Menebak Akhir Pandemi Covid-19

234
La Lemanjaya
La Lemanjaya

Dalam 5 bulan terakhir, semua mata anak bangsa tertuju pada wabah Covid-19. Pandemi ini tidak hanya memukul sektor kesehatan, tetapi hampir membuat kondisi ekonomi stagnan menuju kontraksi tajam. Tidak heran, tarik ulur kebijakan penanganan virus ini berkisar antara sektor kesehatan dan ekonomi. Namun bagi sebagian kalangan, penyebaran virus Covid-19 juga dipadang sebagai tantangan dan kesempatan. Salah satu tantangannya adalah meramal kapan Covid-19 akan berakhir.

Hasil prediksi kapan selesainya pandemi ini sangat dinamis. Setidaknya ada beberapa lembaga yang telah mengeluarkan angka ramalannya. Lembaga seperti Badan Inteligen negara, pusat pemodelan matematika ITB, tim statistika dari UGM, tim epidemolog dari UI hingga lembaga Survei LSI memperkirakan covid-19 akan mencapai puncaknya bahkan berakhir di Bulan Juli ini. Namun data terkini memperlihatkan angka covid belumlah melandai, bahkan ada indikasi menanjak. Angka-angka prediksi yang disajikan hampir semua meleset.

Sulitnya Meramal Angka Covid

Prediksi terkait angka-angka Covid-19 sangatlah rumit. Setidaknya ada 3 hal yang menyebabkan kegagalan para ahli memprediksi berakhirnya covid menurut Prof. Rob Hyndman dari Monash University, Australia Pertama, seberapa dalam peneliti mengetahui faktor yang berkaitan dengan kasus Covid. Kedua, seberapa banyak data tersedia. Ketiga, apakah ramalan kita justru akan mempengaruhi kasus yang kita ramalkan tersebut.

Diawal kemunculannya peneliti masih bertanya-tanya bagaimana sifat-sifatnya. Pada Maret 2020, Badan kesehatan dunia atau WHO menyatakan virus ini menyebar melalui tetesan air liur (droplets) atau muntah (vomites), dalam kontak dekat tanpa pelindung. Namun di awal Juli, WHO melaporkan bahwa virus bisa menular bersamaan dengan penyebaran aerosol yang melayang di udara dalam jarak dan waktu yang lama.

Perkembangan pemahaman tentang sifat virus ini menyebabkan dinamisnya hasil ramalan terhadap angka-angka covid ini. Tingkat akurasi hasil prediksi saat pertama kali virus ini ditemukan dengan ramalan saat ini tentu berbeda. Seiring peningkatan pemahaman atau pengenalan sifat dan penyebaran virus ini, diharapkan hasil ramalan juga akan semakain baik.

Sebagian kalangan meragukan data resmi jumlah kasus terkonfirmasi Covid-19 yang diumumkan pemerintah. Menurut Dr. Dedy Dwi Prastyo, pakar Statistika dari ITS Surabaya, ada 2 kelemahan data Covid-19 pemerintah yaitu under reporting (cakupan laporan tidak lengkap) dan delay repoting (keterlambatan pelaporan). Kedua hal ini dikarenakan rasio tes per sejuta penduduk masih di bawah standar yang ditetapkan WHO. Selain masalah coverage, data yang dilaporkan hari ini, tidak semua menunjukan jumlah kasus yang ditemukan hari ini. Bisa jadi merupakan kasus yang ditemukan hari-hari sebelumnya. Sebagian sampel yang diujikan hari tertentu tidak bisa diperoleh di hari yang sama, ada waktu tunda/delay antara waktu pengambilan sampel dengan pelaporan hasil.

BACA JUGA :  Pengelolaan Sumberdaya Hutan di Era UU Omnibus Law

Kabar baiknya, kelemahan terkait data ini terus menerus diperbaiki pemerintah dengan memperbanyak testing dan laboratorium uji tes swab PCR. Pemerintah butuh waktu dua bulan setengah untuk bisa melakukan 10 ribu tes per hari. Namun untuk mencapai 20 ribu tes per hari, hanya berselang satu bulan. Angka-angkanya terus meningkat setiap hari. Demikian pula untuk lokasi tes Swab, hingga saat ini sudah terdapat di hampir semua ibukota provinsi seluruh Indonesia.

Penggunaan data yang tidak kualitas tentu akan mempengaruhi hasil peramalan. Ada istilah garbage in- garbage out. Jika data yang digunakan untuk prediksi tidak baik, maka sebaik apapun metode yang digunakan hasil ramalannya akan meragukan, atau bisa jadi memberikan kesimpulan palsu, bahkan tidak akan memberi arti apa-apa.

Faktor terakhir yang mempengaruhi akurasi peramalan adalah kemampuan mengubah hasil prediksi. Pertanyaanya, apakah ramalan terkait Covid di Indonesia dapat mempengaruhi jumlah kasusnya? Jawabannya bisa iya, bisa tidak. Seperti dicontohkan di awal penyebarannya, setelah mendapat masukan terkait proyeksi puncak pandemi, maka pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk mengurangi penyebarannya. Buktinya angka tingkat Rt atau effective reproduction number beberapa wilayah di Indonesia pernah mengalami penurunan hingga di bawah 1 di saat pelaksanaan PSBB (pembatasan sosial berskala besar), kebijakan belajar dari rumah (BDR) bagi pelajar dan mahasiswa, atau work from home (WFH) bagi karyawan atau pegawai. Rt adalah penambahan kasus yang terjadi di lapangan setelah mendapatkan berbagai intervensi. Rt dibawah 1 artinya penyebaran wabah terkontrol.

Secara umum, metode peramalan covid oleh para ahli dilakukan dengan 2 metode yaitu model univariate time series dan model phisycal process. Model univariate atau 1 variabel hanya memanfaatkan perilaku data jumlah kasus terkonfirmasi, untuk memprediksi angka-angka periode berikutnya. Sedangkan model phisycal process mempertimbangkan proses dasar atau faktor-faktor yang mempengaruhi penyebaran virus ini. Semakin banyak informasi yang terkait sifat virus ini, semakin presisi hasil ramalan yang dihasilkan.

BACA JUGA :  Pengelolaan Sumberdaya Hutan di Era UU Omnibus Law

Makna dibalik Proyeksi

All models are wrong, but some are useful (Semua model salah, tetapi sebagian bermanfaat), kata Goerge Box, seorang pakar peramalan terkemuka. Semua model prediksi memang tidak akan tepat betul dalam meramal, walaupun sebagian bisa mendekati nilai sebenarnya. Tetapi untuk mengetahui keakuratan hasil prediksi terhadap angka-angka covid19, maka kita harus menunggu hingga pandemi ini berakhir.

Tetapi terlepas dari kesesuaian hasil prediksi, yang paling penting adalah kita tetap harus tahu kapan puncak wabah ini akan terjadi. Dari situ, pihak terkait bisa mempersiapkan diri lebih awal guna menghindari kapasitas maksimum fasilitas dan petugas kesehatan. Pihak rumah sakit bisa mempersiapkan kamar perawatan, alat pelindung diri, ventilator, dan beragam kebutuhan medis lainnya. Hal lain, seiring dengan bertambahnya kasus positif yang menimpa tenaga kesehatan, prediksi puncak wabah juga dapat digunakan untuk menyiapkan tenaga kesehatan cadangan yang sewaktu-waktu dapat menggantikan peran petugas kesehatan saat ini. Tanpa peramalan, kita seakan berjalan di lorong gelap, tanpa tau sewaktu-waktu ada tantangan di depan sana.

Kembali ke pertanyaan, kapan pandemi ini akan berakhir?. Tidak ada satu pun yang bisa menjawab dengan tepat. Para statistisi, matematikawan, epidemolog hanya mencoba mencocokkan model yang dibangun dengan data yang dirilis pemerintah. Selama laporan tidak mencerminkan kondisi sesungguhnya, selama laporan tes tidak up-to-date, selama kasus belum bisa dikendalikan, selama itu pula ramalan hanya sekadar bernilai ramalan.

Para ahli dapat memprediksi atau meramal kapan pandemi covid berakhir. Pemerintah juga bisa melakukannya. Kelebihannya adalah pemerintah punya sumber daya untuk mengendalikan penyebarannya. Presiden Jokowi memprediksi puncak pandemi akan terjadi di bulan Agustus atau September. Prediksi ini seharusnya menjadi target yang diselaraskan dengan kebijakan pemerintah mengendalikan virus Covid-19. Jika kebijakan tes, lacak/trace, dan isolasi/treat dilakukan secara ketat, bukan tidak mungkin prediksi dan target tersebut dapat dicapai.

 


Oleh : La Leman Jaya
Penulis adalah Statistisi di BPS Kab Muna

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini