Musda Golkar: Menimbang Ridwan Bae Sang Petahana

477
Andi Syahrir
Andi Syahrir

Partai Golkar Sulawesi Tenggara (Sultra) akan menggelar musyawarah daerah (musda). Untuk yang kesepuluh kalinya. Tanggal 5 Maret mendatang.

Ridwan Bae, ketua yang menjabat sejak 2010 plus memimpin pada rentang antara 2003-2008, masih berkeinginan mengomandani Beringin Sultra. Bahkan jika dihitung kapasitasnya sebagai pimpinan Golkar, Ridwan sudah menancapkan taringnya di partai itu sejak 1998. Pada periode 1998-2003, dia adalah Wakil Ketua Golkar Sultra.

Artinya, sudah 22 tahun Ridwan mengendalikan Partai Golkar. Lama juga ya?

Pada musda kali ini, Ridwan masih mau “satu kali lagi”. Ia akan minta “petunjuk” dari sang ketua umum, Airlangga Hartarto. Apa ambisi Ridwan sehingga rentang waktu 22 tahun itu masih belum cukup?

Ridwan penasaran dengan kursi gubernur. Dia sudah pernah maju dan kalah. Lalu pada pilgub teranyar, Pilkada 2018, konon dia tidak mendapat restu dari Setya Novanto. Dia berharap, Airlangga merestuinya kali ini.

Nah, tiket utama calon gubernur adalah memimpin partai. Kalau tidak, ada banyak yang harus dijaga, terutama menjaga perasaan ketua yang baru.

Jika benar, kursi gubernur adalah target Ridwan untuk kembali memimpin Golkar Sultra, dia harus berhitung ulang. Elektabilitasnya tidak bagus-bagus amat. Untuk menjadi calon gubernur, elektabiliitas harus amat bagus.

Kita lihat saja hasil pemilu lalu. Ridwan kalah suara dengan politisi pendatang baru Fachry Konggoasa, putra Kerry Konggoasa, Bupati Konawe. Juga masih kalah dengan perolehan dari Rusda Mahmud, mantan Bupati Kolaka Utara. Dia hanya di peringkat ketiga dari enam kursi jatah Sultra di senayan.

BACA JUGA :  Pengelolaan Sumberdaya Hutan di Era UU Omnibus Law

Di perhelatan pilgub nanti, Rusda tentu saja masih penasaran dengan kekalahannya pada Pilgub 2018. Sedangkan Fachry, yang sebentar lagi melepas status jomblonya, bisa saja terinspirasi untuk maju di pilgub. Dia punya mesin double gardan nantinya. Masyarakat rumpun Tolaki dan Bugis-Makassar, keluarga dari hasil pernikahannya.

Belum lagi figur-figur lainnya seperti Wagub Sultra Lukman Abunawas, angggota DPR RI Hugua, Wakil Ketua DPRD Sultra Muhammad Endang. Nama mereka ini cukup populer di publik Sultra. Dan seperti Ridwan, masing-masing punya basis konstituen yang kuat.

Tapi ini murni kalkulasi temporer. Hitungan ginian dinamis. Karenanya, setiap politisi punya hitungan sendiri. Tentu dengan optimisme sendiri. Kalau politisi gampang keder, kontestasi politik tidak seru. Ridwan dikenal sebagai politisi petarung.

Ada hal yang lebih mendasar dari itu. Kaderisasi partai. Saat ini, Golkar Sultra tidak punya figur yang dikenal sejak dari Kolaka Utara hingga Wakatobi. Ridwan satu-satunya tokoh Golkar yang memiliki modal itu. Meski itu lagi –elektabilitasnya tidak bagus-bagus amat.

Kita lihat lagi hasil Pemilu 2018. Suara Ridwan untuk merebut satu kursi di parlemen sebanyak 97.602. Di Kabupaten Muna, yang merupakan basisnya, berkontribusi sekitar 28,8 persen. Hampir 30 persen. Sebanyak 70 persen lebih sisanya dibagi ke 16 kabupaten/kota lainnya. Jomplang.

Kendatipun, prestasi Ridwan memimpin Golkar terbilang bagus. Mereka pemenang pemilu di Sultra. Golkar meraih 203.794 suara. Meraih tujuh kursi di DPRD provinsi. Menjadi ketua parlemen di empat daerah (Wakatobi, Buton, Konsel, dan Baubau).

BACA JUGA :  Pengelolaan Sumberdaya Hutan di Era UU Omnibus Law

Merebut wakil ketua di enam daerah (Buton Utara, Muna, Muna Barat, Kolaka, Kendari, dan Konawe). Dan minoritas di tujuh kabupaten (Konawe Utara, Konawe Kepulauan, Bombana, Kolaka Utara, Kolaka Timur, Butong Tengah, dan Buton Selatan. Singkatnya, Golkar punya kursi di 17 kab/kota.

Baik yang menjadi ketua Golkar maupun yang jadi Ketua DPRD, belum ada yang layak jual di kancah politik Sultra. Baru sekadar jawara di kampung sendiri. Harus segera dipoles. Agar ada regenerasi. Agar ada visi baru. Bukan semata kepentingan Golkar. Tapi demi Sultra.

Nama kader muda seperti Irham Kalenggo, politisi bernyawa sembilan Surunuddin Dangga, politisi pengusaha Herry Asiku, dan kader kreatif dengan jejaring luas seperti Abdul Rahman Farisi, sebaiknya diberi panggung yang fair.

Nama mereka masih sayup-sayup di jazirah Bumi Anoa. Jika tak segera diberi ruang, Golkar akan kehilangan masa emas regenerasi. Sebab Golkar bukan hanya Ridwan. Ridwan punya titik jenuh. Setiap orang punya masa uji berlaku.

Golkar sekarang di titik persimpangan itu. Keliru mengambil jalan, beringin tidak punya tunas. Pohon yang tak bertunas hanya menunggu matinya.***

 

Oleh : Andi Syahrir
Penulis Merupakan Alumni UHO & Pemerhati Sosial

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini