Problematika Perlindungan Hukum Penyidik KPK

360
Muh Sutri Mansyah - Problematika Perlindungan Hukum Penyidik KPK
Muh Sutri Mansyah

“Le Salut du People est la suprema loi”
Hukum tertinggi adalah perlindungan masyarakat

Kasus penyiraman terhadap Penyidik KPK, Novel Baswedan yang sedang menjadi perbincangan hangat dari berbagai kalangan masyarakat dan kasus tersebut telah memasuki tahap persidangan, setelah kurang lebih 2 tahun lamanya mencari pelaku yang diduga melakukan penyerangan. Namun ada sisi lain yang menarik untuk dibahas. yakni bagaimana perlindungan hukum penyidik? Hakekat dari perlindungan hukum adalah pemenuhan hak dan jaminan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Sehingga mengawali narasi ini dari peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini.

Pertama, UU No 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas UU  No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK), didalam UU KPK terdapat kewajiban KPK memberikan perlindungan terhadap subjek hukum yaitu pelapor dan saksi (Pasal 15 huruf a), sayangnya hanya kedua subjek tersebut yang diberikan jaminan perlindungan. sedangkan perlindungan penyidik sama sekali belum diatur/ vacuum of norm, secara paradigmatik yang dibangun oleh UU KPK adalah aparat penegak hukum yang memberikan perlindungan, bukan malah sebaliknya diberikan perlindungan pegawai KPK, padahal kerja-kerja penyidik KPK tentunya sangat berbahaya. Karena pelaku tindak pidana korupsi ialah orang yang memiliki jabatan dan kekuasaan sehingga sangat dengan mudahnya melakukan intimidasi sampai tidak menghabisi nyawa seseorang.

Kedua, UU No 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU TIPIKOR), Dalam undang-undang ini subjek hukum yang diberikan perlindungan ialah pelapor, saksi, dan ahli (Pasal 41 ayat (2) huruf e) dan yang dapat memberikan perlindungan ialah Kepolisian, sayangnya tidak ditemukan dalam undang-undang ini perlindungan terhadap penyidik, namun ada celah hukum untuk seorang yang semisal menghalang-halangi dalam proses peradilan atau dikenal dengam obstruction of justice yang diatur dalam Pasal 21, Jika  berkaca pada kasus novel baswedan, semisal sejak awal pelaku yang diduga menyiram air keras tersebut, telah mengakui bahwa secara mens rea, bertujuan untuk menghalangi perkara yang sedang ditangani oleh Novel Baswedan agar tidak dilanjutkan bahkan membuat rasa takut. Maka pasal ini dapat berlaku, namun sayangnya ternyata pelaku tersebut hanya memiliki motif sakit hati pribadi dan sama sekali tidak ada kaitan dengan kasus yang ditangani oleh Novel Baswedan. Namun kemudian ketika memang benar ada kaitannya dengan kasus sedang ditangani Novel Baswedan ternyata memunculkan masalah hukum baru yakni unsur-unsur perbuatan dalam Pasal 21 yang masih kabur seperti apa yang dimaksud mencegah, merintangi, atau menggagalkan, sedangkan didalam penjelasan pasal ini hanya tertulis “cukup jelas”, namun jika mengacu pada doktrin, pendapat seorang begawan hukum pidana Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Adami Chazami dalam bukunya “hukum pidana korupsi di indonesia” (Adami, 2016);

Perbuatan mencegah ialah perbuatan dengan cara bagaimanapun yang tujuannya agar tidak terjadi sesuatu in casu  penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan di sidang pengadilan. Secara singkat mencegah adalah segala ikhtiar agar tidak terjadi sesuatu. Pada perbuatan mencegah ada syarat, yakni sesuatu itu in casu penyidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan tindak pidana korupsi terhadap sesorang belum terjadi dan agar tidak terjadi, maka dilakukanlah perbuatan mencegah.

Perbuatan merintangi memerlukan syarat bahwa sesuatu telah terjadi. Agar sesuatu itu tidak terjadi berkepanjangan sampai pada suatu akhir yang tidak menyenangkan atau sesuatu yang tidak kehendaki, maka perlu dilakukan perbuatan merintangi. Jadi, perbuatan merintangi adalah segala ihktiar atau perbuatan dengan cara apa pun yang bersifat menggangu atau megahlangi sesuatu. Dalam hal ini telah dilakukan penyidikan, atau penuntutan, atau pemeriksaan di sidang pengadilan perkara korupsi. Agar penydikan, penuntutan, ataupun pemeriksaan di sidang pengadilan menjadi terhambat, terhalang tidak lancar, terganggu, atau kesulitan mencari alat bukti, maka dilakukan perbuatan merintangi.

Sedangkan perbuatan menggagalkan adalah segala perbuatan dengan cara apa pun yang mejadi penyebab gagalnya sesatu, yang secara singkat dapat disebut menjadikan gagal. Ini berupa perbuatan yang antara kehendak yang dicapai bersesuaian dengan akibab gagalnya sesuatu in casu penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara korupsi.

Padahal jika melihat pengaturan obstruction of justice di negara-negara anglo saxon seperti amerika, yang telah menjelaskan secara lengkap perbuatan apasaja yang dikategorikan sebagai perbuatan mengahalangi proses peradilan dan pasal ini hanya menitikberatkan pada penindakan (setelah terjadinya suatu perbuatan barulah dijerat), sedangkan pencegahan belum diatur seperti jaminan keamanan.

Sudikno Mertokusumo dalam bukunya yang berjudul Penemuan Hukum Sebuah Pengantar Edisi Revisi, “tidak ada peraturan perundang-undangan yang lengkap selengkap-lengkapnya dan sejelas-jelasnya. peraturan perundang-undangan dimaksud untuk mengatur kegiatan kehidupan manusia. Kegiatan manusia itu sedemikian luasnya, sehingga tidak terhitung lagi jenis dan jumlahnya” (Sudikno 2018), Dengan demikian, tidak mungkin satu peraturan perundang-undangan mengatur atau mencakup seluruh kegiatan kehidupan manusia. wajarlah kalau tidak ada peraturan perundang-undangan yang lengkap selengkap-lengkapnya atau sejelas-jelasnya.

Solusi hukum, perlindungan terhadap penyidik saat ini urgen untuk segera diatur dan bisa dilihat dari dua aspek yakni aspek aspek sosiologis dan aspek yuridis. Adapun aspek sosiologis, adanya kasus novel baswedan yang mengakibatkan kebutaan salah satu matanya dan saat itu sedang mengusut beberapa kasus korupsi kelas kakap, sedangkan aspek yuridis, telah ada jaminan dalam Pasal 28G UUD NRI 1945 yang pada intinya “berhak atas perlindungan diri pribadi, berhak atas rasa aman, perlindungan dari ancaman ketakutan, hak bebas dari penyiksaan”, selain itu ditambah dengan konvensi hak asasi manusia dan UU No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

 


Oleh: Muh Sutri Mansyah
Penulis adalah Pemerhati Masalah Korupsi dan Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini