Mengenal Sejarah Pendiri Masjid Tertua di Dataran Konawe

808
Mengenal Sejarah Pendiri Masjid Tertua di Dataran Konawe
Masjid Babussalam berada di Desa Puuwanggudu Kecamatan Asera, sekitar 3,8 kilometer dari pusat pemerintahan ibukota Kabupaten Konawe Utara. MURTADIDIN/ZONASULTRA.COM
Mengenal Sejarah Pendiri Masjid Tertua di Dataran Konawe
MASJID TERTUA : Masjid Babussalam berada di Desa Puuwanggudu Kecamatan Asera, sekitar 3,8 kilometer dari pusat pemerintahan ibukota Kabupaten Konawe Utara. MURTADIDIN/ZONASULTRA.COM

 

ZONASULTRA.COM, WANGGUDU- Ketika memasuki wilayah Kabupaten Konawe Utara(Konut) Sulawesi Tenggara (Sultra), nampak begitu banyak bangunan masjid yang berdiri kokoh disepanjang jalan.

Namun, wilayah pemerintahan Aswad-Ruksamin, berdiri sebuah masjid yang diberi nama masjid Babussalam yang telah berusia ratusan tahun dan merupakan masjid tertua di dataran bumi Konawe.

Masjid tersebut berada di Desa Puuwanggudu Kecamatan Asera, sekitar 3,8 kilometer dari pusat pemerintahan ibukota Kabupaten Konawe Utara.

Sebagian jalan memasuki pedesaan ini memang belum tersentuh aspal, hanya sebatas pengerasan berupa batuan kerikil.

Meski Desa Puuwanggudu sering menjadi langganan banjir jika musim penghujan tiba akibat luapan sungai Lasolo. Uniknya, Masjid Babussalam tak terbawa arus banjir, padahal berada di pinggiran sungai Lasolo yang terkenal dengan deras arusnya dan hanya berjarak kurang lebih 2 meter.

“Masjid tersebut berada dipinggiran sungai Lasolo, jika musim penghujan datang kampung ini jadi langganan banjir. Tapi, masjidnya tidak apa-apa tetap berdirih kokoh,” kata Firman, salah satu warga.

Konon, sejarah Masjid Babussalam yang merupakan masjid tertua di dataran Konawe dibangun oleh H. Lasamanae pada tahun 1875, dengan luas sekitar 10×10 meter.

Pembangunan masjid tersebut sebelumnya masih menggunakan papan, namun seiring perjalanan waktu masjid tersebut direnovasi hingga berdindingkan beton.

Mesti telah mengalami beberapa kali perombakan dalam bentuk permanen, namun kandungan sejarah masa lalu dan pendirinya masih terpampang rapi. Sehingga tidak menghilangkan nilai-nilai historis didalamnya.

“Ada empat tiang penyangga yang terdapat di dalam masjid, tiang tersebut melambangkan unsur sara Tolaki atau yang disebut Simbole Patohu. Sebenarnya masjid ini memiliki dua guci yang berasal dari China, satu guci disimpan oleh orang tua bernama Tanggaasi, sedangkan yang satunya telah dicuri,” ujar Daniel J Bunggulawa, salah satu tokoh masyarakat tolaki.

Selain pendiri masjid, lanjut mantan Kadis Perkebunan Provinsi Sultra ini, Lasamana sendiri dikenal sebagai pembawa agama islam secara syariah. Jejak peradaban Islam di wilayah daratan Konawe Utara memang sudah ada sejak kerajaan Konawe berdiri. Namun, sebagian masyarakat masih belum melaksanakan ajaran agama islam secara utuh.

Untuk memperdalam ilmu agama Islam, H. Lasamana, memutuskan untuk berangkat ke tanah Arab menimba ilmu agama Islam. Sehingga sekembali dari tanah suci H. Lasaman dapat menyebarkan syariat Islam ke penjuru tanah daratan Konawe.

“H. Lasamana pernah menuntut ilmu di tanah arab selama lima tahun. Dia menuntut ilmu agama islam pada Syech Muhammad Dalmaki,” ujar Daniel

Singkat cerita, H. Lasamana kembali di Wanggudu bersama dengan anak Syech Muhammad Dalmaki yang bernama Syech Abdul Juhaepa, untuk membantu mengajarkan agama islam di dataran Konawe. Selain mendirikan masjid di Wanggudu, H. Lasamana kala itu juga mendirikan masjid di Kota Kendari, Wawonii dan Tongauna.

“Beliau (H Lasamanae) juga mengumpulkan sebanyak 30 orang yang akan dijadikan imam besar. Semuanya itu tersebar pada beberapa daerah di Konawe. Orang yang dikumpul diajari bagaimana mengafani dan menyalatkan jenazah, salat, menikahkan hingga menyunat,” ungkapnya.

H. Lasamanae, lanjut tokoh berdarah Cina itu, juga dikenal sebagai pedagang pada masa itu. Sehingga di Wanggudu (sekarang Puuwanggudu, red) juga dikenal sebagai pusat perekonomian masyarakat kala itu.

Sebab, beberapa pedagang Cina yang berasal dari Canton melakukan perdagangan di pesisir Sungai Lasolo dengan menjual sembilan bahan pokok (Sembako) maupun hasil bumi seperti rotan.

“Kedatangan orang Cina berdagang di sini hanya gara-gara rotan. Karena H Lasamanae ini juga dulunya sering mengekspor rotan. Bahkan toko Cina di Wanggudu ini terdapat 11 toko. Termasuk toko Cina yang ada di Kendari seperti toko Diamon semuanya berasal dari Wanggudu. Sekitar ada 40 toko di Kendari semuanya dari Wanggudu,” ceritanya.

Beberapa kuburan Cina yang terdapat di Desa Wanggudu Raya, tak jauh dari Desa Puuwanggudu menjadi bukti. Meski, beberapa diantara makam orang Cina telah ada yang dipindahkan ke Kendari.

Daniel J Bunggulawa menambahkan, nama H Lasamanae memiliki empat nama diantaranya. H Lasamanae (untuk nama kampung), H Abdul Latief untuk nama pedagangnya, H Taata ( untuk nama pemerintahan), serta H Abdul Gani (untuk nama hajinya).

Kepala Desa Taipa, Burhan menuturkan, jika H Lasamana sendiri menurut kisah adalah masyarakat Kabupaten Konawe Utara yang berdomisili di Wanggudu dan Desa Taipa.

“Dia (H Lasamana) salah satu tokoh masyarakat Desa Taipa, makanya kuburannya ada di Taipa. Tapi dia juga keluarga Wawonii. H Lasamana itu banyak turunan keluarganya disini (Taipa), salah satunya isteri saya,” kata Burhan.

H. Lasamana meninggal dunia pada tahun 1920 dan dikebumikan di Desa Taipa Kecamatan Lembo Kabupaten Konawe Utara (Konut), dan makam tersebut telah dijadikan sebagai Cagar Budaya Kabupaten Konawe Utara.

 

Penulis : Murtaidin

Editor  : Kiki

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini