Menghargai Bantuan

189
Andi Syahrir
Andi Syahrir

Pernahkah Anda begitu keberatan dengan permintaan dari kasir pusat perbelanjaan agar uang kembalian sebesar dua ratus lima puluh rupiah disumbangkan ke yayasan tertentu? Atau diganti dengan sebutir permen?

Dalam beberapa hal, sebenarnya Anda tidak mempersoalkan besaran uangnya. Tapi nalar “kali-kali” Anda jalan. Seribu orang saja yang kembaliannya tidak diambil sudah dua ratus lima puluh ribu. Itu baru sehari. Bagaimana kalau sebulan? Kalau setahun. Itu uang banyak.

Pada pemberian biaya operasional bagi para penyuluh pertanian, yang ditanggung oleh negara, setiap penyuluh menerima empat ratus ribu rupiah per bulan. Sudah bertahun-tahun biaya operasional penyuluhan (BOP) itu tidak berubah. Maksudnya, tidak naik-naik.

Jika dibandingkan dengan tugas menemui petani selama sebulan, biaya operasional itu jauh dari cukup bagi seorang penyuluh. Namun, kementerian pertanian tidak serta merta bisa menaikkannya sekalipun sudah sering disuarakan.

Jumlah penyuluh pertanian se-Indonesia itu 38.361 orang. Selama 12 bulan, kementerian pertanian harus mengeluarkan anggaran lebih dari Rp 184 miliar. Itu baru penyuluh pertanian. Itu baru belanja operasional.

Jika melihatnya person by person, maka angka Rp 400 ribu itu nilainya kecil. Tapi jika melihatnya dalam konteks pembiayaan pemerintahan, angkanya besar. Bayangkan jika digunakan membangun jalan. Berapa kilometer bisa terwujud dengan Rp 184 miliar.

Tapi tidak bisa begitu. Duit 400 ribu itu memang untuk membiayai operasional para penyuluh pertanian kita. Dengan segala kekurangannya, duit negara itu tetap menjadi bagian dari upaya untuk meringankan operasional para penyuluh.

***

Pada sebuah jejaring sosial, saya menemukan video dimana seorang ibu ngomel-ngomel karena dia hanya mendapatkan bantuan Covid-19 seperti mi instan, tepung terigu, gula pasir, ikan kaleng, dan beberapa barang kebutuhan dapur lainnya. Video itu bukan kejadian di Sultra.

Sepertinya dia kecewa dengan catu pangan yang di matanya terlihat “remeh temeh” itu. Tidak sepadan dengan ekspektasinya bahwa bantuan berasal pemerintah nilainya harus besar. Harus Banyak. Karena pemerintah punya uang banyak.

Kita lihat contoh yang lebih dekat. Pemprov Sultra. Melalui dinas sosial. Salah satu daerah penerima adalah Buton Utara (Butur). Paket bantuannya berupa mi instan (6 bungkus), minyak goreng (1 liter), gula pasir (3 kg), susu kental manis (3 kaleng), ikan kaleng (1 kaleng), kecap manis (2 botol @275 ml), terigu (2 kg), dan saos sambal (2 botol @135 ml).

Iseng-iseng saya menghitung paket itu dengan menggunakan standar harga di swalayan Kota Kendari. Saya memperoleh angka Rp 158.500,- per paket. Anggaplah karena beli banyak, paket itu sedikit lebih murah dan dibulatkan menjadi Rp 150.000 saja.

Jumlah penerima di Butur sebanyak 3.129 orang. Artinya, terdapat Rp 469.350.000. Untuk Butur saja. Anggaplah 17 kabupaten/kota rata sebanyak itu. Hampir delapan miliar totalnya. Bayangkan jika digunakan untuk membangun jalan usaha tani. Lumayan.

Sekali lagi, duit itu memang bukan untuk membangun apa-apa. Melainkan membantu masyarakat yang terdesak urusan pangannya gara-gara wabah Corona. Kalau dilihat paketnya secara perorangan, tentulah tidak seberapa.

Tapi jika melihat dari perspektif yang lebih luas, manfaatnya justru lebih besar. Misalnya, jika digunakan untuk pembangunan fasilitas umum. Syukurlah, tidak ada warga Sultra yang meremehkan bantuan ini. Barangkali. Semoga.***

 

Oleh : Andi Syahrir
Penulis Merupakan Alumni UHO & Pemerhati Sosial

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini