Membenahi Layanan Kependudukan Warga Kendari

158
Andi Syahrir
Andi Syahrir

Jam menunjukkan pukul 11 kurang sepuluh menit. Saya tiba di kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kota Kendari mengantar tetangga yang sudah jompo. Wanita lemah itu harus ke dukcapil untuk keperluan perekaman identitas dalam rangka pembuatan KTP.

Dia perempuan yang benar-benar lemah secara fisik. Untuk naik dan turun dari mobil, wanita sepuh itu harus digendong oleh anaknya.

Di sana, puluhan orang memadati kantor kecil –jika tidak ingin menyebutnya mungil– untuk ukuran instansi yang berperan sebagai ujung tombak pelayanan publik. Ruang tunggu dan pelayanan hanya berukuran beberapa meter.

Gerah dan sumpek saling tindih memperebutkan udara segar. Saya memilih menunggu di teras yang terpapar udara terbuka. Rasanya lebih adem.

Oh ya, saya bermukim di kota ini sejak triwulan ketiga 2008. Sependek ingatan saya, gedung kecil –dan terlihat tua– itu sudah difungsikan sebagai kantor Dukcapil Kota Kendari. Tidak pernah pindah. Tidak pernah berubah.

Dukcapil adalah pusat data kependudukan. Di sana terekam orang-orang yang lahir, mati, pindah tempat tinggal, dan segala macam keperluan kependudukan lainnya, termasuk database tentang hak politik elektoral setiap warga.

Kendatipun kelurahan dan kecamatan mengambil alih beberapa tanggung jawab kependudukan, pada tingkatan tertentu, orang-orang yang berurusan akan selalu “dirujuk” ke dukcapil. Ringkasnya, dukcapil adalah denyut jantung sekaligus urat nadi pelayanan kependudukan.

BACA JUGA :  Pengelolaan Sumberdaya Hutan di Era UU Omnibus Law

Apa yang hendak saya sampaikan adalah, betapa tidak adilnya kita memperlakukan instansi ini. Idealnya, jika kita mencari gedung publik level pemerintahan kota yang termegah, seharusnya itu adalah kantor dukcapil dan rumah sakit. Keduanya adalah layanan yang berhadap-hadapan langsung dengan rakyat –elemen yang selalu diatasnamakan untuk disejahterakan oleh politisi yang berkontestasi.

Atau anggaplah gedungnya kecil-mungil demikian, tapi layanan yang diberikan sudah berbasis online. Dengan demikian, kita memang tak perlu lagi ruangan yang besar.

Tinggal unduh di playstore, data anak kita yang baru lahir tinggal diinput di ponsel, lalu keluar informasi: akte kelahiran anak anda akan diantar paling lambat tiga hari kerja ke depan. Tidak usahlah gratis. Paling tidak, biaya pengiriman dalam kota itu ditanggung warga yang bersangkutan. Warga bakal terima kok.

Itu baru satu contoh saja. Contoh lainnya, anda boleh bawa ayam putih yang sudah digoreng beserta ketan hitam ke rumah saya pada akhir pekan, lalu kusampaikan contoh lainnya sambil makan bareng-bareng…hehehe

Di dunia yang serba online ini, permasalahannya hanya soal mau atau tidak mau. Bukan lagi pada soal bisa atau tidak bisa.

Lihatlah realitas kantor dukcapil kita. Sudah gedungnya kecil, prosesnya manual pula. Dalam artian, orang masih harus datang dan antri secara fisik. Kenapa tidak jika membuat layanan mobile yang khusus melayani orang-orang lemah seperti wanita tua tadi. Lebih luarbiasa lagi jika itu dikelola dengan pendekatan teknologi online.

BACA JUGA :  Pengelolaan Sumberdaya Hutan di Era UU Omnibus Law

Sudah berapa kali pejabat kita, baik yang eksekutif maupun legislatif, melakukan kunjungan-kunjungan ke daerah maju baik dalam negeri terlebih keluar negeri? Tidakkah mereka mengamati bahkan merasakan sendiri berbagai bentuk layanan publik di luar sana, lalu terinspirasi dan menggagas hal serupa untuk daerahnya?

Betapa banyak uang negara untuk membiayai perjalanan itu, yang kemudian hanya menghasilkan laporan-laporan perjalanan semata beserta foto-foto yang diunggah di facebook dan instagram, yang membuat lawan politik atau rekan sekantornya semakin sirik.

Kembali, saya menitip aspirasi pada Walikota dan Wakil Walikota beserta para anggota DPRD kita, mari benahi pelayanan kependudukan warga. Jika kita tak mampu di level aplikasi teknologi, paling tidak perluas gedung layanan kita. Buatlah rakyat yang berurusan di sana seperti sedang berkunjung ke rumahnya sendiri. Nyaman. Lancar. Mudah. Seperti motto dukcapil: kalau bisa dipermudah kenapa harus dipersulit. Jangan dibalik. ***

 


Oleh : Andi Syahrir
Penulis merupakan alumni UHO & pemerhati sosial

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini