Pakandeana Anaana Maelu, Tradisi Masyarakat Buton Membina Anak Yatim

854
Pakandeana Anaana Maelu, Tradisi Masyarakat Buton Membina Anak Yatim
RITUAL - Dua orang anak yatim, laki-laki dan perempuan, saat dibasuh air dari bunga jampaka dan kamba manuru. Mereka sedang mengikuti prosesi ritual pakandeana anaana maelu, Minggu (15/9/2019). (M6/ZONASULTRA.COM)

ZONASULTRA.COM, BAUBAU – Berbagi rezeki dengan anak yatim piatu. Tradisi ini sudah berlangsung lama di tanah Buton. Orang menyebutnya pakandeana anaana maelu.

Bukan hanya sekadar menyantuni dengan memberi bingkisan, dalam pakandeana anaana maelu dianjurkan memberi pendidikan layak kepada anak yatim piatu. Intinya, memberi rasa sama jika mereka memiliki saudara juga orang tua.

Di masa Kesultanan Buton pada tahun 1824, tradisi ini ditetapkan sebagai kewajiban bagi seluruh warga mampu di Buton.

Menurut Dr. Kamaluddin, salah satu penggiat budaya di Kota Baubau, Sulawesi Tenggara (Sultra), tradisi ini bermula saat Sultan Ibnu Badaruddin Al Butuni menegur para punggawanya perihal ibadah.

“Kala itu sultan bertanya kepada punggawanya, apakah kalian sudah salat? Punggawanya menjawab ia kami sudah sembahyang tuan. Dia bertanya lagi, apakah kalian sudah menyantuni anak yatim yang tinggal di kampung sana? Dengan malu-malu mereka menjabab, belum tuan,” ungkap Kamaluddin ditemui dalam acara pakandeana anaana maelu, Minggu (15/9/2019).

Dalam percakapan itu Sultan Badaruddin kemudian menerangkan cara memperilakukan anak yatim dalam Islam. Tidak lupa sang sultan membacakan surah Almaun ayat 1 sampai 7 tentang anak yatim.

(Baca Juga : Silat dan Permainan Tradisional Ramaikan Festival Budaya Tua Buton)

Lalu, oleh sara (perangkat adat) Kesultanan Buton, tradisi ini dijadikan rutinitas tahunan. Dilaksanakan setiap 10 Muharam hitungan kalender Islam.

“Sejak saat itu, setiap keluarga di masyarakat Buton yang berkecukupan diwajibkan melaksanakan tradisi pakandeana anaana maelu,” lanjut Kamaluddin.

BACA JUGA :  Hakim Perempuan di PN Andoolo Ungkap Keresahan, dari Minim Fasilitas hingga Rentan Intervensi

Kamaluddin mendokumetasikan peristiwa ini dalam bukunya Haroa dan Orang Buton (2018). Buku ini mengupas tentang asal mula, serta filosofi ritual haroa di tanah Buton.

Ritual, Filosofi dan Terjemahan dalam Implementasi Kini

Pagi itu, anak laki-laki duduk di atas karpet lesehan menghadap perempuan tua. Dia lalu dibasuh dengan air dari bunga “jampaka” sebanyak tiga kali. Di sampingnya ada seorang anak perempuan yang lakonnya sama. Bedanya, oleh wanita tua itu ia dibasuh dengan air dari bungga “kamba manuru”.

Menurut keyakinan, bunga jampaka melambangkan keperkasaan pria. Sedang bunga kamba manuru lambang dari kelembutan wanita.

Pakandeana Anaana Maelu, Tradisi Masyarakat Buton Membina Anak Yatim

Anak-anak itu dibasuh dari leher, muka hingga kepala. Mereka juga diberikan pakaian bagus. Setelahnya mereka disuapi dengan hidangan yang telah disiapkan menggunakan wadah talang. Beginilah dulu ritual awal dalam prosesi pakandeana anaana maelu masyarakat Buton.

Ada makna filosofis dalam ritual itu. Pengusapan air tiga kali, sambil ucap salawat misalnya. Niatnya agar anak yatim itu mendapat pahala sebanyak helaian rambut. Saat itu ada 20 anak yang ikut ritual, hanya saja secara simbolik ritual dilakukan pada dua anak saja.

Zaman berubah. Perspektif ikut terpengaruh. Begitu juga orientasi tiap manusia dalam memandang sebuah ritual.

(Baca Juga : Kande Tompa di Buton, Tradisi Agar Lajang Mendapat Jodoh)

Tiap makna dalam ritual harus bisa dirasionalkan agar bisa diimplementasikan kini. Lebih dari itu, kebutuhan tiap insan juga bertambah. Inilah kenapa penyesuaian harus dilakukan.

BACA JUGA :  Disabilitas Netra dan Pemilu: Antara Keinginan dan Keraguan Memilih

Kamaluddin bersepakat soal itu. Menurutnya, dahulu anak yatim hanya diajarkan ilmu agama, tugas zaman ini lebih berat. Anak yatim mesti dijamin pendidikannya formilnya.

Selain itu, agar generasi tidak menganggap tradisi sebagai ritual belaka, mesti ada penjelasan rasionalnya. Itulah alasan Kamaluddin menulis buku Haroa dan Manusia Buton. Di dalamnya, sejarah dan filosofis tiap ritual ia coba rasionalkan.

“Orang tuanya kan sudah tidak ada. Mereka jarang mendengar ajaran, atau bahkan tidak sama sekali. Itulah kenapa, anak yatim ini jangan cuma kita beri makan, kita juga berkewajiban memenuhi hak pendidikannya,” ujar Kamaluddin.

(Baca Juga : 10 Muharram dan Tradisi Pekandeana Ana-ana Maelu di Baubau)

Soal pendidikan anak yatim ini, Wali Kota Baubau AS Tamrin berjanji akan mencoba mengusulkan untuk dibahas di DPRD. Kata dia, mesti ada data valid jumlah anak yatim agar bisa tepat alokasinya nanti.

“Pemkot sudah beberapa kali mengumpulkan anak yatim, tapi yang ada di panti asuhan. Mereka diberi berbgai bingkisan. Tapi anak-anak yatim piatu yang ada di rumah itu belum pernah. Dengan inisiatif pendataan ini, saya sangat mengapresiasi. Biaya sekolah tidak mampu bagi anak yatim akan coba kita bahas dengan DPRD,” janji Wali Kota Baubau dua periode itu saat memberi sambutan dalam kegiatan sama. (*/SF)

 


Penulis: M6
Editor: Jumriati

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini