Menengok Wajah Pemilu Serentak 2019

256
Rekha Adji Pratama
Rekha Adji Pratama

Proses Pemilu Serentak 2019 masih berjalan. Ikhtiar masyarakat mencari pemimpin “sejati” melalui mekanisme demokrasi bermartabat patut disyukuri di tengah berbagai bencana alam yang terjadi. Bencana alam yang pararel dengan krisis kemanusiaan. Disharmoni interaksi sosial berbanding lurus dengan distorsi ekosistem di segala penjuru.

Miris memang kenyataan yang dihadapi masyarakat kita. Setelah kehilangan kesejahteraan material, mereka harus kehilangan kebahagiaan batiniah. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta berkembangnya demokrasi belum bisa mendongkrak nasib mereka ke taraf lebih baik. Tadinya ilmu pengetahuan, teknologi dan demokrasi diharapkan akan membawa kebahagiaan dan meningkatkan taraf kesejahteraan, tapi kini malah jadi bencana.

Kerusakan moral dan kehilangan adab makin menjadi-jadi. Kasus kriminalitas amatir sampai kejahatan kerah putih menjadi benang kusut yang susah diuraikan karena pangkal ujung masalahnya sangat tersembunyi (disembunyikan). Bukan salah ilmu pengetahuan, teknologi dan demokrasi tetapi masyarakat kita sebagai penggunanya yang belum siap. Mereka belum siap memanfaatkan ilmu pengetahuan, teknologi dan demokrasi untuk kemaslahatan bersama.

Dekadensi masyarakat sampai pada taraf krisis eksistensial. Masyarakat dalam kondisi labil, gamang, apatis dan hampir tidak punya harapan. Pertanyaan-pertanyaan eksistensial primordial universal muncul ke permukaan. “Siapa saya? Hidup saya ini sebenarnya untuk apa? Lalu mau kemana setelah mati nanti?” Apa boleh buat, ilmu pengetahuan, teknologi dan demokrasi yang mengandalkan metode rasional empiris tidak mampu menjawab pertanyaan eksistensial tersebut. Deadlock ketika menghadapi problem eksistensial manusia karena memang hakikatnya eksistensi manusia terletak pada spiritualitasnya (ruh). Jasad/ fisik manusia hanya casing bukan hakikat eksistensi manusia.

Spiritualitas

Spiritualitas adalah esensi manusia yang menembus alam materi, ruang dan waktu. Dengan spiritualitasnya seseorang bisa bersentuhan langsung dengan ruh Tuhan. Sebab itu krisis eksistensial masyarakat hanya dapat dijawab oleh agama. Menurut agama manusia diciptakan dari tiupan ruh Tuhan. Manusia diciptakan untuk beribadah kepada-Nya. Ibadah khusus yang tidak dibebankan kepada makhluk-Nya yang lain termasuk malaikat, yaitu menjadi wakil (mandataris) Tuhan dalam mengurus, mengelola, mengatur dan memimpin kehidupan di muka bumi dengan cara menebarkan rahmat-Nya.

Raison D’etre manusia adalah menjadi khalifah yang mengatur kehidupan di muka bumi. Nilai manusia terletak pada kemampuannya memakmurkan bumi dan semua penghuninya. Sebagai khalifah (wakil) manusia telah disiapkan dengan kualitas, kapasitas dan fasilitas oleh Tuhan untuk merealisasikan maksud dan tujuan penciptaannya. Manusia memiliki kapasitas untuk meniru sifat-sifat Allah Swt sebagai pihak yang mewakilkannya.

Dengan kualitas, intensitas dan kadar yang berbeda, manusia mempunyai sifat-sifat kasih sayang (jamaliyah) dan keperkasaan (jalaliyah) Tuhan Swt. Dengan pancaran sifat-sifatnya itu, Tuhan membimbing manusia mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan. Inilah modal spiritual manusia saat berinteraksi sosial dalam suatu eksosistem.

Bukan hal yang salah jika hadirnya kepala daerah yang mempunyai modal spiritual yang besar sangat diharapkan di tengah dominasi kekuatan modal finansial. Kekuatan finansial candu yang memperparah penyakit hedon, permisif dan materialis masyarakat. Memang kekuatan spiritual terbesar ada pada diri para Nabi, akan tetapi bukan perkara mustahil ada di kalangan tokoh masyarakat yang mendapatkannya. Tugas kenabian dalam memimpin masyarakat dibebankan kepada ulil amri yakni ulama dan umara. Jika para nabi dipilih dan ditunjuk langsung oleh Tuhan, maka pemilihan ulil amri diserahkan Allah Swt kepada masyarakat. Baik buruk pemimpin masyarakat, tergantung pilihan masyarakat. Dengan kata lain, nasib masyarakat sesungguhnya ada di tangan mereka sendiri.

Hak pilih masyarakat adalah hak politik yang Allah Swt berikan. Dengan rahmat-Nya, masyarakat mempunyai hak politik. Mempunyai hak politik itu nikmat yang wajib disyukuri. Berpartisipasi dalam pilkada dengan cara turut mencoblos salah satu kandidat merupakan wujud sikap bersyukur atas nikmat politik ini. Tentu mencoblos calon kandidat atas dasar kesadaran dan kerelaan diri sendiri, bukan karena paksaan dan rayuan. Mencoblos kandidat yang diduga kuat mampu membawa kemaslahatan bersama. Sebaliknya, melakukan aksi golput dianggap kufur nikmat. Sehingga pesta demokrasi di daerah menjadi pesta spiritual dan politik.

Pemimpin yang memancarkan sifat-sifat jamaliyah dan jalaliyah Tuhan adalah yang mewarisi karakter para nabi. Kepemimpinan berkarakter kenabian maksudnya pemimpin yang berjiwa pelayan, pengayom, pengasuh, pengurus dan pelindung masyarakat secara lahir batin. Kesesuaian antara tingkah laku dan tutur kata menunjukkan kejujuran suasana hatinya (ahwal). Hal ini berimplikasi kepada sikap amanah (bisa dipercaya). Indikasi pemimpin yang amanah terlihat dari tingginya indeks rasa aman dan tentram
masyarakat, di samping capaian target kesejahteraan dan indeks kebahagiaan. Untuk itu, pemimpin harus cerdas (fathanah), berwawasan luas dan terbuka terhadap inovasi baru dalam segala bidang ilmu dan teknologi. Kemudian berkomunikasi kepada masyarakat dengan pola dua arah (tabligh). Dari masyarakat, pemimpin propetik mendengar berbagai masalah, keluh kesah, harapan dan aspirasi mereka.

Tanpa melupakan arus modernisasi dan globalisasi menjadi tantangan tersendiri bagi nilai, norma dan kearifan lokal. Setidaknya, kasus-kasus radikalisme, terorisme, penganiayaan ulama, dll jadi sinyal akan kerenggangan nilai, norma dan krisis spitualitas masyarakat. Semoga dengan modal spiritual yang tersisa, Pemilu Serentak 2019 menghasilkan para pemimpin dan wakil rakyat berjiwa propetik yang membawa kehidupan yang lebih baik, berkualitas, beradab dan bermartabat. Pemimpin yang berfungsi sebagai mandataris Allah Swt dalam memakmurkan bumi dan penghuninya yang rahmatan lil ‘alamin, yang menjadi surga di dunia sebelum jannah di akhirat nanti.

 

Oleh : Rekha Adji Pratama
Penulis Merupakan Dosen Ilmu Politik & Pemerintahan UHO

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini