Menyimpul Ulang Tali Penyuluhan

45
Andi Syahrir
Andi Syahrir

Kebijakan penyuluhan pertanian tidak bisa terlepas dari kebijakan pertanian secara holistik. Penyuluhan akan selalu berjalan pada koridor pembangunan pertanian yang terpadu. Selama ini, ego sektoral telah meruntuhkan soliditas ini. Tak jarang, lembaga penyuluhan menuding instansi teknis pertanian tidak melakukan tugasnya dengan baik. Sebaliknya, institusi penyuluhan juga dianggap lalai memenuhi tanggungjawabnya.

Andi Syahrir
Andi Syahrir

Ini adalah penyakit birokrasi yang dengan mudah kita temukan. Tidak hanya di Indonesia, bahkan di negara maju sekalipun kerap kita menemukan miskoordinasi seperti ini. Lalu rezim Presiden Jokowi menggagas untuk menyatukan penyuluhan dan urusan teknis pertanian di bawah satu atap. Dimaksudkan untuk menyatukan persepsi tentang arah pembangunan pertanian yang hendak dituju. Mendekatkan koordinasi dan instruksi.

Awal 2017 ini, semua lembaga penyuluhan pertanian tingkat provinsi dan kabupaten dilebur, bergabung ke instansi teknis pertanian secara luas (tanaman pangan, ketahanan pangan, perkebunan, dan peternakan). Hingga memasuki pekan kedua Februari, secara teknis proses penggabungan itu telah rampung.

Tetapi ada persoalan lain yang belum tuntas. Pertama, tentang sumber daya manusia penyuluhan. Kedua, transfer wacana-wacana penyuluhan untuk diintegrasikan ke dalam tubuh instansi teknis yang diposisikan sebagai induk.

Kita lihat yang pertama. Dipahami bersama, bahwa sumber daya penyuluhan terdiri atas personil struktural dan fungsional. Personal struktural praktis tidak ada masalah. Yang dapat jabatan, yah untuk sementara lepas dulu. Menunggu peruntungan di masa mendatang. Persoalan justru terjadi pada personil fungsional.

Ada ketidakseragaman penatalaksanaan administrasi terkait penyuluh, terutama menyangkut status fungsionalnya. Terdapat daerah –yang begitu lembaga penyuluhannya dilebur– segera mengalihkan kedudukan penyuluh tersebut ke instansi baru tanpa mengutak-atik jabatannya sebagai penyuluh.

Dasar pemikirannya, jabatan penyuluh adalah jabatan profesi yang melekat dengan status kepegawaiannya. Begitu terangkat sebagai penyuluh, tidak ada yang menggugurkan status penyuluhnya kecuali tiga hal, angka kreditnya tidak terpenuhi untuk batas waktu yang ditentukan, melakukan pelanggaran disiplin, atau diangkat dalam jabatan lainnya. Itu tertuang dalam permenpan ataupun permentan. Dan belum ada perubahan sejauh ini.

Selanjutnya, juga terdapat daerah yang mempersepsikan bahwa dengan leburnya lembaga penyuluhan, maka seperti halnya para personil struktural, seorang penyuluh juga berakhir jabatannya sehingga perlu diangkat kembali pada kedudukannya di lembaga yang baru (instansi teknis). Logika ini karena tidak memiliki dasar regulasi yang jelas, pada akhirnya membingungkan.

Sejauh ini, di tengah tekanan target tanam, target produksi dan produktifitas, yang membutuhkan pengawalan dengan segera, status administrasi fungsional seorang penyuluh masih tidak jelas. Ini mempengaruhi militansi seorang penyuluh. Bagaimana bekerja dengan fokus, jika urusan-urusan administrasi yang pada gilirannya berdampak pada persoalan periuknya belum tuntas.

Tidak ada pedoman baku yang menjadi pijakan dan kesepakatan bersama pada setidaknya tiga lembaga yang menangani mereka: instansi tempatnya bernaung, instansi yang mengurusi kepegawaian, dan instansi yang mengurusi keuangan/penggajian.

Rasanya cukup aneh, jika ada dua kelompok daerah dengan pendekatan yang berbeda, padahal pranata hukum yang digunakannya bersumber dari regulasi yang sama.

Persoalan kedua. Tentang transfer wacana-wacana penyuluhan. Sejak diundangkannya UU 16/2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan, menjadi babak baru terpisahnya urusan penyuluhan dengan urusan teknis pertanian lainnya dalam lembaga yang berbeda.

Dapat dikatakan bahwa dalam rentang sekitar 9-10 tahun, ada keterputusan wacana di tingkat teknis-pragmatis penyuluhan dengan urusan teknis lainnya. Sumber daya manusia di lingkungan penyuluhan menjadi kurang informatif mengenai program-program teknis. Pun demikian halnya personil teknis mengalami diskonektifitas dengan isu-isu penyuluhan.

Dengan demikian, perlu ada upaya –bahkan langkah percepatan– untuk menyambung kembali simpul tali yang sempat lepas ini. Perlu ada diskusi-diskusi rutin untuk menyamakan persepsi, tukar pemahaman, dan berbagi pengalaman di antara dua kutub pendekatan yang berbeda ini.

Urusan teknis sama sekali berbeda dengan urusan penyuluhan. Persoalan teknis berkaitan dengan kapasitas sarana produksi dana elemen fisik pendukungnya. Penyuluhan menyangkut kapasitas manusia. Perbedaan pendekatannya seperti langit dan bumi.

Ruang dialektika harus dibuka selebar-lebarnya dalam rangka akselerasi penyatuan dua simpul ini agar langkah menjadi seiring sejalan memikul beban tanggung jawab. Tidak harus dalam forum formal, bahkan diskusi-diskusi sembari ngopi bareng pun jadi.

Jika tidak, maka cerita lama akan terulang. Lagu lama akan kembali didendangkan. Lagunya Utha Likumahua, terutama pada lirik, “Kau disana, aku disini…” dan pada lirik lainnya “Kau ada yang memiliki, Aku ada yang memiliki…”. Mungkinkah terjadi, sambung Trie Utami.***

 

Oleh : Andi Syahrir

Penulis Merupakan Alumni UHO & Pemerhati Sosial

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini