Mewujudkan Sekolah Ramah Anak

261
Irwan Samad
Irwan Samad

Membahas tentang tema anak, mungkin tidak semenarik dengan isu jelang Pilpres 2019. Atau boleh jadi tidak sedahsyat pemberitaan tentang peristiwa gempa, tsunami dan likuifaksi di Palu dan Donggala. Pun, tidak segeger dengan pemberitaan jatuhnya pesawat Lion Air JT 160 di Tanjung Karawang. Meski demikian, persoalan anak akan selalu tetap aktual. Bagaimanapun juga anak adalah investasi generasi jangka panjang untuk keberlangsungan masa depan bangsa. Dewasa ini berbagai peristiwa yang mendera anak sebagai obyek kekerasan kerap menghiasi media. Sebut misalnya, maraknya issu tentang penculikan anak di berbagai kota di tanah air. Kasus meninggalnya Jessica Manonohas bocah 10 tahun di Kabupaten Sangihe, akibat luka bakar serius yang dilakukan oleh ibu kandungnya sendiri, seolah menyita perhatian kita semua. Betapa persoalan yang melibatkan anak sebagai obyek kekerasan seakan-akan tidak ada habis-habisnya. Peristiwa tersebut sesungguhnya telah menempatkan pada titik terendah dalam penanganan dan pola pengasuhan anak di Indonesia. Belum lagi kasus-kasus yang lain seperti Anak Berhadapan Hukum (ABH) yang berakhir tindak pidana, Stunting (gizi buruk), anak yang terpapar pornorafi dan narkoba, perdagangan anak, pelecehan seksual dan lain sebagainya. Meskipun pemerintah dan parlemen telah menerbitkan regulasi dalam produk Undang-undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dan Keppres Nomor 77 Tahun 2003 tentang Pembentukan Komite Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), namun tidak berarti angka kekerasan terhadap anak cenderung berkurang.

Sesungguhnya ada banyak faktor pemicu timbulnya kekerasan pada anak. Namun, setidaknya faktor rendahnya pemahaman dan mainset masyarakat (termasuk di dalamnya orang tua sendiri) terhadap hak anak tampaknya masih menjadi faktor dominan. Ketua KPAI, Susanto, menjelaskan biang kekerasan pada anak di Indonesia adalah lemahnya pemahaman masyarakat dan orang tua terhadap makna perlindungan anak. Laku kekerasan yang dilakukan oleh orang tua atau orang terdekat anak dianggap hal yang lazim, padahal itu termasuk pembiaran (Beritagar.id). lebih lanjut Komisioner KPAI Jasra Putra mengungkapkan, data menunjukkan bahwa pihaknya menemukan 218 kasus kekerasan seksual anak pada 2015. Sementara pada 2016, KPAI mencatat terdapat 120 kasus kekerasan seksual terhadap anak-anak. Kemudian di 2017, tercatat sebanyak 116 kasus (http://www.kpai.go.id). Dan yang lebih mengherankan lagi adalah pelaku kekerasan pada anak justru dilakukan oleh orang terdekat dari anak, seperti ayah kandung, ayah tiri, teman dan tetangga.

BACA JUGA :  Pengelolaan Sumberdaya Hutan di Era UU Omnibus Law

Demikian pua fenomena anak jalanan yang keberadaannya bagaikan jamur di musim penghujan. Keberadaan mereka hampir dapat terlihat di setiap sudut-sudut kota. Diperkiraan jumlah anak jalanan yang tersebar di 12 kota besar di Indonesia adalah 239.861 dan secara nasional diperkirakan lebih kurang 650.000 jiwa. (kompasiana.com)

Tentu fakta-fakta tersebut mencengankan kita semua. Betapa tidak, anak yang seharusnya mendapatkan perhatian, perlindungan dan kasih sayang, justru berada dalam posisi yang sangat tidak menguntungkan. Padahal di tangan merekalah nanti masa depan bangsa akan diletakkan.

Berpijak dari kondisi tersebut, tentu diperlukan upaya sistemik dari para pihak dan pemangku kepentingan agar anak harus dilindungi dan tetap berada pada dunianya sendiri. Hak-hak anak tidak boleh terabaikan. Karenanya, salah satu instrumen yang dapat membantu mengatasi benang kusut penanganan persoalan anak adalah melalui lembaga pendidikan. Sekolah sebagai lembaga pendidikan wajib mengadvokasi anak dan memastikan hak hak anak terpenuhi dengan sebaik-baiknya. Hak-hak anak tersebut antara lain, hak untuk mendapatkan akses layanan pendidikan dan kesehatan, hak untuk dilindungi dari setiap ancaman, hak untuk bermain, hak untuk bersosialisasi dan aktualisasi diri. Meskipun disadari bahwa tidak berarti sekolah sebagai tempat menyemai nilai-nilai keutamaan juga bebas dari perilaku kekerasan. Dalam konteks ini, perundungan (bullying) dalam berbagai bentuknya (fisik, verbal, psikologis maupun cyber) adalah kasus yang kerap terjadi dalam lembaga pendidikan. baik yang dilakukan oleh guru, tenaga kependidikan maupun antar sesama teman mereka sendiri.

Langkah strategis yang dapat dilakukan adalah dengan mewujudkan Sekolah Ramah Anak (SRA). Kebijakan ini sesuai dengan amanat Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 8 Tahun 2014. Secara konseptual, sekolah dengan model tersebut, kedudukan dan penghormatan terhadap anak, akan ditempatkan sesuai dengan kodratinya. Yang memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan dan pengayoyaman dari seluruh pihak. Karenanya, sekolah harus mengimplementasikan dalam berbagai komponen. Komponen dimaksud antara lain aspek kebijakan berpihak kepada penerapan ramah anak. Sekolah Ramah Anak harus memastikan bahwa penyelengaraan proses pendidikannya tidak diskriminatif. Lingkungan sekolah harus dijauhkan dari segala macam ancaman antara lain narkoba dan pornografi, perundungan dan lain sebagainya. Aspek ini meniscayakan sekolah untuk membuat kebijakan anti kekerasan baik fisik maupun psikologis. Kebijakan anti kekerasan ini harus tertuang dalam bentuk dokumen Kurikulum yang nantinya diharapkan akan menjadi budaya sekolah. Sekolah Ramah Anak (SRA) juga harus menuangkan dalam bentuk kebijakan tentang kode etik penyelenggaraan pendidikan maupun kebijakan keuangan yang tertuang dalam Rencana Kegiatan dan Anggaran Sekolah (RKAS) yang memuat prosentase anggaraan berbasis anak. Selain itu, sarana dan prasarana yang berpihak pada keselamatan manusia baik fisik maupun psikologis, misalnya penanganan bila terjadi bencana alam seperti jalur evakuasi, titik kumpul, rute penyebrangan yang aman dan lain sebagainya. Termasuk di dalamnya wajibnya sekolah memiliki kantin sehat, yang menyediakan jajanan bebas dari bahan bahan berbahaya bagi kesehatan seluruh warga sekolah. Sekolah harus dapat memberikan ruang bagi anak untuk mengaktualisasikan dirinya, sehingga diharapkan seluruh anak dapat ikut berpartisipasi dalam setiap kegiatan dengan penuh kegembiraan dan keceriaan. Hal yang tidak kalah pentingnya adalah pelibatan orang tua dan masyarakat serta dunia usaha dalam penyelenggaraan pendidikan. Sekolah harus membangun sinergi dengan orang tua sebagai pihak yang paling berkepentingan terhadap pendidikan anak. Dalam konteks ini, sinergitas dan kesepahaman antara pihak sekolah dan orang tua tentang pentingnya pendidikan ramah anak. Tanpa dukungan orang tua dan masyarakat tentu program ini tidak akan berjalan dengan baik. Secara berkala orang tua dapat diberikan edukasi tentang pola pengasuhan positif terhadap anak di rumah, sehingga budaya kekerasan terhadap anak dapat dihindari. Semoga dengan mewujudkan Sekolah Ramah Anak dapat menjadi bagian terpenting dalam membangun generasi Indonesia yang sehat, cerdas, dan berkualitas.

BACA JUGA :  Pengelolaan Sumberdaya Hutan di Era UU Omnibus Law

Oleh : Irwan Samad
Penulis adalah Citizen Journalism sekaligus Penggiat Pendidikan

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini