Pimnas ke-28 dan Juara Sejati

90

Ajang Pekan Ilmiah Mahasiswa nasional (Pimnas) ke-28 yang digelar di Universitas Halu Oleo (UHO), Kendari, Sulawesi Tenggara (Sultra), telah usai. Pada Kamis (8/10/2015) malam, Universitas Brawijaya (UB) dinobatkan sebagai juara umum dengan raihan 10 medali emas, enam perak, dan delapan perunggu.

Universitas Gadjah Mada (UGM), yang merupakan jawara pada Pimnas ke-27 di Universitas Diponegoro, Semarang, Jawa Tengah, gagal mempertahankan Piala Adikarta Kertawidya dan hanya berhasil menempati posisi ketiga dengan perolehan empat emas, empat perak, dan enam perunggu.

Urutan kedua disabet oleh Universitas Teknologi Surabaya (UTS) yang juga meraih empat emas, enam perak, dan enam perunggu.

Secara lengkap, 10 besar perguruan tinggi peraih medali masing-masing Universitas Brawijaya, ITS, UGM, Universitas Airlangga, Universitas Pendidikan Ganesha, Institut Pertanian Bogor, Universitas Negeri Yogyakarta, Universitas Komputer Indonesia, Universitas Padjajaran, dan Universitas Negeri Malang.

Pimnas merupakan ajang paling bergengsi bagi para mahasiswa se-Nusantara. Sebagai calon ilmuwan, Pimnas merupakan medan untuk mengasah ketajaman intelektualitas yang dimiliki mahasiswa. Di sinilah tempatnya membuktikan kehebatan diri sebagai seorang pelajar pendidikan tinggi.

Keluar sebagai jawara di tempat ini merupakan pentahbisan sebagai yang terbaik. Hanya saja, juara di sebuah kontestasi, bukanlah parameter mutlak tentang makna juara yang sesungguhnya. Mereka yang hanya meraih perak, perunggu, bahkan yang kembali tanpa penghargaan sekalipun, sesungguhnya tetap berpeluang menjadi juara sejati.

Sebuah perlombaan, hanyalah wadah untuk mengurut posisi-posisi secara relatif. Dari yang terbesar ke yang terkecil, dari yang tertinggi ke yang terendah. Karena tidak semua harus menjadi nomor urut satu. Bahkan, nomor satu sekalipun tidak ada maknanya ketika tidak ada nomor dua.

Juara tidak akan pernah ada jika tidak ada peran serta orang-orang yang kalah. Tetapi mereka yang juara belum tentu pemenang sejati. Dan mereka yang kalah pun belum tentu pecundang.

Lalu dimana makna juara sejati dalam konteks Pimnas ini? Saya hendak mengutip sebuah kisah salah seorang pemenang sejati yang pernah dicatat sejarah. Di tahun 2010 silam, pelari papan atas Kenya, Jacqueline Nyetipkei Kiplimo, mengikuti lomba lari Marathon Zheng-Kai. Atlit kulit hitam ini akrab disapa dengan panggilan Jacq.

Dari sekian peserta lomba yang menjadi rival Jacq, ada seorang pelari asal Cina yang tidak memiliki lengan. Jacq jatuh iba ketika atlit difabel ini terlihat kesulitan mengambil air minum dan mengalami dehidrasi. Maka mulai kilometer 10 hingga 38, Jacq membantu memberikan minuman kepadanya. Dia baru berhenti membantu memberikan minum ketika dilihatnya si pelari sudah membaik.

Aktifitas tambahan Jacq otomatis memperlambat larinya. Akhirnya, dia harus rela menjadi juara kedua dan kehilangan hadiah sebesar 10.000 dolar Amerika Serikat. Saat wartawan bertanya kenapa dia melakukan itu?

Dia menjawab, “Saya tidak pernah menyesal untuk membantu orang lain. Bagi saya, dia bukan orang asing, tapi sesama yang perlu mendapat bantuan dari saya… It’s all not about the winning.”  

Jacq memang tidak menjadi juara dalam lomba itu. Dia tidak berhak menerima hadiah sekaligus mengangkat tropi kemenangan. Tapi dia menempati posisi pertama di hati orang-orang atas kerelaan dirinya menekan egonya demi manfaat yang lebih besar. Menyelamatkan orang lain.

Dalam konteks Pimnas, karya para mahasiswa ini barulah dapat dinyatakan pemenang jika kemudian memberi manfaat. Bagi orang lain. Bagi masyarakat banyak. Dapat diklaim sebagai juara sejati jika hasil karyanya  mampu teraplikasi dalam menyelesaikan soal-soal kehidupan.

Menjadi juara hanyalah soal menciptakan posisi, tetapi menjadi pemenang adalah perihal menciptakan legacy. Posisi dengan cepat tergantikan, tetapi legacy tak akan terganti. Akan terus terpatri.

Mahasiswa UHO yang hanya meraih dua perunggu tidak perlu berkecil hati. Ladang pembuktian diri masih terpampang lebar. Buktikan bahwa perunggu itu adalah emas yang sesungguhnya. Ciptakanlah legacy itu.***

 

Andi Syahrir

Alumni Pascasarjana UHO & Pemerhati Sosial

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini