Pergesekan Dua Kubu Jelang Pilpres 2019 dan Pemahaman Keliru Soal Car Free Day

234
ilustrasi pilpres 2019 , #DiaSibukKerja, #2019GantiPresiden
Ilustrasi

ZONASULTRA.COM, KENDARI – Salah satu isu yang mengemuka saat ini adalah terkait penggunaan ruang publik untuk kepentingan politis Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019. Sementara ada dua kubu yang mulai mencuat dan rawan bergesekan yakni yang pro Presiden Jokowi dan yang ingin Jokowi diganti.

Yang teranyar adalah penggunaan lokasi Car Free Day (CFD) pada 29 April 2018 lalu di Jakarta yang pesertanya dari dua kubu berlawanan yakni massa yang berkaus “#2019GantiPresiden” dan yang berkaus ”#DiaSibukKerja”. Aksi yang sempat ricuh itu juga dikhawatirkan akan bergulir sampai ke daerah-daerah, tak terkecuali CFD di Kota Kendari.

Menanggapi hal itu, profesor di bidang politik dari Universitas Halu Oleo (UHO) Kendari Eka Suaib mengatakan, kalau ada pihak yang mau menggunakan medium seperti CFD sebagai momentum dan medium utama dalam memenangkan pertarungan maka itu adalah salah kaprah.

Pada persepsi publik maupun regulasi yang ada bahwa CFD adalah arena yang seharusnya steril dari kegiatan-kegiatan politik praktis. Ketika salah satu kubu menganggap bahwa medan seperti CFD merupakan medium yang paling strategis untuk memenangkan pertempuran politik, maka bisa menjadi “senjata makan tuan” karena pada akhirnya akan melawan persepsi publik.

BACA JUGA :  Video Viral di Sampang Surat Suara Sudah Tercoblos 02, KPU: Narasi Hoaks

“Harusnya CFD itu steril dari politik tetapi justru ada orang yang ingin manfaatkan medium itu. Dalam konteks itu maka memang sebaiknya CFD itu tidak diisi oleh kegiatan-kegiatan politik praktis karena itu akan mendatangkan kontra produktif,” kata Eka di Kendari, Selasa (8/5/2018) malam.

Kontra produktif yang dimaksud adalah akan mendatangkan arus politik yang justru tidak menguntungkan bagi kubu yang hanya ingin memandang CFD itu adalah arena untuk memenangkan pertarungan kontestasi di Pilpres. CFD harus tetap pada pemahaman bersama sebagai ruang publik non politis.

Olehnya kata Eka, aparat keamanan harus tetap menjaga roh ataupun niat luhur dari CFD itu. CFD harus dipahami sebagai satu ide untuk kegiatan-kegiatan olahraga ataupun mengurangi kandungan polusi udara dari karbondioksida.

Eka Suaib
Eka Suaib

“Maksud saya kalau hashtag itu biarkan dia bermain pada level pikiran saja (mind). Tidak dibenturkan pada medan pertempuran real, kan ini masih lama sebetulnya (Pilpres). Jadi jangan dibawa terlalu dini, proses politik ini terlalu cepat sebetulnya dibawa ke ranah yang praktis. Harusnya inikan hanya pertarungan gagasan,” tutur Eka.

BACA JUGA :  [HOAKS] Konten TikTok soal Alumni Trisakti Deklarasi Dukung Jokowi

Hashtag-hashtag yang mencul itu adalah produk budaya baru dalam perkembangan politik Indonesia terkini. Kata Eka, pada Pilpres yang lalu hal serupa sudah ada namun tidak sekuat saat ini, yang mana peran media sosial sudah luar biasa.

Bila produk budaya baru itu terus digiring dalam kepentingan politik praktis maka justru tidak akan menemukan bentuk budaya politik yang lebih beradab. Eka menekankan budaya milenial yang baru ini semestinya dapat menjadi bentuk budaya politik yang dapat mendatangkan kematangan politik.

“Tapi kalau tidak mendatangkan kematangan politik, justru itu yang jadi beban. Sehingga kita himbau para elit-elit politik untuk sadar tentang persoalan itu,” tutup Eka. (B)

 


Reporter: Muhamad Taslim Dalma
Editor: Jumriati

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini