MENDAKI DAN PESAN KEHIDUPAN

167
La Ode Muhram Naadu
La Ode Muhram Naadu

OPINI – Mendaki. Aktivitas yang menjanjikan vonis keren junto kegagahan, bagi siapapun yang menggelutinya. Begitulah kurang lebih mindset mainstream orang kekinian.Tak bisa dipungkiri.

Dunia mencatat, sejarah pendakian dimulai di tahun 1492 oleh Anthoine de Ville. Meski sejatinya manusia di masa prasejarah sudah melakukannya demi kepentingan berburu, mempertahankan hidup. Ia melakukan aktivitas pendakian gunung berupa panjat tebing di Mont Aguille.

La Ode Muhram Naadu
La Ode Muhram Naadu (Penulis)

Di beberapa abad kemudian, puncak tertinggi di dunia terdaki. Sejarah pendakian mengabadikan Edmund Hillary, pendaki asal Selandia Baru dan pemandunya asal suku Sherpa di Nepal-Tenzing Norgay, berhasil menjadi manusia pertama yang mencapai Gunung Everest di ketinggian 8.848 meter pada 29 Mei 1953.

Di Indonesia sendiri sejarah pendakian tercatat dimulai Tahun 1623. Hasrat pendakian modern muncul sejak Yan Cartensz, melihat pertama kalinya Puncak Cartensz di Pegunungan Jayawijaya, Papua. Hingga di tahun 1899 Ekspedisi Belanda pembuat peta di Irian menemukan kebenaran laporan Yan Cartensz. Sejak saat itulah namanya diabadikan menjadi puncak tertinggi di Indonesia itu.

Dalam perkembangannya di Indonesia, aktivitas pendakian secara terorganisir mulai banyak dilakukan. Dari militer, sipil, pun mahasiswa. Di tahun 1964, Wanadri berdiri dengan tujuan secara prinsipil untuk turut membangun Tanah Air, Bangsa, dan Negara Republik Indonesia melalui pendidikan pemuda-pemudi dengan menggunakan media alam bebas sebagai sarananya.

Di tahun yang sama Mapala UI (Mahasiswa Pecinta Alam Universitas Indonesia) digagas oleh Soe Hok Gie, dengan tujuan menciptakan pemuda yang idealis, mengenal diri mengenal bangsanya. Tujuan keduanya secara prinsipil sama. Yakni bagaimana membentuk manusia yang mencintai-membangun bangsa ini.

***

Minggu, 6 Maret 2017

Badai menghentak di Puncak Mekongga (2620 MDPL). Atap Sulawesi Tenggara. Sejumlah pendaki mengalami trouble saat turun dari titik triangulasi. Dalam insiden tersebut, beberapa hari kemudian dua pendaki dikabarkan gugur. Mereka adalah Almarhum Edi dan Almarhum Toto. Dalam pendakian tersebut, seluruh Tim memiliki skill pendakian. Basic mereka adalah pendaki. Bahkan pendakian itu bukan merupakan pendakian perdana bagi mereka. Namun sekali lagi, alam tak bisa diprediksi. Ajal tak dapat ditawar. Toto dan Edi berpulang ke Rahmatullah. Dengan meninggalkan segunung kenangan akan kebaikan.

MENDAKI DAN PESAN KEHIDUPAN

Toto, terkenang sebagai anak yang rajin membantu kedua orang tuanya. Sering memberi uang ibunya dari hasil bekerja membantu ayahnya memborong bangunan. Ia tak pernah mengeluh dan bahkan membiayai kuliahnya sendiri. Gesit jika ada keluarga yang sakit, loyal terhadap siapa saja (saya merasakannya sebulan lalu).

Tak jauh beda dengan Edi. Bekerja di sebuah dealer sepeda motor. Dengan hasil kerja kerasnya ia sering membelikan perabot rumah tangga untuk orang tuanya. Seperti membelikan ibunya televisi, kulkas dan mesin cuci. Sangat berbakti.Dikenal ramah dan loyal.

Kedua Pria tangguh yang sungguh baik hati. Tentu siapapun kerabatnya akan kehilangan seberat-beratnya dan wajib ikhlas, mengikhlaskannya untuk didekap oleh Yang Maha Hidup. Karena kepergian itu adalah awal dari keabadian mereka. Semoga doa selalu tercurah meski kenangan selalu menyembabkan mata. Entahlah, seperti tak bosan diriku bertanya, mengapa orang baik selalu lekas terpanggil oleh-Nya. Wallahu ‘alam. Hanya Yang Maha Kuasa yang tahu.

Kedua Pendaki tersebut kini menyisakan kenangan dan pelajaran. Tentang bagaimana manusia dan alam berinteraksi dalam aktivitas mendaki. Ada banyak pesan tersampaikan dari mereka. Saya mendengarnya langsung dari lisan Almarhum Toto. Dalam beberapa kalimat ia mengabadikannya dalam postingan di Facebook.

Sebagai pendaki yang berskill mereka adalah survivor hebat, dalam beberapa pengalaman teruji. Teruji keras. Bukan pendaki abal-abal, yang banyak ditemui akhir-akhir ini.

***

Sejak boomingnya Film yang berjudul ‘5 Cm’, yang menghadirkan adegan berlatar Gunung Semeru dengan segala keindahannya, aktivitas pendakian mengalami peningkatan frekuensi secara spontan. Selain itu berbagai tayangan pertelevisian yang bergenre adventure, outdoor-entertain turut menyumbang trend ber-adventure pun khususnya mendaki sebagai aktivitas yang menggiurkan untuk dicoba. Parahnya efek ini berimbas pada rusaknya ekosistem di beberapa gunung di Indonesia. Yah, tourisme curse.

Meski tak terdefensikian melalui data, secara empiris kita bisa membuktikan itu. Mendaki pun umumnya kegiatan outdoor lainnya kini semakin familiar dipelosok masyarakat. Tengoklah kiri-kanan kita, postingan di media sosial. Hari ke hari foto bertema kan adventure muncul, bak cendawan di musim hujan. Hutan, Gunung, Sungai pun menjadi ramai dengan camp, Toko-toko outdoor pun mulai banyak bermunculan. Mendaki atau ber-adventure muncul sebagai sindrom sosial, lifestyle kekinian.

Sebagaimana umumnya kegiatan outdoor, mendaki memiliki resiko yang besar. Alam tak pernah akurat diprediksi. Terlebih bagi manusia-manusia yang tidak dibekali oleh skill pendakian yang cukup. Yaitu manusia yang lebih menuruti hasrat eksisnya ketimbang rasionalitas. Pendaki jenis baru. Mungkin saja penulis adalah salah satunya. Tulisan ini adalah otokritik, yang semoga bermanfaat bagi siapapun yang berhobi sama.

Memahami makna dari sebuah pendakian adalah kewajiban bagi siapa saja yang ingin bergelut dengan kegiatan ini. Mendaki bukan untuk ke puncak, tapi untuk kembali ke rumah dengan selamat. Apapun tujuannya, dari sekadar memenuhi hasrat, meneliti, konservasi, dan lainnya. Seorang pendaki wajib mengetahui manajemen perjalanan dengan baik. Mengetahui ilmu alam, teknik survival, mengutamakan keselamatan dan mematuhi etika penelusuran alam. Siapapun dia, apakah ia pendaki dadakan, sok nasionalis, pendaki kertas, bahkan siapapun sepanjang ia manusia yang masih berakal.

Dalam lisan kurang lebih, Almarhum Toto pernah menyatakan betapa pentingnya mengutamakan keselamatan. Kala itu dalam kenangan terakhir pertemuanku dengannya pada sebuah petualangan di daerah Sawapudo, Konawe. Bahwa petualangan bukan menaklukan alam, tapi menaklukan diri sendiri. Sejalan dengan itu, hal itu ternyata ia tulis dilaman facebooknya tertanggal 5 Januari, yang redaksinya sebagai berikut : ‘petualangan bukan untuk menakluk kan alam tapi untuk menakluk kan diri sendiri’.

Kenyataannya, tak jarang para pendaki lupa akan hal yang fundamental. Banyak pendaki melupakan bahwa alam bukan untuk ditaklukan. Tak mesti ada corat-coret dibatu. Sejalan seperti sindiran Rita Rubi Hartland dalam lagu Pecinta Alam, yang liriknya yakni ; ‘Batu batu cadas merintih kesakitan, ditikam belatimu yang bermata ayal. Hanya untuk mengumumkan pada khalayak, bahwa disana ada kibar bendera mu.” Jujur saja, pendaki seperti itu mudah ditemukan.

Sebagai prinsip yang tak kalah pentingnya, Almarhum pun menekankan akan kesadaran konservasi-bagaimana mencintai lingkungan. Dalam akun facebooknya tertanggal 17 November 2016 pun ia menulis ‘jangan titipkan dosa pada anak cucu kita dengan merusak lingkungan. Sungguh pesan yang mestinya kita maknai dalam, mesti menjadi kesadaran bagi siapapun. Agar alam sebagai wadah kehidupan tetap lestari bagi kehidupan manusia.

Kedua Almarhum merupakan kader Pecinta Alam. Sepak terjang mereka tak diragukan lagi dalam memperjuangkan kelestarian lingkungan. Disisi lain mereka adalah manusia-manusia yang tangguh, sebuah produk kaderisasi Alam Bebas dalam kurikulum Kepencinta-Alaman di organisasi Navernos (Mapala Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Halu Oleo). Organisasi yang terkenal tangguh. Keduanya memilki rasa kepedulian dan loyalitas yang tinggi.

Sebagai pesan yang paling hakiki, kedua Almarhum menyiratkan itu dalam pendakian terakhirnya. Untuk kita selami. Dalam faktanya, dalam proses pendakian mereka menggambarkan idealitas seorang Pendaki. Selama proses pendakian, Tim melakukan ibadah sholat lima waktu. Ditengah lelahnya menapaki medan ekstrim, ibadah sholat tak pernah mereka tinggalkan. Mereka sungguh memaknai keindahan alam yang mereka tapaki-nikmati adalah milik Yang Maha Pencipta.

Segala pesan yang tersirat dari kedua Almarhum, adalah pelajaran. Kebaikan mereka akan selalu terkenang. Semoga segala hikmah yang ia pancarkan menjadi penerang bagi pendaki yang masih bergelap mata dengan makna pendakian. Menjadi pengingat bagi pendaki yang selalu melewatkan ibadahnya di alam bebas. Menjadi pelajaran bagi seluruh pendaki. Menjadi pengingat bagi kita untuk tidak menitip dosa dengan mewariskan kerusakan lingkungan pada anak cucu kita.

***

Selamat jalan Edi, selamat jalan Toto. Kalian adalah legenda, kalian adalah semangat. Pesan kalian adalah pesan kehidupan. Semoga pesan itu selalu menyeruak di hati dan pikiran para pendaki pun manusia yang merusak lingkungan. Agar selalu sadar, bahwa segala sesuatunya mesti kita cintai. Semoga kalian mendapat tempat yang indah disisi Allah Subhanawataala. Aaamiin.

 

La Ode Muhram Naadu
Penulis adalah Pemerhati Sosial dan DPO Mapala Justice

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini