dari air buangan tambang, tidak sebanding dengan jumlah bukaan lahan. Akibatnya, air buangan yang mengandung material tambang terbuang langsung ke kali sehingga terjadi endapan yang menyebabkan kapasitas kali menyempit,” kata Sahrul melalui sambungan telepon, Sabtu (31/1/2021).

BACA JUGA :  Seorang Wanita di Kendari Jadi Korban Salah Tembak Polisi

Selain itu, dia juga menilai perusahaan tambang cenderung mengabaikan potensi bahaya yang bisa ditimbulkan akibat adanya lubang bekas galian tambang yang tidak tertutup. Menurutnya, secara topografi, bekas galian tambang tersebut mengarah langsung ke pemukiman sehingga dikhawatirkan dapat membahayakan keselamatan warga apabila sewaktu-waktu terjadi bencana longsor. Ia berpendapat, pihak perusahaan seharusnya melakukan reklamasi sebelum meninggalkan lokasi pengerukan, atau membuat tanggul untuk mencegah erosi yang mengakibatkan runtuhnya tanah dari atas bukit.

“Seluruh keadaan itu seperti menjadi semacam konsekuensi yang harus diterima warga akibat adanya aktivitas tambang tanpa mempertimbangkan kondisi lingkungan,” ungkapnya.

Selain dampak ekologis, masalah lain yang dialami warga yakni tindakan penyerobotan lahan secara sepihak yang diduga dilakukan salah satu perusahaan tambang nikel. Seperti dialami Darman warga Desa Pongkalaero, Kecamatan Kabaena Selatan, Kabupaten Bombana. Lahan seluas kurang lebih 0,5 hektar yang berada di Desa Batuawu, Kecamatan Kabaena Selatan, diduga diserobot oleh PT Almharig. Lahan yang kini ditumbuhi berbagai jenis tanaman itu rencananya akan digunakan sebagai jalan perusahaan (hauling). Tanah itu merupakan milik mertuanya bernama Supratman, yang sudah dikuasakan kepadanya sejak dua tahun lalu.

Darman mengungkapkan aksi penyerobotan telah terjadi sebanyak 4 kali terhitung sejak 25 Agustus sampai 8 September 2020. Informasi penyerobotan pertama kali diketahui dari mertuanya yang hendak membersihkan lahan tersebut. Ia mengaku, meski sudah diberi tanda pembatas, tetapi pihak perusahaan kembali melakukan pembongkaran tanpa pemberitahuan sebelumnya.

BACA JUGA :  Seorang Wanita di Kendari Jadi Korban Salah Tembak Polisi

“Setelah digusur kami pun segera memasang pagar. Baru satu hari dipagar, besoknya langsung dibongkar. Sudah empat kali dipagar dan tiga kali dibongkar,” ucapnya melalui telepon seluler.

Dia pun mengaku sudah meminta bertemu dengan pimpinan perusahaan, namun hingga kini belum mendapat tanggapan.

Sementara itu, pihak PT Almharig membantah tuduhan telah melakukan penyerobotan lahan milik warga bernama Darman. Perusahaan mengklaim telah membeli lahan tersebut sebelum melaksanakan penggusuran. Kewajiban ganti rugi lahan dibayarkan kepada warga bernama Salmin yang belakangan diketahui merupakan ipar dari Darman.

“Sebenarnya bukan penyerobotan karena perusahaan merasa sudah membeli lahan tersebut sebesar Rp260 juta. Pembayaran dilakukan dengan perjanjian bahwa lahan yang digunakan berstatus pinjam pakai dan akan dikembalikan apabila perusahaan tidak lagi beroperasi. Tapi belakangan terjadi konflik internal keluarga, maka perusahaan memutuskan untuk sementara tidak menggunakan lahan tersebut,” ujar Humas PT Almharig, Andri saat dihubungi.

Saat ini pihak PT Almharig masih menunggu penyelesaian proses hukum di Polres Bombana Untuk memastikan status kepemilikan lahan. (*)

 


Penulis : M9
Editor: Muhamad Taslim Dalma

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini