Polisi Dinilai Lamban Hingga Kejanggalan Kasus Dugaan Pencabulan Anak di Konsel

1054
Cabuli Adik Ipar, Pemuda di Kolaka Ditangkap Polisi
Ilustrasi

ZONASULTRA.COM, ANDOOLO – Dugaan kasus pencabulan anak di bawah umur terjadi di Kabupaten Konawe Selatan (Konsel), Sulawesi Tenggara. Korban merupakan siswi kelas dua SD berinisial ASI (7), sementara terduga pelaku berinisial B (28), warga Desa Morome Kecamatan Konda, Konsel.

Kasus ini terjadi di sebuah kebun di Desa Morome pada 1 November 2019 lalu. Kasusnya baru ketahuan dan diadukan ke pihak kepolisian pada 8 November 2019. Sampai saat ini pelaku belum juga ditahan.

Baca Juga : Bombana Rawan Kasus Pencabulan, Targetnya Anak di Bawah Umur

Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Konsel menganggap Kepolisian Sektor (Polsek) Konda lamban menangani kasus ini.

Kepala Dinas P3A Konsel Yuliana menyebut pihaknya baru mengetahui kasus ini pada 17 Desember 2019. Menurut Yuliana korban mengalami trauma saat dikunjungi petugas dinas sebelum mengonfirmasi pihak kepolisian mengenai kelanjutan penanganan kasus korban yang sudah berjalan sebulan. Hasilnya tanggal 19 Desember polisi mengeluarkan surat permintaan pendampingan terhadap korban dan surat permintaan visum.

“Waktu itu kita klarifikasi, alasan polisi tidak menangkap pelaku katanya pelaku ini sakit jiwa, sehingga tidak dapat dihukum,” ungkap Yuliana kepada awak media di kantornya beberapa waktu lalu.

Kepala Dinas P3A Konsel Yuliana bersama Ketua LBH HAMI Samsuddin saat menunjukan surat pendampingan terhadap ASI (7) Korban pencabulan yang dilakukan oleh B. Pelaku belum juga ditahan oleh polisi karena dianggap memiliki keterbelakangan mental.

Ketua Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Himpunan Advokat Muda Indonesia (HAMI) Konsel, Samsuddin selaku mitra DP3A yang turut melakukan pendampingan, dengan tegas mempertanyakan alasan polisi tidak menangkap pelaku. Sebab, penyidik saat itu tak menunjukkan surat keterangan sakit jiwa dari dokter dan tidak mengeluarkan surat penghentian penyidikan sebagai dasar tidak diteruskan kasus terduga B ke pengadilan.

Samsuddin lantas menyimpulkan polisi tak serius menangani kasus ini. Ayah korban Irkon Wahyudi (37) juga membeberkan beberapa kejanggalan proses hukum pelaku. Salah satunya tak pernah diamankanya pelaku ke kantor polisi. Padahal katanya polisi telah memeriksa korban dan sejumlah saksi yang memberi keterangan petunjuk yang saling bersesuaian.

Irkon justru dua kali diajak mediasi oleh pemerintah desa bersama kepolisian saat itu. Percobaan mediasi pertama dilakukan sehari setelah melapor. Ia ditelepon Kepala Desa Morome untuk diajak mediasi namun tak hadir karena berhalangan. Setelah terus menunggu tindak lanjut laporannya, akhirnya tanggal 16 November 2019 ia kembali dimediasi. Saat itu Kapolsek Konda Iptu Andi Muzakir Musni memperlihatkan surat keterangan rawat jalan terduga B dari rumah sakit jiwa.

BACA JUGA :  Disabilitas Netra dan Pemilu: Antara Keinginan dan Keraguan Memilih

Irkon terpaksa menyetujui pelaku dibawa ke Sengkang, Sulawesi Selatan (Sulsel) berdasarkan permintaan keluarga dengan alasan untuk berobat. Pasalnya, pihak keluarga tak punya biaya untuk merawat pelaku di rumah sakit jiwa. Polisi juga menyetujui rencana ini dengan dalih agar pelaku tak mengulangi tindak pidananya.

ayah korban Irkon Wahyudi saat menunjukan bukti pengaduanya termaksud surat keterangan rawat jalan pelaku dari rumah sakit jiwa yang diperolehnya saat mediasi kasus anaknya terjadi dirumah kepala desa.

“Waktu itu saya sudah tidak bisa berpikir, mana kapolsek sudah tegaskan kalau pelaku tidak bisa diproses, sedih sekali saya waktu itu, polisi seperti lebih mengistimewakan pelaku ketimbang kami sebagai korban,” kata Irkon ditemui di rumahnya baru-baru ini.

Merasa tak puas, pria yang sehari-hari bekerja sebagai petani ini memberanikan diri mendatangi Kantor DP3A Kota Kendari dan rumah sakit jiwa untuk berkosultasi sebelum akhirnya melapor dan didampingi petugas dari DP3A Konsel. Sehari setelah melapor pelaku sudah diungsikan ke Sulsel. Ia pun bercerita kalau anaknya itu sebelum dicabuli lebih dulu diancam dengan menggunakan senapan oleh pelaku. Dia berharap bisa mendapatkan keadilan untuk putrinya.

“Kalau memang dia gila, saya ingin diproses sesuai peraturan, toh kalau tidak gila jelas saya minta keadilan,” harapnya.

Polisi Bantah Lamban Tangani Kasus

Kapolsek Konda AKP Syarifudin mengatakan telah meminta penjelasan pada anggotanya terkait masalah ini. Sebab, dirinya belum bertugas saat kasus itu pertama bergulir. Meski begitu Syarifudin mengakui pihaknya telah menerima laporan kasus ini sejak tanggal 8 November 2019 lalu yang dilaporkan langsung oleh ayah korban. Polisi juga mengakui adanya pertemuan mediasi sebelum pelaku dibawa ke Sengkang untuk menjalani pengobatan tradisional.

“Kalau kata anggota saya, memang pelaku saat didatangi di rumahnya ngomongnya tidak singkron, lain ditanya lain juga dijawab,” kata Syarifudin.

Syarifudin membantah pihaknya sengaja memperlambat kasus ini. Iapun memastikan jika berkas kasusnya masih ada dan telah dilengkapi. Ia lantas berjanji meski tak secara tegas, kalau pihaknya siap menjemput pelaku untuk memeriksa kejiwaan pelaku.

BACA JUGA :  Hakim Perempuan di PN Andoolo Ungkap Keresahan, dari Minim Fasilitas hingga Rentan Intervensi

“Kita siap, tapi kosekuensinya keluarga korban harus siap jika seandainya pelaku ini benar dinyatakan gila dan kembali tinggal di rumahnya, yang kita takut potensi kejahatan itu bisa kembali terulang, sebab orang cacat mental tak dapat dipidana,” tegasnya.

Polisi Dianggap Keliru

Zonasultra.com coba mempertanyakan tentang mekanisme penanganan hukum kasus ini kepada para pengamat maupun praktisi hukum yang ada di Sultra. Hasilnya polisi dianggap keliru dalam menangani kasus pencabulan anak di bawah umur tersebut. Praktisi hukum Andre Darmawan menerangkan, terduga B wajib diadili sebab perbuatanya merupakan kejahatan terlebih korbannya melibatkan anak dibawah umur. Meski begitu Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Kongres Advokat Indonesia (KAI) Sultra ini menerangkan bahwa penyidik punya kewenangan untuk menahan pelaku maupun tidak.

“Jika memenuhi rumusan tindak pidana pelaku harus dilimpahkan ke pengadilan apapun keadaanya, pengadilan yang akan memutuskan apakah pelaku dapat dipidana atau dimasukkan ke dalam rumah sakit jiwa,” kata Andre saat dihubungi Minggu (16/2/2020).

Ditanyai seputar Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3), Andri lalu menyebut pasal 109 ayat (2) KUHAP mengenai alasan penghentian penyidikan. Pasal tersebut menyebut tiga alasan, pertama tidak terperolehnya bukti yang cukup, peristiwanya bukan merupakan tindak pidana, dan penghentian demi kepentingan hukum.

Baca Juga : Pria Asal Kendari Ini Diduga Cabuli Dua Anak Kandunganya

“Alasan yang ketiga itu maksudnya kalau pelakunya meninggal dunia, kasusnya sudah pernah diadili, atau perkaranya telah kedaluarsa. Jadi tidak ada alasan penghentian penyidikan oleh seseorang karena dia gila, polisi harus profesional menangani jangan terkesan seolah memilih-milih perkara,” jelasnya.

Pengamat hukum lainya Fatahilla juga senada dengan Andre. Pengacara Tie Saranani ini menerangkan, kejiwaan pelaku mesti diuji di pengadilan meski telah memiliki surat keterangan sakit jiwa. “Kan bisa saja surat keterangan itu dipalsukan pelaku jika tidak diuji di pengadilan,” ucapnya. (SF/*)

 


Kontributor: Erik Ari Prabowo
Editor: Jumriati

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini