Mengurai Pola Menawarkan Cara

243
Indra Eka Putra, S.H., CPL
Indra Eka Putra, S.H., CPL

Mengurai Pola Menawarkan Cara
(Ikhtiar Kolektif Mengikis Money Politik)

Seperti buang angin baunya dapat fisiknya ghoib begitulah ungkapan yang mengemuka saat topik pembahasan kita terkait money politics. selama kantong masih mengahadap keatas selama itu pula emosi terlibat (phatos) melekat kuat, selama orang masih butuh uang atau selama uang masih menjadi alat tukar yang sah maka, selama itu pula money politics itu akan terus ada dengan pola dan modus-modus terbarukan bahkan, lebih canggih dari sebelumnya;

Narasi diatas adalah necessary truthyang selalu mengemuka saat diskusi kita seputar money politics.Mengapa, disebut necessary truth? Kata Descartes selama manusia masih berfikir, selama manusia masih waras, metode dualitas akan terus terjadi.Quod vitae sectabor iter? (jalan hidup manakah yang harusnya ditempuh manusia?) begitu quotenya dilanjutkan. Hitam-putih, baik-buruk, jahat-tidak jahat akan terus menghiasi pola perilaku manusia dalam keseharian. Ilmu hukum sebagai bagian dari turunan ilmu filsafat juga mengenal pola atau metode hidup dan berkehidupan dalam suatu komunitas keluarga dan Negara tersebut.Ada kausalitas disana, misalnya Thomas Aquinas secara tersirat menyatakan bahwa meskipun kejahatan adalah keniscayaan atau koefisien jima dari tertutupnya kebaikan dalam diri manusia.Tetapi kejahatan bukan tanpa penangkal, dengan ilmu pengetahuan yang benar-benar suci (dalam konteks niat, proses, hasil dan dampaknya) maka dengan sendirinya manusia itu dapat terhindarkan dari perilaku jahat tersebut.Sekali lagi bahwa terma yang dihadirkan adalah “terhindarkan” bukan “terhilangkan”.Karena kalau “dimensi” ilmunya tepat, Itulah jalan menghindar.Seperti kausalitasnya hujan dan basah.Semua hujan berarti air, dan semua air berefek basah.Tetapi tidak semua hujan berefek basah kepada semua orang.Jika orang tersebut sebelum hujan berteduh atau menyiapkan payung.Dalam konteks kejahatan pula penulis, berpandangan demikian.Bahwa problem ‘evil’ atau kejahatan sejak pra Socrates telah dibahas, sampai puncaknya pada pertannyaan para kaum epikurianisme.Tentang problem of evil atau pada bagian lain menyatakan sebagai problem keadilan tuhan (theodise).Secara singkat semua pembahasan tentang kejahatan itu bukan tanpa jalan keluar.Dan jalan keluarnya yang paling disepakati oleh para filsuf setiap dekade atau jaman adalah Ilmu pengetahuan (akal yang aktif) sebagai jalan keluar membentengi hidup dan kehidupan dari problem of evil tersebut.

Strategi tertib berhukum

Dalam buku ‘Teori Hukum; strategi tertib manusia Lintas Ruang dan Waktu’ Bernard L Tanya, Yoan dan Markus Hage secara apik menyusun keragka teori para ahli hukum lintas generasi tersebut untuk menciptakan tertib manusia atau, dengan kata lain “strategi manusia terhindar dari perilaku kejahatan”. Buku yang diberi pengantar oleh pencetus teori hukum progresif “Satjipto Raharjo” itu, ingin menjelaskan bahwa Hukum itu untuk manusia (esensial) bukan sebaliknya, manusia untuk hukum (aksidensial).Bahwa teori-teori hukum harus hadir dalam rangka sebagai upaya doktrin terhadap manusia agar terhindarkan dari perilaku menyimpang yaitu perilaku kejahatan.Sebut saja, teori hukum klasik (pra Socrates) menekankan harmoni manusia dengan alam (kosmosentris) yang menjadi pusat kajian para pemikir saat itu.Artinya, semua teori hukum klasik yang lahir juga dalam rangka keseimbangan semesta termasuk keseimbangan perilaku manusia. Begitupun era Socrates, plato dan aristo atau yang dikenal dengan masa keemasan yunani. Mengenalkan manusia sebagai poros pembahasan semesta (antroposentris).Artinya manusia bertanggung jawab terhadap kebaikan semesta.Karena tanggung jawab itulah maka dia (manusia) mesti cerdas (akal aktif) dengan mempelajari semua dimesi ilmu da mengendalikan semesta dengan kebaikan. Selanjutnya meskipun ada pergeseran poros pembahasan pada era skolastik yang menempatkan tuhan (teosentris) sebagai poros tujuannya tetap untuk mencipta kebaikan, dan manusia sebagai subjek (hukum) konkretlah yang tetap dimintai pertanggungjawaban atas ketimpangan atau kejahatan yag terjadi.Itupula yang membuat era modern menyempurnakan konsep-konsep antroposentrisnya agar tampak lebih koresponden dengan semesta sebagai tempat bermukim dari manusia itu sendiri.Dan pasca modern, seperti yang kita ada didalamnya saat ini mengenal dengan era Postmodernisme yaitu era yang menggabungkan ketiga teori sebelumnya (Cosmo, antro dan teo) untuk menata kehidupan dalam alam raya ini.Tentu kunciannya tetap kembali pada proposisi awal bahwa semua teori dari masa ke masa (khsusnya dalam ilmu hukum) adalah ingin menegaskan bahwa “Hukum itu untuk manusia, bukan manusia untuk hukum”. Proposisi lain bahwa, manusia dengan segala dimensi pengetahuannya dibebani amanah untuk menciptakan tertib manusia dengan pola dan cara yang terus dimodernisasi.

BACA JUGA :  Pengelolaan Sumberdaya Hutan di Era UU Omnibus Law

Kejahatan sebagai penyimpangan

William james (1842-1910) menyiratkan bahwa ilmu pengetahuan tidak boleh berhenti pada ide, semua kebaikan ilmu mesti “menyata” dalam kebaikan sehari-hari kita. Jika orang berilmu melakukan kejahatan maka, sebenarnya dia bukan orang berilmu. Itulah sebabnya William james menekankan Mazhab Pragmatisme, yaitu lebih menekankan pada hasil perbuatan bukan semata-mata ide yang melangit. Jika kita menilik kata caknur bahwa sifat manusia yang cenderung kepada kebaikan, maka manusia pelaku kejahatan adalah manusia yang menyimpang dari fitrahnya menjadi orang baik.Faktornya bisa beragam; misalnya, orang berilmu, tetapi niatnya sejak awal menuntut ilmu adalah ingin menjadi kaya raya bagaimanapun jalannya.Itulah yang membuatnya terjerembab dalam perilaku menyimpang tersebut (berbuat jahat).Kedua; bisa saja prosesnya yang salah dalam menuntut ilmu.Saya mencontohkan orang yang niatnya mencuci baju.Secara niat dia benar.Tetapi jika mencuci baju menggunakan ‘air kencing’ maka itulah yang dimaksud niatnya baik tapi caranya ‘salah’.Ketiga; hasilnya.Bahwa kadang kala pendidikannya baik, dari niatnya baik, prosesnya baik tapi hasilnya jelek itu juga masalah.Contoh kita mencuci baju, dengan niat baik, prosesnya juga baik (dengan air bersih dll) tetapi pas hasilnya kita menjemur dijemuran yang kotor.Tetap juga hasilnya tidak baik.Terakhir, Efeknya; niatnya baik, prosesnya baik, dan hasilnya baik. Tetapi yang kita cuci adalah bikini yang akan dipakai ditempat umum dan memunculkan aurat dan menimbulkan syahwat bagi orang lain itu juga tidak baik. Narasi contoh diataslah yang sebaiknya menjadi focus pada dunia keilmuan kita hari-hari ini. Sebagai upaya ‘menghindari’ perilaku menyimpang atau perbuatan jahat tersebut.

Money politik sebagai perilaku menyimpang (kejahatan)

Telah penulis uraikan sebelumnya bahwa perilaku menyimpang adalah akibat dari proses keilmuan yang tidak paripurna (niat, proses, hasil dan efek). Mari kita check terkait dengan sejarah money politics. Pada pemilu 1955 istilah money politik tidak dikenal, pada sejarahnya, hal serupa (pemberian sesuatu atau tekanan) masih disebut sebagai strategi pemenangan pemilu bagi partai politik meskipun pada pemilu pertama 1955 dikatakan banyak pihak sebagai pemilu paling demokratis di indonesia. Pada pemilu dimasa orde baru juga sama (1972, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997) terma money politik belum dikenal, perilaku dimaksud dalam sejarahnya telah dilakukan bahkan pada orde baru dibarengi dengan intimidasi dari aparat militer untuk memilih/tidak memilih partai tertentu. Tetapi sekali lagi bahwa keilmuan kita saat itu tentang money politics menganggapnya sebagai strategi dan taktik (stratak) pemenangan belaka.Hampir semua mengatakan bahwa itu bukan penyimpangan atau bahkan kejahatan.Nanti pada era reformasilah istilah (terma) money politics dituangkan kedalam regulasi pemilu sebagai kejahatan tau perilaku yang menyimpang.Apa yang ingin penulis sampaikan bahwa, ternyata soal kejahatan dan bukan kejahatan bagi manusia Indonesia itu masih menagcu pada norma letterlijk (tertulis) ansich. Dia mengemuka sebagai kejahatan jika juga dia (money politics) mengemuka dalam norma pasal regulasi pemilu kita. Kita, di Indonesia. Soal kepantasan (moralitas) belum menjadi patokan hidup dan berkehidupan kita.Dimensi moral dianggap sebagai “dunia lain” yang tidak bisa dicampur dengan hukum sebagai produk konkret tertulis.Itulah perdebatan kaum positifistik dan progresif.Kaum yang menempatkan ‘Hukum untuk manusia’ agar esensial dan yang menematkan ‘manusia untuk hukum’ yang hanya aksidensial, kaku dan robotik.Manusia dijadikan sebagai objek hukum bukan subjek hukum.

BACA JUGA :  Pengelolaan Sumberdaya Hutan di Era UU Omnibus Law

Tawaran Cara

Linear dengan apa yang penulis sampaikan diatas bahwa kendala kita dalam menghadapi perilaku politik uang adalah pertama-tama pada dimensi keilmuan kita. Yaitu masih menempatkan terpisah antara dimensi moral dan dimensi hukum positif (letterlijk). Olehnya, saat pola politik uang berubah menjauhi jebakan norma pasal (dengan metode dan pola terbarukan) hukum positif tak mampu lagi menjeratnya. Misalnya saja. Bahwa dalam UU pemilu nomor 7 tahun 2017 menyatakan bahwa yang dapat dijerat dalam politik uang adalah Peserta, atau tim kampanye yang tercatat di KPU. Olehnya untuk menghindari jebakan pasal itu yang membagikan uang serangan fajar bukanlah tim yang terdaftar. Memang dalam UU aquo tetap menyebut setiap orang tetapi waktunya hanya pada hari H pencoblosan. Artinya jika masa kampanye dan setelah pencolosan yang dapat dijerat hanyalah ‘terbatas’ pada peserta, dan tim kampanye yang terdaftar di KPU. Ini faham kita yang masih positifistik menganggap benar-salahnya tergantung pada apa yang tertulis dalam Norma Undang-undang. Namun mengabaikan dimensi moral.

Manusia dan UU-nya

Bagian akhir ini penulis ingin mengingat ulang perdebatan antara Prof. Yusril Ihza Mahendra dan Prof. Mahfud MD tentang cara memperbaiki bangsa ini, apakah melalui sistemnya menurut Prof. Yusril ataukah orangnya menurut Prof. mahfud MD. Pada konteks money politics ini, saya menganut mazhab Prismatik yaitu mengambil saripati kedua hal tersebut untuk dijadikan satu bahwa menghindari money politics menjangkiti masyarakat pemilu kita, bukan hanya dengan In Concreto (tertulis di UU pemilu) tetapi juga mesti dengan In Abstracto (Moral/Etika Masyarakat) kita. Mesti disusun Ulang pola pendidikan politik kita yang mengadopsi konsep ketatanegaraan prismatic (memperbaiki Norma Pidana Politik Uang dan Menyusun Ulang Konsep Pendidikan politik Indonesia) dengan cara memadukan Recht Bevoel (perasaan hukum) dan Recht Bewujtzin (kesadaran hukum). Dan kepada DPR kita tidak usah mengembangkan budaya Thromologi atau tergesa-gesa dalam merumuskan Norma Pemilu kita, agar semuanya baik.Minimal dapat menghindarkan masyarakat kita dari pola menyimpang tersebut.Wallahu a’lam Bisshawab

 

Oleh : Indra Eka Putra, S.H., CPL
Penulis Merupakan Kordiv Hukum Penanganan Pelanggaran dan Penyelesaian Sengketa Bawaslu Kabupaten Konawe masa jabatan 2018-2023

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini