Memahami White-Collar Crime dalam Paradigma Kejahatan

1214
Asrandi
Asrandi

Esensi kejahatan secara yuridis merupakan tingkah laku manusia yang bertentangan dengan hukum, dapat dipidana, yang diatur dalam hukum pidana. Sedangkan secara kriminologi (yang selanjutnya disebut ilmu pengetahuan tentang kejahatan) merupakan tindakan atau perbuatan tertentu yang tidak disetujui oleh masyarakat dan dapat diartikan sebagai suatu kejahatan. Atau secara sederhana kejahatan adalah suatu perbuatan yang anti sosial merugikan serta meresahkan masyarakat atau anggota masyarakat. Berdasarkan argumentasi tersebut yang menjadi pertanyaan mendasar adalah mengapa seseorang melakukan kejahatan?, atau apa faktor-faktor seseorang melakukan suatu kejahatan?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut dapat dilihat dalam paradigma pemikiran tentang mengapa seseorang melakukan kejahatan ?. Dimulai dari studi kejahatan yang pertama kali dipengaruhi oleh anggapan orang jahat (penjahat) itu di pengaruhi oleh roh-roh jahat atau dirasuki oleh setan. Menurut anggapan ini jika seorang dirasuki oleh setan, kemungkinan otaknya menjadi tidak sempurna. Argumen kedua yaitu pengaruh positivisme ilmu, mengatakan bahwa orang yang melakukan kejahatan karena adanya pengaruh dari lingkungan, seperti kondisi masyarakat yang semrawut, saling tiru meniru dalam berbagai pergaulan bebas, faktor lingkungan ekonomi, kemiskinan, kesenjangan sosial, dan kondisi-kondisi lainnya jauh dari kesejahteraan. Serta studi kejahatan yang dilakukan oleh Lambroso yang sampai pada kesimpulan bahwa penjahat sejak lahir merupakan tipe khusus, dengan memiliki tanda-tanda atau ciri-ciri yang tentunya berbeda.

Kemudian yang menjadi problematika paradigma pemikiran kejahatan saat ini, yakni dalam perkembangannya jawaban-jawaban di atas ternyata tidak mampu mencakup kejahatan secara kompresensif, karena pada faktanya tidak mampu memuaskan tuntutan zaman ataupun para pemikir-pemikir studi kejahatan, sehingga dalam perkembangannya melahirkan beberapa pertanyaan-pertanyaan mendasar baru, yang jikalau ditelaah lebih dalam maka tidak mungkin dapat terjawab dengan menggunakan jawaban yang telah ada. Misalnya pertanyaan terkait mengapa seseorang yang dalam keadaan sehat baik fisik maupun psikologis melakukan suatu kejahatan ?, atau pertanyaan lain seperti mengapa seseorang yang berpendidikan tinggi, terlebih lagi memiliki kondisi ekonomi yang baik atau tingkat kesejahteraan di atas rata-rata masyarakat pada umumnya atau jauh dari kemiskinan melakukan suatu kejahatan ?. pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak dapat dijawab dengan pemikiran kejahatan pada umumnya, seperti kejahatan dipengaruhi roh-roh jahat maupun kejahatan karena kesenjangan sosial ataupun konsep kejahatan yang sejak lahir memiliki tanda-tanda atau ciri-ciri tertentu. Mengapa demikian ?, hal tersebut dikarenakan pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah pertanyaannya yang menjadi dasar lahirnya paradigma pemikiran White collar Crime (yang selanjutnya dikenal dengan kejahatan kerah putih) dalam suatu kejahatan.

Edwin Sutherland memperkenalkan istilah “white collar crime” dalam pidatonya pada pertemuan American sociological society tahun 1939, untuk menentang teori-teori serta stereotip yang konvensional. Sutherland mencoba mendeskripsikan aktivitas kriminal yang dilakukan seseorang yang memiliki status sosial tinggi serta dihormati, yang mana seseorang ini akan menggunakan jabatan pekerjaannya sebagai sarana untuk melanggar hukum. Sutherland menggunakan istilah “white collar crime” dalam rangka membedakan antara kejahatan yang dilakukan oleh profesional dan kalangan status sosial yang tinggi (yang biasanya mengenakan kemeja putih berkerah dan berdasi) dengan kejahatan biasa atau “street crime” seperti perampokan, pembunuhan, atau penyerangan.

Inti dari White Collar Crime adalah kejahatan dilakukan secara sembunyi-sembunyi atau kejahatan yang sulit dilihat (low visibility), sebab kejahatan semacam itu, selalu tertutup oleh kegiatan pekerjaan yang normal dan rutin. Atau, dapat dikatakan bahwa white collar crime, adalah sebuah makna terdalam untuk dapat mengatakan bahwa kekuasaan itu adalah sarana berbuat jahat, bahwa pakaian rapi dan bagus, berdasi, jas, adalah sarana bagaimana menciptakan dunia kejahatan yang terselubung dan terorganisir.
White Collar Crime adalah kejahatan yang selalu bersemayang dalam tubuh suatu korporasi/badan hukum baik yang bersifat publik maupun privat, sehingga lahirnya Crime Corporation (kejahatan korporasi) tidak lain adalah bagian dari White Collar Crime. Sehingga dalam upaya untuk menelaah terkait White Collar Crime, maka diperlukan upaya untuk menggerogoti sistem dari Crime Corporation

BACA JUGA :  Pengelolaan Sumberdaya Hutan di Era UU Omnibus Law

White Collar Crime dalam Ruang Lingkup Badan Hukum Publik :

Badan Hukum Publik yaitu badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum publik atau badan hukum yang mengatur hubungan antara negara dan atau aparatnya dengan warga negara, yang menyangkut kepentingan umum/publik, Contoh : Negara, Pemerintah Daerah, Bank Indonesia dan badan hukum publik lainnya. Jika dilihat berdasarkan peran atau kontrol pemerintah khususnya di dalam kegiatan ekonomi dan politik, di mana negara memegang kontrol yang tinggi pada kegiatan ekonomi politik, white collar crime banyak terjadi di dalam instansi negara. Berbagai bentuk white collar crime yang umum terjadi khususnya di Indonesia, seperti korupsi yang diantaranya kasus korupsi mafia anggara DPR yang dilakukan Nazaruddin di 60-an proyek APBN sejumlah 6,1 triliun yang menyebabkan kerugian negara mencapai 2,5 Triliun, kasus Nazaruddin tersebut berupa suap di kemenpora, korupsi PLTS, dan beberapa dinas lain dan kasus korupsi lainnya yakni kasus korupsi Bank Century, kasus korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) serta kasus korupsi pengadaan E-KTP yang menyeret sejumlah nama pejabat publik, di mana salah satu pelaku white collar Crime dalam kasus tersebut adalah ketua DPR RI Setyo Novanto. Demikianlah sederet white collar Crime berbetuk korupsi yang menimbulkan sebuah tanya tentang siapa yang akan bertanggung jawab atas suatu kemaksiatan bersama ?. Serta kasus lain yang termaksud dalam white collar Crime dalam badan hukum publik yakni penyuapan, pencucian uang, penggunaan asset publik untuk kepentingan pribadi, dan penghindaran pajak.

Salah satu imbas atau evolusi terburuk dari white collar Crime dalam ruang lingkup badan hukum publik adalah penjelmaan white collar Crime dalam bentuk kejahatan berupa perfect Crime (kejahatan sempurna), yakni kejahatan yang dilakukan oleh negara. Ketika kejahatan dilakukan oleh negara maka kejahatan itu akan menjelma menjadi perfect Crime, disebabkan hukum dan sistem hukum menjadi bagian dari kejahatan itu sendiri. perfect Crime sering kali timbul untuk menjawab tantangan dari pertanyaan bagaimana pelaku-pelaku white collar Crime membenarkan perilaku menyimpangnya ?, seperti melegitimasi perbuatan zalim dalam suatu sistem hukum. Sehingga kejahatan white collar Crime berbentuk perfect Crime adalah suatu kejahatan yang dengan jituh membunuh realitas, menikam kebenaran, menusuk keadilan, kejahatan yang begitu rapih direncanakan, diorganisir dan dikontrol.

Berdasarkan beberapa bentuk white collar Crime tersebut. Indonesia sebenarnya telah berupaya untuk menjawab tantangan dari white collar Crime, ini dibuktikan dengan lahirnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang diharapkan dapat menjawab permasalahan white collar Crime, baik itu dalam bentuk upaya preventif maupun represif,

White Collar Crime dalam Ruang Lingkup Badan Hukum Privat :

Ruang lingkup badan hukum privat mengambil bidang usaha di luar dari cabang-cabang produksi penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak. Bidang kegiatan badan hukum privat ini sangat luas, misalnya bidang produksi barang dan jasa, bidang distribusi atau pemasarannya, bidang impor dan ekspor, pengangkutan dan sebagainya. Berdasarkan eksistensi badan hukum privat yang memiliki cakupan kegiatan yang sangat luas, serta berdampak pada hajat hidup orang banyak, maka white collar Crime dalam badan hukum privat dapat dipastikan menyangkut masyarakat luas antara lain kejahatan terhadap lingkungan hidup seperti pencemaran dan perusakan kondisi air dan udara di suatu wilayah disebabkan oleh aktivitas suatu perusahaan industri yang tidak terkontrol. Kejahatan terhadap konsumen seperti di distribusinya produk-produk yang berbahaya bagi kesehatan, dan kejahatan pada pemegang saham seperti pemberian keterangan yang tidak benar dalam pasar modal, praktek-praktek penipuan dan perbuatan curang.

BACA JUGA :  Pengelolaan Sumberdaya Hutan di Era UU Omnibus Law

Akan tetapi dalam perkembangannya, untuk mendeteksi para pelaku white collar Crime dalam suatu korporasi baik yang bersifat publik maupun privat tidak semudah membalikkan telapak tangan atau sulit, hal tersebut selaras dengan pendapat Eddy O.S. Hiariej yang mengemukakan salah satu permasalahan krusial adalah kesulitan untuk membuktikan pertanggungjawaban pidana korporasi agar memenuhi unsur delik pidana yang dilanggar oleh korporasi tersebut, karena masih terpakunya aparat penegak hukum pada asas tiada pidana tanpa kesalahan yang memang dianut dalam ajaran pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana Indonesia. Kendala-kendala tersebut antara lain : Pertama, penentuan ada tidaknya tindak pidana oleh korporasi tidaklah dapat dilihat dengan sudut pandang biasa seperti pada tindak pidana pada umumnya, karena tindak pidana korporasi atau corporate Crime sering kali merupakan bagian dari white collar crime., Kedua, penentuan subjek hukum yang dipertanggungjawabkan secara pidana berkaitan dengan kesalahan korporasi. Ketiga, penentuan kesalahan (schuld, mens rea) korporasi tidak mudah, karena terdapat hubungan yang begitu kompleks dalam tindak pidana terorganisasi (organizational crime) di antara dewan direksi (board of directors), eksekutif dan manager pada satu sisi dan perusahaan induk (parent corporations), divisi-divisi perusahaan (Corporate divisions) dan cabang-cabang perusahaan (subsidiarie) pada sisi lainnya.

Akan tetapi dengan adanya fakta bahwa terdapat kesulitan untuk membuktikan pertanggungjawaban pidana korporasi agar memenuhi unsur delik pidana yang dilanggar oleh korporasi tersebut, tidak serta merta dapat di interpretasikan bahwa tidak ada kemungkinan dapat menjerat para pelaku white collar Crime dalam suatu korporasi. Hal tersebut dibuktikan dengan beberapa usaha untuk melakukan penghukuman terhadap pelaku-pelaku White Collar Crime di dunia telah di upayakan, dimulai dengan dirumuskannya model-model pertanggungjawaban korporasi yakni Pertama, Pengurus korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang bertanggung jawab. Kedua, Korporasi sebagai pembuat dan pengurus yang bertanggung jawab. Ketiga, Korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yang bertanggung jawab. Hingga lahirnya teori-teori pertanggungjawaban pidana korporasi, yang beberapa diantarainya yakni : Strict Liability dan Vicarious Liability. Pertama, Srtict Liability yaitu pertanggungjawaban mutlak, di mana seseorang sudah dapat dipertanggungjawabkan untuk tindak pidana tertentu walaupun pada diri orang itu tidak ada kesalahan (mens rea). Kedua, Vicarious Liability (pertanggungjawaban pidana pengganti), yang mengartikan bahwa suatu pertanggung jawaban pidana yang dibebankan kepada seseorang atas perbuatan orang lain dan teori tersebut sangat mensyaratkan adanya pendelegasian kepada seseorang dalam lingkup kerja.

Berdasarkan uraian-uraian yang telah penulis jabarkan, maka menurut hemat penulis untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang melahirkan paradigma pemikiran white collar crime, seperti mengapa seseorang yang dalam keadaan sehat baik fisik maupun psikologis melakukan suatu kejahatan ?, atau pertanyaan lain seperti mengapa seseorang yang berpendidikan tinggi, yang memiliki kondisi ekonomi yang baik atau tingkat kesejahteraan di atas rata-rata masyarakat pada umumnya atau jauh dari kemiskinan melakukan suatu kejahatan ?. jawaban secara komprehensifnya adalah adanya kekeliruan fundamental yang bersemayang dalam diri pelaku-pelaku kejahatan yang tergolong white collar crime, bentuk dari kekeliruan tersebut yakni kekeliruan terhadap konsep kepentingan dan kesadaran, yang menyebabkan kesesatan dalam berkehidupan. Salah satu bentuk kesesatan itu adalah dengan meletakkan kepentingan di atas kesadaran, padahal seharusnya meletakkan kesadaran di atas kepentingan bukan sebaliknya.

 

Oleh Asrandi
Penulis merupakan Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini