Mereka yang Beda Tangani Corona

154
Andi Syahrir
Andi Syahrir

Siang itu sebuah edaran Walikota Kendari beredar di media sosial. Memerintahkan agar warga tidak keluar rumah. Selama tiga hari. Bagi yang bandel akan diamankan. Sontak, edaran itu menuai reaksi.

Mulai-mula dari petinggi kepolisian. Yang “meluruskan” bahwa tidak ada tindakan pengamanan bagi warga yang tetap beraktifitas. Polisi hanya membantu mengimbau. Ada juga pernyataan dari pejabat pemerintah pusat yang meminta agar edaran walikota itu tidak usah diindahkan.

Reaksi berikutnya adalah kepanikan masyarakat. Pasar diserbu. Swalayan disesaki. Berbondong-bondong belanja untuk persiapan makan tiga hari. Klarifikasi dari pemerintah kota bahwa pertokoan yang menjual bahan makanan tetap buka, tak lagi kedengaran oleh kesibukan berbelanja.

Walikota dikritik. Tunggulah ledakan positif setelah kerumuman orang di pasar itu. Demikian bunyi kritikannya. Selama dua hari, warga tertib. Hari ketiga, jalanan kembali ramai meski belum padat seperti biasa.

Kebijakan ini merupakan gerak cepat walikota melihat kerawanan daerah yang dipimpinnya. Ibukota provinsi. Dia tidak punya banyak pilihan ketika itu. Seluruh peluang sekecil apapun akan ditempuhnya untuk menyelematkan warganya dari wabah.

Izinkan kami berbuat dalam ketidaksempurnaan ini daripada tidak berbuat karena menanti kesempurnaan. Begitu kata Sulkarnain, sang walikota.

Kebijakan demi kebijakan terus diambilnya. Dari waktu ke waktu. Pemeriksaan di perbatasan kota. Pemberian sembako bagi masyarakat. Penyediaan penginapan khusus dan asuransi bagi tenaga kesehatan. Rutin melakukan updating informasi perkembangan Covid-19. Perluasan kapasitas rumah sakit untuk pasien positif.

Paling anyar, yang juga menuai kecaman, diisolasinya puluhan santri dari Gontor. Para orangtua santri ini keberatan atas perlakuan “tebang pilih” yang dilakukan pemkot atas penumpang pesawat yang mengangkut mereka. Kok anak kami ditahan, penumpang lain tidak.

Walikota tak bergeming. Penginapan di rusun yang juga dikritik karena dinilai tidak layak huni bagi anak-anak itu, dialihkan ke hotel. Hasil pemeriksaan, ada dua anak yang positif. Satu warga Kendari. Satunya lagi dari Muna Barat. Bayangkan, jika walikota melunak dan membiarkan mereka tanpa pemeriksaan dan percaya begitu saja dengan keterangan sehat yang mereka bawa sebelum terbang.

Menjadi hal yang logis ketika survei yang dilakukan Media Survei Nasional (Median) menempatkan Walikota Kendari Sulkarnain sebagai urutan ke-11 terpaling dalam menangani wabah virus Corona.

Ia juga didaulat sebagai salah seorang pembicara pada Peluncuran Program Aksi Bersama Bantu Sesama yang digagas Indonesia Creative Cities Network (ICCN). Ini merupakan organisasi simpul forum lintas komunitas kreatif dengan jejaring di lebih dari 210 kabupaten/kota se-Indonesia.

Publik mengapresiasi tindakannya. Fakta bahwa Kendari menjadi daerah dengan angka positif kedua tertinggi di Sulawesi Tenggara setelah Kabupaten Bombana saat ini pun menjadi penanda bahwa pemerintah giat melakukan tes dan menjejaki orang-orang potensial tertular.

Apresiasi publik juga tak kalah besarnya bagi Bupati Konawe Utara Ruksamin yang mengeluarkan 16 kebijakan dalam mengendalikan Covid-19. Banyak kebijakan yang serupa dengan kepala daerah lainnya. Namun, Ruksamin punya pembeda.

Dia satu-satunya kepala daerah di Sulawesi Tenggara yang melakukan intervensi kebijakan dengan membawa potensi dan kearifan lokal daerahnya. Dia melawan dengan obat herbal yang dikembangkan putra daerahnya sendiri.

Berbahan baku bakau. Diekstrak dari sel tumbunan khas pesisir itu. Ruksamin menamakannya Biosel Konasara. Nama yang identik dengan tagline politik pemerintahannya.

Produk ini cukup detail. Terbagi tiga jenis. Bio Imun, Bio Sanitizer, dan Bio Enviro. Bio Imun adalah produk vitamin yang dikonsumsi. Bio Sanitizer sebagai sanitizer alternatif. Bio Enviro merupakan produk disinfektan.

Di sektor ekonomi, Ruksamin juga begitu konkrit membantu warganya. Dia tidak sekadar membagi sembako, masker, dan APD lainnya. Ia membeli jagung hasil panen petaninya.

Sejauh ini, Konawe Utara menjadi satu-satunya wilayah yang tanpa kasus sama sekali. Baik itu yang berstatus OTG, ODP, PDP, hingga positif. Pernah beberapa di antaranya ada yang berstatus OTG, ODP, dan PDP, tapi semuanya clear. Tidak ada yang sampai menjadi positif.

Tentu saja, kondisi ini mengharumkan nama Ruksamin dalam kontestasi politik yang prosesnya sedang berlangsung. Praktis, dia tidak punya lawan tangguh.

Berbeda situasinya dengan di kawasan Muna Raya. Muna dan Muna Barat. Yang dua bupatinya terlibat kompetisi. Memperebutkan kursi kosong satu Muna. Yang aroma persaingannya begitu kental terasa. Paling ramai. Paling panas.

Jual beli “pukulan” telah berlangsung lama. Dimulai sejak baliho. Terasa hingga kebijakan menyangkut Corona. Terkini perihal uji swab. Muna menuduh Muna Barat kurang mendukung upaya penanganan Covid-19. Sebab, mereka enggan membawa warganya untuk dilakukan pengujian.

Ini bisa mempengaruhi kinerja Gugus Tugas Covid-19 Muna karena RSUD Muna merupakan rujukan bagi Muna Barat dan Buton Tengah. Begitu tudingan dari Muna. Muna Barat membalas. Mereka akan lakukan swab sendiri. Melibatkan tim Gugus Tugas Covid-19 Provinsi Sultra. Tak tergantung lagi pada Muna. Provinsi sudah OK-kan.

Apa artinya? Kontestasi dua kepala daerah di kabupaten serumpun ini berdampak positif bagi warganya. Mereka bersaing untuk berbuat yang terbaik bagi rakyatnya. Muna Barat mendekatkan layanan pengujian di kampung halaman warganya sendiri. Setelah disentil Muna. Ini juga pembeda.***

 


Oleh : Andi Syahrir
Penulis Merupakan Alumni UHO & Pemerhati Sosial

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini