PROVINSI SULAWESI TENGGARA
PERATURAN DAERAH KOTA KENDARI
NOMOR 9 TAHUN 2017
TENTANG
PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN PERILAKU PROSTITUSI
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
WALIKOTA KENDARI,
Menimbang : a. bahwa prostitusi merupakan suatu perbuatan tercela yang bertentangan dengan norma agama, adat istiadat, kesusilaan, ideologi Pancasila ;
b. bahwa praktek prostitusi di Kota Kendari sudah meresahkan masyarakat karena merendahkan harkat dan martabat manusia dan dapat menimbulkan penyakit yang berdampak negatif terhadap kehidupan individu, keluarga serta sendi-sendi kehidupan masyarakat;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b, serta dalam upaya melestarikan nilai-nilai luhur budaya masyarakat yang tertib dan dinamis serta dalam rangka mencegah dan menanggulangi praktek-praktek prostitusi di Kota Kendari, maka perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang Pencegahan dan Penanggulangan Perilaku Prostitusi ;
Mengingat : 1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ;
2. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1995 Tentang pembentukan Kotamadya Daerah Tingkat II Kendari (Lembar Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3602) ;
3. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3886) ;
4. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4720 ) ;
5. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4967 ) ;
6. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan kedua atas Undang Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679).
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA KENDARI
dan
WALIKOTA KENDARI
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN PERILAKU PROSTITUSI
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Daerah ini, yang dimaksud dengan :
- Daerah adalah Kota Kendari.
- Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Kota Kendari.
- Kepala Daerah adalah Walikota Kendari.
- Setiap orang adalah orang perorangan atau badan, baik yang berbadan hukum maupun yang bukan berbadan hukum.
- Pencegahan adalah tindakan awal merintangi, menolak atau melarang agar tidak terjadinya suatu perbuatan yang berkaitan dengan prostitusi.
- Penanggulangan adalah suatu proses, cara, dan perbuatan mengatasi permasalahan melalui upaya pencegahan (preventif), pembinaan dan rehabilitasi (kuratif), dan penindakan (represif).
- Prostitusi atau Pelacuran adalah seseorang atau sekelompok orang baik pria, wanita, yang menyediakan dirinya kepada umum atau seseorang tertentu untuk melakukan perbuatan/kegiatan cabul atau hubungan seksual atau untuk melakukan perbuatan yang mengarah pada hubungan seksual di luar perkawinan dengan tujuan untuk mendapatkan imbalan berupa uang, barang dan/atau jasa lainnya.
- Mucikari atau dengan sebutan lain yang sejenis adalah seseorang yang yang menjadi induk semang yang mengorganisasikan orang lain untuk melakukan prostitusi atau perbuatan cabul
- Tempat/rumah pelacuran adalah tempat atau rumah yang berada di Daerah yang berdasarkan indikasi dan/atau bukti permulaan patut diduga dipergunakan sebagai tempat pelacuran.
- Tempat Hiburan adalah tempat penyelenggaraan semua jenis pertunjukan atau keramaian termasuk kegiatan dengan nama dan bentuk apapun yang ditonton atau dinikmati dan dirasakan manfaatnya sebagai fasilitas yang dapat memberikan hiburan dan kesegaran bagi setiap pengunjung.
- Hubungan seksual adalah hubungan perkelaminan (biologis) antara dua jenis kelamin yang berbeda dimana anggota kelami laki-laki masuk dalam anggota kelamin perempuan yg biasa dijalankan untuk mendapatkan anak, sehingga mengeluarkan air mani atau antara dua jenis kelamin yang sama.
- Perbuatan cabul adalah segala perbuatan yang tidak seronok atau perbuatan yang melanggar kesusilaan, seperti sengaja memamerkan alat kelamin kepada orang lain, mencium seseorang dengan bernafsu, mengelus/meraba alat kelamin seseorang atau buah dada perempuan, memaksa seseorang untuk melakukan kontak/ciuman mulut, termasuk persetubuhan atau hubungan seks.
- Pelarangan adalah sesuatu yang tidak diperbolehkan atau tidak
- Penyidik adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia, pejabat atau pegawai negeri sipil yang diberi tugas dan wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.
- Penyidik Pegawai Negeri Sipil selanjutnya disebut PPNS adalah Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Kota Kendari yang diberi wewenang khusus oleh Undang-undang untuk melakukan penyidikan atas pelanggaran terhadap Peraturan Daerah.
- Kepolisian Negara Republik Indonesia selanjutnya disebut Polri adalah Kepolisian Resort Kota Kendari.
- Rehabilitasi sosial adalah suatu proses refungsionalisasi dan pembinaan untuk membina para pelaku agar mampu melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar dan benar dalam kehidupan masyarakat.
Pasal 2
Maksud ditetapkannya Peraturan Daerah tentang Pencegahan dan Penanggulangan Perilaku Prostitusi ini adalah sebagai dasar hukum yang melandasi upaya mencegah dan menanggulangi berbagai bentuk prostitusi atau pelacuran yang mempengaruhi tata kehidupan bermasyarakat dan sebagai upaya merubah sikap mental yang merusak sendi-sendi nilai kehidupan masyarakat, sehingga terwujud masyarakat yang tertib, teratur, bermoral, beretika dan berahlaq mulia.
Pasal 3
Tujuan ditetapkannya Peraturan Daerah tentang Pencegahan dan Penanggulangan Perilaku Prostitusi ini adalah :
a. untuk mencegah prostitusi atau pelacuran dan segala macam bentuknya.
b. untuk menciptakan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan kepastian hukum, dengan melarang kegiatan prostitusi atau pelacuran di seluruh wilayah Daerah.
c. agar terwujudnya masyarakat yang tertib, teratur, bermoral, beretika dan berahlaq mulia.
BAB II
LARANGAN
Pasal 4
Setiap orang dilarang menawarkan diri baik secara langsung dan/atau tidak langsung dengan menggunakan media informasi untuk melakukan prostitusi atau pelacuran.
Pasal 5
Setiap orang dilarang memanggil atau memesan pelacur baik secara langsung maupun tidak langsung dengan menggunakan media informasi dengan maksud untuk melakukan prostitusi atau pelacuran.
Pasal 6
Setiap orang baik secara sendiri ataupun bersama-sama dilarang untuk melakukan perbuatan pelacuran.
Pasal 7
Setiap orang baik sendiri ataupun bersama-sama dilarang membujuk/merayu, mempengaruhi, memikat, mengajak, dan/atau memaksa orang lain dengan kata-kata, isyarat, tanda, dan/atau perbuatan lainnya yang dapat mengakibatkan perbuatan prostitusi atau pelacuran.
Pasal 8
Setiap orang baik sendiri ataupun bersama-sama, dilarang bermesraan, berpelukan dan/atau berciuman dengan siapapun yang mengarah pada hubungan seksual, baik di tempat umum atau di tempat-tempat yang kelihatan oleh umum.
Pasal 9
(1) Setiap orang baik sendiri ataupun bersama-sama, dilarang mengunjungi tempat/rumah yang digunakan atau mempunyai indikasi atau bukti yang kuat sehingga patut diduga tempat/rumah tersebut digunakan sebagai tempat prostitusi atau pelacuran.
(2) setiap orang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikecualikan bagi petugas yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang – undangan.
Pasal 10
(1) Setiap orang dilarang memberi bantuan untuk terjadinya tindak prostitusi atau pelacuran.
(2) Setiap orang dilarang memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk terjadinya tindak prostitusi atau pelacuran.
BAB III
WEWENANG DAN KEWAJIBAN PEMERINTAH DAERAH
Bagian Kesatu
Wewenang Pemerintah Daerah
Pasal 11
(1) Kepala Daerah berwenang melakukan tindakan yang berhubungan dengan pencegahan dan penanggulangan perilaku prostitusi di daerah.
(2) Kepala Daerah berwenang menutup, menyegel atau mencabut izin terhadap tempat yang digunakan atau mempunyai indikasi atau bukti yang kuat sehingga patut diduga tempat tersebut digunakan sebagai tempat prostitusi atau pelacuran.
(3) Tempat yang ditutup sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilarang dibuka kembali sepanjang belum ada jaminan dari pemilik/pengelolanya bahwa tempat itu tidak akan digunakan lagi untuk menerima tamu dengan maksud melakukan perbuatan prostitusi atau pelacuran sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Tata cara penutupan dan penyegelan tempat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), diatur lebih lanjut dengan Peraturan Walikota.
Pasal 12
Kepala Daerah berwenang melakukan kerjasama dengan Polri, Tentara Nasional Indonesia, Kejaksaan Negeri, Pengadilan Negeri, Pihak Swasta, Perguruan Tinggi dan Lembaga Swadaya Masyarakat dalam rangka upaya pencegahan dan penanggulangan perilaku Prostitusi di Daerah.
Pasal 13
(1) Kepala Daerah atau Kepala Organisasi Perangkat Daerah yang mempunyai tugas di bidang penegakan Peraturan Daerah berwenang melakukan razia terhadap tempat-tempat yang digunakan atau mempunyai indikasi atau bukti yang kuat sehingga patut diduga tempat/rumah tersebut digunakan sebagai tempat prostitusi atau pelacuran.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan razia sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan Peraturan Walikota.
Bagian Kedua
Kewajiban Pemerintah Daerah
Pasal 14
(1) Pemerintah Daerah berkewajiban melakukan pencegahan dan penanggulangan terhadap perilaku prostitusi atau pelacuran.
(2) Pemerintah Daerah berkewajiban melakukan pembinaan dan rehabilitasi sosial terhadap germo, mucikari, pelacur dan pelanggan pelacur.
(3) Pemerintah Daerah berkewajiban menyediakan anggaran untuk menampung kegiatan pencegahan dan penanggulangan perilaku prostitusi atau pelacuran serta pembinaan dan rehabilitasi, yang dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan sumber lain yang sah menurut ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Rehabilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan melalui kegiatan :
a. bimbingan, pendidikan, pelatihan, dan keterampailan teknis;
b. bimbingan, pendidikan, dan penyuluhan rohaniah dan jasmaniah; dan
c. penyediaan lapangan kerja atau penyaluran tenaga kerja.
Pasal 15
(1) Guna mengefektifkan pelaksanaan di lapangan, pembinaan dan rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, dilaksanakan secara terpadu di bawah koordinasi Walikota atau Organisasi Perangkat Daerah yang mempunyai tugas dan fungsi dibidang sosial.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan dan rehabilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan Peraturan Walikota.
BAB IV
PERAN SERTA MASYARAKAT
Pasal 16
(1) Masyarakat baik secara individu maupun kelompok dapat berperan serta dalam upaya pencegahan dan penanggulangan perilaku prostitusi atau pelacuran di daerah.
(2) Peran serta masyarakat dalap.m upaya pencegahan dan penanggulangan perilaku prostitusi dapat diwujudkan dalam bentuk :
a. memberikan informasi dan/atau melaporkan kepada Polri, TNI, atau Organisasi Perangkat Daerah yang tugas pokok dan fungsinya melakukan penegakan peraturan daerah jika mengetahui secara langsung atau menduga kuat bahwa sedang atau akan atau telah terjadinya kegiatan prostitusi atau pelacuran.
b. turut serta dalam mencegah dan menanggulangi terjadinya tindak prostitusi atau pelacuran.
c. bekerjasama dengan Pemerintah Daerah dalam pembinaan dan rehabilitasi sosial terhadap germo, mucikari, pelacur dan pelanggan pelacur.
BAB V
PENYIDIKAN
Pasal 17
(1) Selain penyidik Polisi Republik Indonesia, Penyidik Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Pemerintah Daerah juga diberikan kewenangan untuk melakukan penyidikan tindak pidana prostitusi atau pelacuran.
(2) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) karena kewajibannya mempunyai wewenang :
a. menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana;
b. melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;
c. menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka;
d. melakukan penangkapan, penggeledahan dan penyitaan;
e. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
f. mengambil sidik jari dan memotret seorang;
g. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
h. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;
i. mengadakan penghentian penyidikan;
j. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
(3) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia.
(4) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam melakukan tugasnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), wajib menjunjung tinggi hukum yang berlaku.
BAB VI
KETENTUAN PIDANA
Pasal 18
(1) Setiap orang yang melakukan pelanggaran ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 10 diancam pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling tinggi Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pelanggaran.
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 19
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kota Kendari.
Ditetapkan di : Kendari
pada tanggal : 2017
WALIKOTA KENDARI,
ADRIATMA DWI PUTRA
Diundangkan di Kendari
Pada Tanggal 2017
SEKRETARIS DAERAH KOTA KENDARI,
ALAMSYAH LOTUNANI
LEMBARAN DAERAH KOTA KENDARI TAHUN 2017 NOMOR
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN DAERAH KOTA KENDARI
NOMOR TAHUN 2017
TENTANG
PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN PERILAKU PROSTITUSI
I. UMUM
Dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah maka Daerah diberi otonomi yang seluas-luasnya dari Pemerintah Pusat untuk mengatur dan mengurus sendiri Urusan Pemerintahan menurut Asas Otonomi dan Tugas Pembantuan yaitu salah satunya adalah urusan pemerintahan konkuren yang merupakan urusan pemerintahan wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar yang salah satunya meliputi kesehatan, sosial serta ketenteraman, ketertiban umum, dan perlindungan masyarakat.
Untuk menjalankan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya berdasarkan asas otonomi tersebut Pemerintah Daerah berwenang untuk membentuk Peraturan Daerah yang mengatur tentang pencegahan dan penanggulangan perilaku prostitusi sebagai salah satu upaya yang dilakukan untuk melindungi masyarakat dari kemerosotan moral, akhlaq, niali-nilai sosial akibat perilaku menyimpang yang merupakan penyakit masyarakat sehingga masyarakat dapat hidup tenteram, tertib dan damai dalam suatu lingkungan yang baik dan sehat.
Prostitusi atau Pelacuran merupakan suatu perbuatan tercela, bertentangan dengan ideologi Pandasila, norma agama dan kesusilaan, adat istiadat, budaya, dan merendahkan harkat dan martabat manusia yang dapat menimbulkan penyakit, merusak kesehatan bagi yang bersangkutan dan keluarganya sehingga dapat menggoyahkan kehidupan keluarga, serta berdampak negatif terhadap sendi-sendi kehidupan masyarakat.
Prostitusi atau Pelacuran merupakan masalah sosial yang serius karena merugikan keselamatan, ketenteraman dan kemakmuran baik jasmani, rohani maupun sosial dari kehidupan bersama. Tidak saja merugikan individu para pelaku perbuatan tersebut, tapi juga dapat berdampak pada kerusakan moralitas sosial, rusaknya sendi – sendi kehidupan keluarga dan bermasyarakat, seperti rusaknya sistem kekerabatan atau asal usul keturunan dalam keluarga.
Oleh karena itu, agar dapat mendukung menciptakan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan kepastian hukum, perlu melarang kegiatan prostitusi atau pelacuran di seluruh wilayah Daerah dan memberikan sanksi bagi para pelanggar guna menimbulkan efek jera bagi pelakunya yang diatur dengan Peraturan Daerah.
Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, serta dalam upaya melestarikan nilai-nilai luhur budaya masyarakat yang tertib dan dinamis serta dalam rangka mencegah pelanggaran terhadap praktek-praktek prostitusi di Kota Kendari, maka perlu membentuk Peraturan Daerah tentang Pencegahan dan Penanggulangan Perilaku Prostitusi di Kota Kendari
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Cukup jelas
Pasal 3
Cukup jelas
Pasal 4
Cukup jelas
Pasal 5
Cukup jelas
Pasal 6
Cukup jelas
Pasal 7
Cukup jelas
Pasal 8
Cukup jelas
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 12
Ayat (1)
Pemerintah Daerah berwenang melakukan kerja sama dengan Polri, Tentara Nasional Indonesia, Kejaksaan Negeri, dan Pengadilan Negeri pada saat operasional pelaksanaan pencegahan dan pemberantasan perilaku prostitusi
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 15
Ayat(1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 17
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 19
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KOTA KENDARI NOMOR ……