Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut di Indonesia Belum Efektif

705
Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia, Mohamad Abdi Suhufan
Mohamad Abdi Suhufan

ZONASULTRA.COM, JAKARTA – Keinginan pemerintah Indonesia memiliki 20 juta kawasan konservasi laut pada 2019 mendatang mendapatkan berbagai macam kendala. Secara kuantitatif, target 20 juta tersebut kemungkinan akan dapat terpenuhi, tapi secara kualitatif pengelolaan kawasan konservasi laut masih sulit dilakukan secara efektif.

Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia, Mohamad Abdi Suhufan
Mohamad Abdi Suhufan

Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia, Mohamad Abdi Suhufan mengatakan, pengelolaan kawasan konservasi laut atau perairan saat ini dihadapkan pada tiga tantangan utama, yaitu belum efektifnya pengelolaan kawasan, menurunnya alokasi pendanaan konservasi laut dari pemerintah dan konflik pembangunan antar sektor yang terjadi di dalam kawasan konservasi laut.

“Keberadaan kawasan konservasi laut makin tertekan karena komitmen pemerintah untuk mendanai program konservasi semakin menurun,” kata Abdi melalui pesan WhatsApp, Selasa (3/10/2017).

Alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) tidak terlalu signifikan untuk membiayai program konservasi perairan yang kini telah mencapai 17,3 juta Ha.

Hal ini, kata Abdi menyebabkan pengawasan kegiatan destructrive fishing dalam kawasan konservasi tidak dapat dilakukan secara maksimal karena minimnya anggaran. Kondisi ini diperparah dengan masa transisi UU No 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang menarik kewenangan pengelolaan sumber daya laut dari kabupaten dan kota ke provinsi, yang menyebabkan pengelolaan kawasan konservasi laut daerah menjadi kurang terurus oleh daerah.

“Masa transisi undang-undang untuk persiapan personil, sumber daya manusia (SDM), pendanaan dan sarana prasarana terlalu lama dan kini memasuki tahun ke-3. Salah satu lokasi yang ironis dari kondisi tersebut adalah Provinsi Sulawesi Tenggara yang memiliki 10 kawasan konservasi laut daerah seluas 426.274 ha tidak mendapat alokasi anggaran dari APBD 2017,” kata Abdi.

Status kawasan konservasi tidak membuat program perlindungan ekositim dan genetik menjadi mudah dilaksanakan sebab konflik pembangunan dan pemanfaatan sumber daya laut juga masih sering terjadi. Di Wakatobi, sampai saat ini belum ada titik temu dan konsep bersama antara Pemerintah Daerah Wakatobi dan Balai Taman Nasional Wakatobi (BTNW)mengelola pariwisata dalam kawasan konservasi.

Abdi menyarankan agar Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) serta pemerintah provinsi bisa mencari jalan keluar agar masalah mendasar pengelolaan kawasan konservasi perairaan dapat dicarikan solusi.

“Pemerintah daerah perlu lebih care dan sensitif terhadap isu dan masalah pengelolaan kawasan konservasi perairan. Bentuk kepedulian tersebut diwujudkan untuk segera menyelesaikan transisi pengelolaan kawasan konservasi, membentuk kelembagaan dan menyiapkan alokasi pendanaan yang signifikan. Implementasi pendanaan berkelanjutan untuk mengelola kawasan konservasi perlu secepatnya diterapkan,” terangnya.

Sementara itu, peneliti DFW Indonesia Subhan Usman mengatakan bahwa kegiatan destructive fishing dengan bom dan bius di dalam kawasan konservasi perairan saat ini belum juga berkurang. Pada perairan di Kepulaun Spermonde dan Taman Wisata Perairan Kapoposang biomassa ikan karang makin menurun. Hal ini mengindikasikan kondisi terumbu karang semakin rusak dan belum pulih.

“Upaya rehabilitasi terumbu karang dalam kawasan konservasi perlu terus dilakukan agar pemulihan karang bisa lebih cepat. Sementara itu, untuk mengatasi masalah destructive fishing, aparat penegak hukum mesti lebih ketat melakukan penindakan dan memberikan hukuman maksimal bagi pelaku untuk memberikan efek jera,” beber Subhan. (B)

 

Penulis: Nova Ely Surya
Editor: Jumriati

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini