Pemimpin dan Para Loyalisnya

459

OPINI : Masa sebelum Jenghis Khan berhasil menguasai negeri Mongolia dalam satu imperium, wilayah itu terpecah-pecah menjadi kelompok-kelompok suku yang berperang satu sama lain. Silih berganti mereka bersekutu dan berkonflik. Tidak ada musuh yang abadi dan tidak pula sekutu selamanya.

Andi Syahrir

Suatu ketika Jenghis yang saat itu masih bernama Temujin, terlibat konflik dengan sekutu dekat yang dianggapnya saudara sendiri bernama Jamukha. Dalam suatu pertempuran, Temujin nyaris tewas setelah sebuah panah beracun mengenai lehernya.

Dia berhasil selamat atas kesetiaan seorang pengawalnya bernama Jelme yang menghisap racun dari leher Temujin dengan mulutnya. Dalam pelarian, Jelme merawat Temujin hingga sembuh.

Dalam pertempuran berikutnya, Temujin berhasil mengalahkan Jamukha. Sisa pasukan Jamukha lalu menyatakan kesetiaan ke Temujin. Jenghis Khan muda kemudian memeriksa para pengikut baru ini untuk memastikan kesetiaannya sekaligus mencari tahu siapa orang yang melepaskan anak panah dan nyaris membuatnya mati.

Salah satu di antara mereka bernama Sorkan-shira. Temujin mengenalnya sebagai orang yang pernah menyelamatkan dirinya di pertempuran lain dengan klan lain. Temujin menghormatinya meskipun sebelumnya dia adalah anak buah Jamukha.  Saat bertemu dengan Temujin, Sorkan-shira ditemani seorang bernama Jirko.

Temujin lalu bertanya ke Sorkan-shira siapa yang melontarkan anak panah yang nyaris membunuhnya. Tak dinyana, Jirko yang angkat bicara dalam jedah berpikir yang begitu cepat. Jirko mengaku bahwa dirinyalah yang memanah Temujin. Jirko memilih untuk mengakui perbuatannya karena dua hal.

Pertama, ada peluang bahwa dirinya tidak akan dihukum mati mengingat dia bersama Sorkan-shira yang pernah menyimpan utang nyawa atas Temujin. Kedua, jika tetap diam dan perbuatannya kelak terungkap, ia akan tampak pengecut dan licik dan pastinya akan dibunuh juga.

Jirko lalu mengiringi pengakuannya itu dengan mengangkat sumpah bahwa dia akan menuruti perintah apapun dari Temujin, betapapun sulitnya.

“Jika kau membunuhku, aku hanya akan membusuk di dalam sepetak tanah seukuran tanganmu. Tapi jika kau menunjukkan belas kasihan, aku akan menerobos laut dan gunung untukmu,” kata Jirko mengangkat sumpahnya.

Temujin berpikir sejenak, kemudian memuji kejujuran dan keberanian Jirko. Dalam kasus ini, Temujin menganggap tidak ada unsur pengkhianatan. Ini hanya soal posisi relatif masing-masing bahwa mereka adalah dua pihak yang bermusuhan.

“Inilah pria yang pantas dijadikan teman. Ia akan disebut Jebe (ujung panah) dan aku akan menggunakannya sebagai panahku,” kata Temujin kemudian.

Beberapa tahun kemudian, ketika Temujin naik takhta dan bergelar Jenghis Khan, Jelme (sang penghisap racun) dan Jebe (sang pemanah) adalah dua jenderal utama yang membantu Jenghis Khan menaklukkan dunia.

Masih dalam perang itu juga, seorang pemimpin klan yang menjadi sekutu Jamukha berhasil ditangkap oleh tiga orang bawahannya sendiri. Mereka hendak membawa pemimpin mereka ke hadapan Temujin untuk dihukum mati, sembari berharap “hadiah” itu ditukar dengan pengampunan dari Temujin.

Di tengah jalan, mereka menjadi ragu atas tindakannya karena paham betul sikap Temujin tentang makna kesetiaan. Bagaimanapun, mereka pernah menyatakan kesetiaan terhadap pemimpinnya yang bergelar Kiriltuk itu karena tubuhnya yang gendut.

Mereka lalu memutuskan melepaskan kembali pemimpin mereka dan bertiga menyerahkan diri ke Temujin. “Kalian tidak sanggup berpaling dari khan kalian yang sah. Hati kalian benar,” Temujin merespon baik tindakan ketiganya dan menerima mereka sebagai anak pengikut.

Dari kisah yang dituturkan sejarawan Ingggris, John Man, ini, setidaknya terdapat tiga karakter dasar yang ditunjukkan oleh pemimpin dan juga (perlu) diampu para loyalisnya agar relasi keduanya dapat mengantarkan mereka pada kecemerlangan. Jenghis Khan telah membuktikan itu. Loyalisnya juga demikian.

Kejujuran. Keberanian. Kesetiaan. Adakah pemimpin kita memilikinya? Anda sebagai loyalis atau pengikut juga memilikinya? Potongan kisah Jenghis Khan ini pelajaran yang baik agar kita tak terlalu pragmatis –pendusta, pengecut, dan kutu loncat. Ups…***

 

Oleh : Andi Syahrir
Penulis Merupakan Alumni UHO & Pemerhati Sosial

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini