Opini Teror Berjelaga, Menyasar Kemana?

214
Hasni Tagili, M. Pd.
Hasni Tagili, M. Pd.

Tak tanggung-tanggung, selama pertengahan Mei 2018, serangkaian aksi terorisme kembali naik daun. Mulai dari kerusuhan di Mako Brimob, aksi bom bunuh diri di tiga gereja Surabaya, ledakan di salah satu Rusunawa Sidoarjo, ledakan di Polrestabes Surabaya, sampai aksi penyerangan di Mapolda Riau.

Tentunya ini bukan kali pertamadi Indonesia.Serangan Jakarta 2016 yang merupakan serentetan peristiwa berupa sedikitnya enam ledakan dan juga penembakan di daerah sekitar Plaza Sarinah, Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, terjadi pada tanggal 14 Januari 2016.

Memang sudah kerap kali Indonesia mengalami serangkaian aksi terorisme yang menewaskan lebih dari seratusan orang. Masih lekat dalam ingatan beberapa peristiwa peledakkan bom; bom di Gereja Santa Anna dan HKBP, kawasan Plaza Atrium Senen, halaman sekolah AIS (Australian International School), KFC Makasar (2001), Bom Bali (2002),atau Bom Jakartadi Hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton(2009).

Respon dari para tokoh pun beragam.Dilansir dari Liputan6.com, 14/05/2018,Ketua DPP Bidang Hubungan Antar Daerah dan Otonomi Daerah Partai NasDem, Syahrul Yasin Limpo, mengaku sedih sekaligus marah atas serangkaian aksi bom di Surabaya.Dia menuturkan, negara sudah tidak bisa lagi menggunakan pendekatan lunak pada teroris.Dia menuturkan, apa yang dilakukan oleh teroris di Surabaya, jelas bukan orang yang waras.

Dia menegaskan, terorisme bukan ajaran agama apapun.Tidak ada alasan pembenaran untuk aksi tersebut.Jika para teroris, masih kata dia, mengaku beragama Islam, jelas apa yang dilakukannya, tidak sesuai dengan ajaran Nabi Muhammad SAW itu. Bagi setiap muslim, ajaran Nabi Muhammad SAW amat penting dan harus diikuti.

Senada dengan hal tersebut, Mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), AM Hendropriyono menyebut, terorisme merupakan musuh bersama.Dia dapat menyasar siapa saja, tak terkecuali anak-anak yang tidak berdosa.

Adapunhasil investigasi kepolisian, Kapolri Jenderal Tito Karnavian mengatakan, aksi teror bom bunuh diri itu tidak lepas dari peran organisasi Jamaah Ansharut Daulah (JAD) yang terkoneksi dengan kelompok ISIS (Kompas.com, 22/05/2018).Dalam paradigma kelompok tersebut, bom bunuh diri adalah jihad.

War on Terror

Menyikapi akar terorisme, Profesor Robert Pape dari Universitas Chicago yang bekerja pada bagian Proyek Keamanan dan Terorisme telah menerbitkan tulisan hasil penelitiannya yang menganalisa setiap kasus dari 2200 bom bunuh diri yang terjadi sejak tahun 1980-2010 (www.hizb.org.uk, 31/10/2010). Penelitiannya tersebut menemukan bahwabom bunuh diri meningkat secara drastis menyusul dilakukannya invasi atas Irak dan Afghanistan, dari yang awalnya berjumlah 300 kasus pada tahun 1980 hingga tahun 2003, menjadi 1800 kasus pada tahun 2004 hingga 2009.Lebih dari 90 % serangan bunuh diri di seluruh dunia berkaitan dengan anti-Amerika.

Serangan bunuh diri lebih mungkin terjadi ketika ‘jarak sosial’ antara pihak yang diduduki dan menduduki menjadi lebih lebar. Selain itu, agama bukanlah faktor satu-satunya yang menentukan hal ini terjadi karena serangan bunuh diri juga merunjuk pada kelompok sekuler yang juga melakukan seranganbom bunuh diri seperti LTTE (Macan Tamil-yang bergama Hindu) melawan orang yang beragama Budha.Serangan bunuh diri merupakan upaya terakhir yang dilakukan manakalah semua usaha non-bunuh diri telah gagal.

BACA JUGA :  Pengelolaan Sumberdaya Hutan di Era UU Omnibus Law

Secara empiris, Profesor Pape merendahkan pandangannya. Penelitiannya menunjukkan bahwa ada korelasi antara pendudukan dan kekerasan pada wilayah-wilayah yang diduduki pada saat penduduk lokal berusaha mengusir  kontrol luar negeri: 95% dari bom bunuh diri yang dianalisa merupakan respon dari pendudukan yang dilakukan pihak asing. Sehingga, ia menyimpulkan bahwa akar terorisme adalah invasi, pendudukan, dan dominasi luar negeri.

Di lain pihak, pengamat masalah terorisme dari Universitas Indonesia, Stanislaus Riyanta, mengatakan, dilihat dari model dan karakteristik serangan bom di tiga gereja di Surabaya, ada indikasi kuat pelakunya adalah kelompok militan yang menamakan diri Negara Islam atau dulu disebut ISIS (Bcc.com, 13/05/2018).

“Sasaran aksi teror di Indonesia hanya dua, tempat ibadah dan Polisi.Ini gayanya ISIS dan harus diwaspadai,” kata Stanislaus Riyanta kepada BBC Indonesia.Menurutnya, kasus kerusuhan di rumah tahanan teroris di Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok, menjadi alarm bagi kebangkitan sel tidur teroris di Indonesia.

Sementara itu, aksi teror yang telah terjadi erat dikaitkan dengan wacana RUU Anti-Terorisme, bahkan Perppu. Dilansir dari Tribunnews.com (13/05/2018), Romo Agus Ulahayanan dari Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) menyampaikan, saat ini seluruh rakyat Indonesia tengah menanti pengesahan RUU Anti-Terorisme.Menurutnya, para anggota DPR memiliki tugas untuk memudahkan aparat kepolisian dalam menangani terorisme di negara ini, melalui pengesahan RUU tersebut.

Hal yang sama juga diungkapkan oleh Kapolri Jenderal Tito Karnavian. Ia meminta pemerintah segera menuntaskan revisi Undang-undang Terorisme atau membentuk peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) antiterorisme (Cnnindonesia, 13/05/2018).

Sayangnya, aksi teror bom ini kembali dikaitkan dengan Islam.Kembali memojokkan agama dengan jumlah penganut paling besar di Indonesia ini.Isu terorisme, dari dulu,memang selalu digunakan sebagai alat untuk menyudutkan perjuangan penerapan syariah Islam. Gelagatnya, isu teror kali ini mengarah kepada upaya untuk menggolkan UU Terorisme yang akan melegitimasi tindakan represif oknum-oknum tertentu dalam tataran penguasa.

Terorisme Bukan Ajaran Islam

‘Terorisme’ dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, diartikan sebagai penggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai suatu tujuan, terutama tujuan politik. Pelakunya disebut teroris, yaitu orang yang menggunakan kekerasan untuk menimbulkan rasa takut, biasanya untuk tujuan politik (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, Balai Pustaka, Jakarta, cet. IV, 1995, 1048).

Definisi ini mengarakmasalah terorisme menuju dua poin penting.Pertama, terorisme yang dikaitkan dengan tindakan kekerasan yang melanggar hak orang lain, yang menyebabkan hilangnya harta, nyawa dan kehormatan.Dalam Islam, setiap pelanggaran ada sanksinya, sesuai dengan bentuk dan kadarnya. Jika tindakan teror yang dilakukannya menyebabkan hilangnya nyawa orang banyak, maka menurut mazhab Hanafi, orang tersebut harus dibunuh, tidak perlu membayar diyat.Namun, menurut Imam as-Syafii, itu belum cukup.Selain harus dibunuh, dia diwajibkan membayar diyat kepada seluruh keluarga korban (Lihat, as-Sarakhsi, al-Mabsuth, III/99).

BACA JUGA :  Pengelolaan Sumberdaya Hutan di Era UU Omnibus Law

Namun, jika tindakan teror yang dilakukan tidak sampai menyebabkan hilangnya nyawa, tetapi hanya menimbulkan hilangnya anggota badan, maka Islam menetapkan diyat untuk masing-masing (Lihat, al-Maliki, Nidzam al-‘Uqubat).Demikian juga terkait dengan harta yang dirusak, dan kehormatan wanita yang direnggut, semuanya ada balasannya.

Kedua, terorisme yang berkaitan dengan kekacauan, instabilitas politik dan keamanan.Dampak yang diinginkan oleh aksi teror, sebenarnya bukan hanya menghilangkan nyawa, harta dan kehormatan, tetapi untuk mengganggu keamanan dan menciptakan kengerian di tengah-tengah masyarakat.Aksi teror ini termasuk dalam kategori kegiatan yang bisa mengancam keamanan, meski bukan satu-satunya.

Terhadap aktivitas ancaman keamanan tersebut, Islam telah menetapkan hukum yang jelas dan tegas.Misalnya, orang murtad, termasuk mereka yang mengemban dan menyebarkan paham sesat, jika sebelumnya Muslim, maka dia diminta bertaubat, dan diberi waktu tiga hari.Jika dalam waktu tersebut tidak bertaubat, maka harus dibunuh.Terhadap bughat (memberontak) disertai dengan serangan terhadap kepemilikan individu, umum dan negara tapi tidak mengangkat senjata, maka harus dihentikan oleh polisi/tentara.Tetapi, jika mereka mengangkat senjata, maka harus diperangi.Namun, sebelumnya, mereka harus diminta untuk kembali, meletakkan senjata, dan taat pada negara.Jika tidak bersedia, baru diperangi.

Terhadap perompakan, pembajakan, merampok harta dan menghilangkan nyawa pemiliknya, mereka harus diberantas oleh kepolisian untuk dihabisi, karena perang melawan mereka bukan perang untuk memberi pelajaran, tetapi untuk membasmi.Demikian juga serangan terhadap harta orang awam, serangan terhadap jiwa mereka, serta serangan terhadap kehormatan mereka, maka negara bisa mengawasi, mengontrol, dan menghukum mereka dengan menerapkan hukum-hukum peradilan yang terkait.

Semuanya ini dilakukan berdasarkan bukti, dan tidak boleh ada sanksi apapun yang dijatuhkan kepada mereka hanya karena “diduga”.Sebab, prinsip pengadilan dalam Islam adalah, al-ashl bara’tu ad-dzimmah (asas praduga tidak bersalah).Islam membolehkan dilakukannya penangkapan, jika ada indikasi kuat yang mengarah kepada pelaku, agar bisa ditanya.Meski begitu, dengan tegas Islam mengharamkan penyiksaan, teror, dan sejenisnya terhadap orang yang diduga atau dituduh sebagai pelaku.Islam mengharamkan aktivitas spionase terhadap mereka, termasuk menyadap telepon, email, dan sebagainya, kecuali terdapat bukti kuat bahwa aktivitas mereka membahayakan Islam dan kaum Muslim.

Sebagai agama dan ideologi yang lengkap dan sempurna, Islam telah memberikan solusi yang jelas dan tegas terhadap kedua poin di atas.Tindakan teror, baik secara verbal maupun fisik, sama-sama diharamkan oleh Islam.Nabi menyatakan, “Siapa saja yang meneror orang Islam demi mendapatkan ridha penguasa, maka dia akan diseret pada Hari Kiamat bersamanya.” (Lihat, as-Suyuthi, Jami’ al-Masanid wa al-Marasil, VII/44).Wallahu ‘alam bisshawab.

 

Oleh: Hasni Tagili, M. Pd.
Penulis Merupakan Praktisi Pendidikan Konawe

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini