Parlemen Sang Penyambung Suara Buruh

135
Zulfikar Halim Lumintang, SST
Zulfikar Halim Lumintang, SST

Hingar bingar Pemilihan Umum 2019 (Pemilu 2019) masih nyaring sampai sekarang, setelan putusan. Sebelum pengumuman hasil Pemilu 2019, di sisi lain para buruh juga sudah menyiapkan tradisi aksi tahunan mereka yakni melakukan demonstrasi pada tanggal 1 Mei 2019 dalam peringatan Hari Buruh atau biasa disebut May Day. Tentunya hal ini sangat menarik, dimana seperti tahun-tahun sebelumnya para buruh telah melakukan aksi demonstrasi dengan membawa spanduk bertuliskan aspirasi, sambil berteriak menyuarakan harapan-harapan mereka. Target mereka jelas, didengar dan diakomodir oleh wakil-wakil mereka yang nantinya akan terpilih dari hasil Pemilu 2019.

Adapun aspirasi yang sering digaungkan oleh para buruh adalah Upah Buruh. Di Indonesia, Upah Buruh pada setiap provinsi berbeda-beda, sehingga muncul apa yang disebut Upah Minimum Provinsi (UMP). UMP juga sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 78 Tahun 2015, UMP tahun 2019 sudah diumumkan sebagian besar provinsi pada 1 November 2018. Dari besaran UMP nanti juga akan diturunkan menjadi Upah Minimum Kabupaten (UMK). Dalam penghitungannya, UMP dan UMK juga memperhatikan dua variabel ekonomi, yaitu tingkat Inflasi dan pertumbuhan PDB. Hasilnya, UMP dan UMK tahun 2019 naik sekitar 8,03% dari tahun 2018. Tercatat provinsi DKI Jakarta memiliki UMP tertinggi di Indonesia pada tahun 2019 mencapai 3,9 juta rupiah, sedangkan D.I. Yogyakarta memiliki UMP paling rendah dengan 1,5 juta rupiah.

Oleh karenanya, ada tiga aktor penting dalam penetapan upah buruh. Yang pertama, buruh itu sendiri. Dalam kasus ini, buruh menjadi objek dari sebuah kebijakan yang nantinya akan ditetapkan. Sebagai objek, buruh tidak serta merta menjadi pihak yang dilemahkan, mereka mempunyai hak juga untuk berbicara. Jadi, peran buruh dalam melihat kesesuaian kebijakan dengan kondisi sebenarnya sangat diutamakan.

Aktor kedua adalah perusahaan. Perusahaan sebagai mesin produksi, juga diatur dalam penetapan besarnya upah, dimana perusahaan dilarang membayar lebih rendah dari ketentuan upah minimum yang tercantum dalam Pasal 90 ayat 1 UU No. 13 Tahun 2003. Perusahaan sebagai pihak yang membayar para buruh tentu juga memiliki beban, ketika UMP dan UMK tiap tahun mengalami kenaikan. Salah satu solusinya adalah meningkatkan output perusahaan, yang secara otomatis meningkatkan jam kerja buruh dengan harapan akan meningkatkan pendapatan perusahaan, sehingga return dari perusahaan dan upah buruh bisa berjalan meningkat secara beriringan.

Aktor ketiga adalah Pemerintah. Pemerintah disini terdiri atas tiga bagian yang memiliki tugas pokok dan fungsi yang berbeda. Peran BPS sangat krusial, dimana menjadi instansi yang bertugas untuk menghitung inflasi dan pertumbuhan PDB. Seperti yang dijelaskan diatas, kedua variabel ekonomi tersebut berguna dalam penghitungan UMP dan UMK. Setelah didapat angka inflasi dan pertumbuhan PDB, instansi berikutnya adalah kepala daerah baik itu provinsi maupun kabupaten/kota. Para kepala daerah ini bertugas untuk menyampaikan besaran UMP dan UMK pada tahun berikutnya pada bulan November tahun berjalan. Selanjutnya adalah DPR. Peran DPR inilah yang sangat ditunggu oleh para buruh. Dimana DPR sebagai lembaga legislatif bertugas untuk melakukan evaluasi kebijakan penetapan upah dan melakukan revisi Undang-Undang jika memang aturan sebelumnya sudah tidak relevan lagi.

Permasalahan berikutnya yang sering disuarakan para buruh adalah tentang Pemutusan
Hubungan Kerja (PHK). PHK adalah hal yang biasa terjadi dalam dinamika perekonomian. PHK seringkali dipilih oleh perusahaan sebagai salah satu opsi mengurangi dampak kerugian tatkala perusahaan sedang kolaps. Namun, seiring berjalannya waktu ditambah lagi teknologi yang semakin maju, PHK buruh tidak melulu disebabkan perusahaan yang sedang lesu. Penggunaan teknologi informasi yang lebih berbasis mesin dalam perputaran bisnis juga tidak kalah menjadi andil seorang buruh di-PHK. Ya, sedikit demi sedikit peran buruh tergeser oleh robot maupun mesin indusri.

Sebenarnya permasalahan PHK sudah berusaha ditanggulangi dengan aturan pemberian
pesangon yang tercantum dalam pasal 156 UU No. 13 Tahun 2003. Namun masih banyak
perusahaan yang tidak membayarkan uang pesangon sesuai dengan hasil perhitungan dalam pasal 156 ayat 2 dan 3 No. 13 Tahun 2013. Hal ini tentu membuat resah para buruh. Tetapi, perusahaan juga tidak bisa disalahkan begitu saja. Kenapa? Karena misal perusahaan melakukan PHK karena sedang merugi, kemudian ditambah lagi harus membayar uang pesangon, tentu sangat memberatkan perusahaan. Dan ini bisa dimaklumi. Jadi, peran pemerintah khususnya DPR yang terpilih pada Pemilu 2019 mendatang perlu mengkaji tentang aturan penempatan kerja kembali para buruh yang perusahaannya merugi sehingga keberlangsungan hidup para buruh juga tetap terjamin dengan adanya pekerjaan baru.

 

Oleh : Zulfikar Halim Lumintang, SST
Penulis merupakan Statistisi Pertama BPS Kabupaten Kolaka

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini