Paranoid Radikalisme

136
Dodi Santoso Opini
Dodi Santoso., S.Sos., M.I.Pol

Menarik untuk melihat susunan kabinet Presiden Jokowi periode kedua, kabinet Indonesia Maju, banyak kejutan seperti masuknya lawan politik nya, Prabowo Subianto ke jajaran menteri, lalu pos kementerian yang diisi oleh orang yang tidak di duga sebelumnya. Kementerian Agama adalah salah satu yang membuat publik bertanya-tanya. Jenderal Punawirawan Fachul Razi lahir dari pasangan perantau Minangkabau yang berasal dari Maninjau, Sumatera Barat. Pada saat aktif di militer, ia pernah menjadi komandan Kontingen Garuda IX/2 yang ditugaskan ke Iran-Irak di bawah misi UNIIMOG. Periode 1996-1997, ia menjadi Gubernur Akademi Militer, dan tahun 1999 diangkat menjadi Wakil Panglima TNI mendampingi Widodo Adi Sutjipto. Dalam pemilihan presiden tahun 2019, Razi memimpin tim “Bravo 5” yang terdiri atas pensiunan perwira TNI yang mendukung kampanye pemilihan Joko Widodo-Ma’ruf Amin. Pada tanggal 20 Oktober 2019, Razi dilantik sebagai Menteri Agama. Dia merupakan tokoh militer ketiga yang memegang jabatan sebagai Menteri Agama, dan yang pertama sejak era Reformasi.

Salah satu pesan dan tugas Presiden kepada Menteri Agama adalah menangkal de-radikalisasi, hal ini tentu mengisyaratkan bahwa pemerintah akan fokus pada hal-hal yang pencegahan, deteksi dini dan kontra paham radikalisme, termasuk menyisir para aparatur sipil negara yang terpapar paham tersebut. Data di kementerian pertahanan (istritusi yang dipegang Prabowo) sebanyak 13% pegawai disana terpapar radikalisme, belum lagi di Polri, yang baru-baru ini ada Polwan yang terkonfirmasi paham tersebut. Oleh karena itu, Presiden Jokowi menaruh perhatian yang serius untuk menangani masalah ini, sehingga salah satu alasan penunjukan Jenderal (purn) Fachul Razi untuk menyelesaikan hal tersebut. Kita bisa lihat, track record Fachul Razi sebagai purnawirawan tentara sering diundang menjadi khotib atau penceramah di berbagai kesempatan, kedekatan nya dengan tokoh agama, sampai disebut Jenderal ustadz pun lekat dalam dirinya,

Hal yang menarik selain menangkal de-radikalisasi, penunjukan Fachrul Razi yang notabene tentara, adalah untuk upaya “bersih-bersih” di Kemenag, yang kita tahu bersama, kementerian tersebut termasuk yang tinggi tingkat korupsi nya. Kasus dana haji, merupakan masalah laten yang berulang tiap tahun nya dan tiap menteri nya, Presiden Jokowi melihat jengah dan kecewa dengan kepemimpinan menteri agama sebelumnya (yang dipimpin oleh ulama atau ketua parpol).

Suara-suara minor tentu banyak dalam menanggapi penunjukan Menag yang baru ini, yang paling lantang jelas dari kalangan NU (Nahdlatul Ulama) yang mengkritik mengapa tentara sampai menduduki kursi nomor satu di kementerian agama, jabatan yang biasanya auto NU, sampai-sampai PWNU Jatim “memboikot” Menag dengan tidak mengundang pada gelaran Hari Santri di Jawa Timur.

Apa itu Radikalisme?

Radikalisme asal kata dari radikal yang artinya mengakar, yaitu pemahaman yang mendalam terhadap sesuatu, dalam hal ini seharusnya kita (sebagai insan apapun) harus memiliki jiwa radikal, pengetahuan yang dalam dan mengakar akan suatu hal. Radikal terhadap ilmu pengetahuan itu sebuah keharusan, karena untuk menjadi pakar atau ahli dalam sesuatu harus memiliki pengetahuan yang mengakar. Radikalisme sendiri dapat diartikan sebagai sebuah paham, ajaran atau sebuah pakem yang mengakar (mendalam) akan sesuatu hal. Kata sesuatu hal ini yang dianggap “liar” karena dapat merujuk pada banyak hal, oleh karena ini disini penulis sedikit meluruskan makna tentang radikal atau radikalisme. Media seakan mem-framing, bahwa radikal itu sebuah kefanatikan akan sesuatu hal, sehingga seseorang yang radikal akan membela mati-matian terhadap nilai yang dianut dan menganggap nilai lain menjadi salah. Hal ini yang menjadi kekeliruan, bahwasanya radikal adalah merujuk pada pemikiran yang mendalam, bukan pada tindakan yang anarkis.

Bahkan kemarin Menag, mengeluarkan statemen yang cukup kontroversial bahwa ASN dilarang memakai cadar, lalu mengomentari pegawai yang bercelana cingkrang, hal ini tentu memancing reaksi dari publik, bagaimana tidak urusan privat sampai di atur. Seperti kita ketahui bersama, masyarakat kita sangat mudah disentuh dengan hal-hal yang bersifat emosional, atau juga dengan kebenaran pasca kebenaran (post-truth era). Jangan sampai urusan privat individu di ekspos dalam ruang publik, hal ini tentu akan berdampak pada sisi emosional itu sendiri. Ingat pak menteri, radikal itu sebuah konstruksi pikiran yang kita bangun (bentuk) jangan sampai kita terjebak pada simbol, namun harus fokus pada substansi, lebih baik menteri agama fokus pada kerja-kerja nyata seperti membenahi internal kementerian agama yang selama beberapa periode kebelakang sering kali tersandung masalah, lalu urusan Haji yang selalu berulang kendala nya, serta menjaga kerukunan hidup antar umat beragama di Indonesia.

 

Oleh : Dodi Santoso
Penulis Merupakan Staf Pengajar Ilmu Politik Universitas Haluoleo

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini