Quo Vadis KPU?

196
Abdi Mahatma
Abdi Mahatma

​Pemilu 2019 usai. Keriuhan elektoral yang sempat melahirkan polarisasi dukungan publik akibat perbedaan pilihan kandidat, perlahan sudah mengkristal kembali. Di tahun 2020 ini, hajatan demokrasi lima tahunan bakal kembali digelar lewat ajang pencarian kepala daerah alias Pilkada. Setidaknya ada 270 daerah, tepatnya 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota akan mencari pemimpin level lokal.

​Setelah 2020, pencarian kepala daerah berikutnya akan dilakukan lagi pada tahun 2024, secara serentak nasional dan bakal diikuti 514 kabupaten/kota plus 34 provinsi se Indonesia. Berdasarkan ketentuan UU Nomor 10 Tahun 2016, di pasal 201 ayat 8 disebutkan pemungutan suara serentak nasional, baik itu gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, walikota/wakil walikota akan digelar di bulan November 2024. Bagi kepala daerah yang jabatannya belum berakhir di tahun 2024, maka otomatis berakhir. Sedangkan yang kepala daerah yang jabatannya berakhir tahun 2022 dan 2023, maka akan diisi Pj Gubernur, Pj Bupati dan Pj Walikota.

​Dengan demikian, tahun 2024 nantinya akan menjadi tahun penuh hiruk pikuk politik. Sebelum Pilkada digelar, masyarakat Indonesia juga akan menggelar Pemilu Legislatif dan Pilpres, yang berdasarkan UU 7 Tahun 2017 akan digelar April 2024 nanti. Keserentakan yang bibit kekhawatiran publik mulai muncul mengingat bagaimana penata kelolaan tiga jenis pemilihan berbeda itu. Dan tentu saja, bagaimana Komisi Pemilihan Umum (KPU) bekerja, sebagai even organizer pesta besar itu, ikut dipertanyakan.

​Bagi para penggiat demokrasi, agenda Pemilu dan Pilkada yang dilaksanakan di tahun yang sama dinilai sebagai sebuah desain sistem kepemiluan yang tidak efektif. Komisi Pemilihan Umum (KPU)-termasuk Bawaslu-, ikut terseret dalam pusaran ini karena keberadaanya dinilai tidak efisien. Dilantik untuk bekerja 5 tahun, tapi hanya menggelar satu kegiatan Pemilu, yang tahapannya paling lama berlangsung hanya dua tahun.

​Mengutip artikel aliena.id, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini bahkan secara ekstrim mengusulkan agar KPU dan Bawaslu di tingkat kabupaten atau kota perlu dibubarkan. Bagi Titi, langkah yang harus dipersiapkan untuk menghadapi pesta demokrasi 2024 yakni merumuskan jadwal pemilu, dan merekrut para penyelenggara.

​Pernyataan Titi Anggraini tersebut, dalam hemat penulis tidaklah harus ditafsirkan bahwa KPU memang layak bubar hanya karena masa kerja lima tahun demi mengerjakan sekali pesta demokrasi. Sikap itu lebih pada “gugatan” terhadap desain pemilihan secara holistik. Apalagi, terbentuknya lembaga KPU adalah amanat konstitusi. Dalam UUD 1945, Pasal 22E ayat 5 menyebutkan bahwa pemilihan umum diselenggarakan oleh komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri.

​Hal tersebut dikuatkan dengan lahirnya UU 7 Tahun 2017, yang merupakan kodifikasi dari tiga regulasi sebelumnya, yakni UU Nomor 42 tahun 2008, tentang Pemilihan Presiden/Wakil Presiden, UU Nomor 15 Tahun 2011 tentang penyelenggara Pemilu, serta UU Nomor 8 Tahun 2012, tentang Pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD. Di pasal 10 ayat 8 UU 7 disebutkan, bahwa anggota KPU memang bekerja selama lima tahun. Dengan demikian keberadaan penyelenggara Pemilu dijamin dan dilindungi secara konstitusional dalam UUD 1945.

​Bagaimanapun, KPU bisa dipersepsikan sebagai anak kandung reformasi 1998. Ia lahir seiring kebutuhan akan adanya sebuah lembaga mandiri untuk mengurusi kepemiluan. Lembaga yang bebas dari ikatan parpol, pemerintah dan organisasi tertentu. Maka ia tak layak dibunuh dengan “membegal” tugas dan kewenangannya. Bahwa masih ada kekurangannya, itulah yang mesti terus dibenahi. Perbaikan proses rekrutmen, pengawasan kerja-kerja penyelenggara, serta partisipasi aktif publik mengawasi semua proses kerja KPU akan sangat membantu lembaga ini terus profesional, independen, mandiri dan jujur.

​Kasus WS dan Muruwah KPU​

​Pascapemilu 2019, KPU kini menghadapi agenda besar lainnya yakni Pilkada 2020 dan akan diikuti 270 daerah di Indonesia. Hajatan demokrasi yang juga bakal diikuti 7 daerah di Sultra, September nanti tentu akan menjadi pertaruhan integritas dan profesionalitas KPU dan jajaranya, khususnya bagi daerah yang menggelar Pilkada. Tantangannya menjadi sangat besar, karena saat ini, KPU sedang dalam sorotan publik. Resistensi akan kerja-kerja penyelenggara sangatlah tinggi.

BACA JUGA :  Pengelolaan Sumberdaya Hutan di Era UU Omnibus Law

​Massifnya pemberitaan media massa terhadap kasus hukum yang dialami WS, salah satu anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia dengan sangkaan menerima hadiah/janji terkait dengan proses pergantian antarwaktu anggota DPR RI, menjadikan KPU jadi lembaga paling disorot publik. Ingatan tentang Pemilu 2019 menyeruak kembali di ruang publik. Hasil Pilpres diungkit, dan KPU disasar.

​Suka tidak suka, citra KPU yang sejatinya sudah sangat baik pascapemilu 2019 seperti runtuh seketika. Ibarat pepatah, nila setitik rusak susu sebelanga. Mental para penyelenggara Pemilu se Indonesia, ikut berpengaruh. Kecewa, marah, malu semua membaur. Ada stigmatisasi publik-tentu tak semua-bila KPU adalah lembaga yang tak layak dipercaya. Dan sebagai penyelenggara pemilu di daerah, rasanya tentu sakit.

​Bukan pekerjaan mudah membalikan kepercayaan publik terhadap KPU. Kampanye soal integritas dan profesionalisme, belumlah cukup bila tidak diimbangi dengan hasil kerja yang memuaskan. Tantangannya kini ada di depan mata, saat momentum Pilkada 2020 yang tahapannya kini sedang berjalan.

Muruwah lembaga ini bakal tetap terjaga bila semua tahapan Pilkada 2020 ini berjalan baik, mulai dari rekrutmen badan adhoc yakni Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) dan Panitia Pemungutan Suara (PPS), pencalonan, kampanye, pemungutan suara dan pungkas dengan penetapan hasilnya. Indikatornya setidaknya bisa dilihat dari dua hal, yakni tingginya partisipasi masyarakat ke TPS, serta hasilnya yang bisa diterima publik atau berkepastian hukum.

​Sebagai penyelenggara Pemilu, pegangan KPU dalam bekerja adalah regulasi, mulai dari UU 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, UU 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, lalu ada PKPU. Secara khusus, KPU RI menyusun PKPU No 8 Tahun 2019, yang dengan lugas dan detail mengatur bagaimana seorang penyelenggara Pemilu bekerja dan berperilaku, baik itu anggota KPU, PPK, PPS, KPPS termasuk jajaran sekretariat jenderal.​​

KPU yang dikonsepsikan secara hukum dan politik untuk menyelenggarakan Pemilu dengan sistem yang berbeda dibanding Pemilu di era Orde Baru, jelas mengemban harapan besar dari kekuatan-kekuatan sipil (pro demokrasi) untuk menjadi penyelenggara yang independen, sehingga mampu menjaga proses yang transparan, adil dengan hasil yang dipercaya rakyat.

​KPU dalam konteks ilmu politik kontemporer, adalah lembaga independen yang diharapkan tampil sebagai aturan yang akan mengurangi ketidakpastian dengan cara menetapkan struktur yang stabil dan dapat diperkirakan bagi interaksi manusia, baik sebagai individu maupun sebagai kelompok. Ramlan Surbakti (2003), memberi penegasan KPU adalah institusi demokrasi yang harus menjaga dan memastikan prosedur yang terpola dan pasti (predictable procedures) dalam melaksanakan Pemilu sehingga hasilnya tidak dapat diketahui (unpredictable results).

​Mengembalikan kepercayaan publik terhadap KPU yang “ternoda” di awal tahun 2020 ini dimulai dengan melaksanakan dengan baik tahapan Pilkada. Ada beberapa tahapan yang berpotensi menimbulkan resistentsi kepercayaan publik terhadap KPU. Tanpa bermaksud menggurui rekan-rekan anggota KPU yang sedang menjalankan tahapan Pilkada, penulis mencoba memetakan beberapa titik rawan proses Pilkada, yang bisa saja mencederai muruah KPU.

​Pertama, rekrutmen badan adhoc. Pencarian PPK dan PPS digelar mulai akhir Januari hingga Maret nanti. Ditahapan ini, karena dilakukan proses seleksi terbuka, maka potensi asas kemandirian dan profesionalisme anggota KPU diuji. Bukan saja soal menjalankan regulasi dengan baik dalam seleksi, tapi menjaga jangan sampai ada pengaruh, tekanan bahkan intimidasi dari pihak lain dalam meloloskan anggota PPK/PPS.

​Sebagai ujung tombak penyelenggaran di level bawah-kecamatan dan desa/kelurahan-, PPK dan PPS yang dilahirkan tidak saja hanya memenuhi syarat administrasi tapi kompeten dalam hal kepemiluan. Mereka yang dipilih harus benar-benar yang memiliki integritas tinggi dan kecakapan soal demokrasi. Abaikan unsur kedekatan emosional dalam memilih para anggota badan adhoc. Suksesnya Pilkada, sebagian besar ditentukan oleh mereka.

BACA JUGA :  Pengelolaan Sumberdaya Hutan di Era UU Omnibus Law

​ Kedua, pencalonan. Ada dua klasifikasi pencalonan dalam Pilkada. Ada perseorangan, dan calon usungan partai. Dua mekanisme ini juga memiliki peluang merusak integritas penyelenggara. Di tahapan verifikasi dukungan calon perseorangan misalnya, bukan tidak mungkin ada upaya kandidat membangun komunikasi dengan penyelenggara agar diloloskan jadi calon, dengan memudahkan syarat dukungan lewat pengumpulan KTP warga. Ini bisa dicegah dengan benar-benar melakukan faktualisasi dukungan langsung ke lapangan, bersama Bawaslu tentu saja.

​Kemudian pada kandidat usungan parpol. Acapkali, di tahapan ini, dukungan parpol diberikan terhadap kandidat berbeda. KPU dituntut untuk benar-benar berpegang pada aturan, dengan melakukan verifikasi dukungan lalu meloloskan kandidat usungan dari parpol yang kepengurusannya terdaftar di Kementerian Hukum dan HAM. Di tahapan ini, godaan baik berupa uang maupun hal lain dari kandidat bisa saja muncul, dan itulah yang harus dihindari.

​Ketiga, pemungutan suara. Pada tahap ini, ada saja usaha kandidat dengan berbagai modus untuk meminta “bantuan” penyelenggara dan jajarannya demi memenangkan kontestasi politik. Bahkan memberi informasi mengenai hasil pemungutan suara, yang belum melalui pleno sudah merupakan pelanggaran etik.

​Peran KPU menyelenggarakan Pemilu dengan prinsip proses yang tak terprediksi dan hasil yang tidak dapat diketahui itu, merupakan syarat yang mau tidak mau harus dipenuhi. Menurut Huntington (1991) Pemilu di era transisi merupakan: pertama, tanda berakhirnya rezim non demokratik (the inaguration on democratic rezim), sekaligus sebagai pelembagaan demokrasi dan pembangunan kembali kohesi sosial yang telah retak yang disebabkan oleh terjadinya tarik menarik dukungan dan penolakan antara berbagai kelompok sosial dalam masyarakat.

Quo Vadis KPU?

​Quo Vadis berasal dari bahasa Latin yang secara sederhana berarti “Mau dibawa kemana”. Seperti halnya pernyataan Titi Anggraini yang menilai agar KPU di kabupaten dibubarkan, kemudian kasus hukum WS yang menjadi pukulan mental bagi lembaga ini, maka tidak ada opsi lain untuk menampik semua sorotan publik itu, kecuali dengan bekerja baik dan menjaga penuh integritas.

​Integritas penyelengara Pilkada 2020 menjadi sesuatu yang niscaya yang tidak bisa ditawar lagi. Integritas pemilu merupakan tuntutan akan politik nilai. Integritas menuntut adanya sikap konsistensi terhadap nilai-nilai kebaikan. Menyangkut etika, moral, termasuk langkah-langkah, suatu metode, dan prinsip-prinsip nilai yang universal (Jimly, 2013).

​Peraturan KPU Nomor 8 Tahun 2019 adalah pedoman utama sebagai penyelenggara. Prinsip nilai mulai dari, melaksanakan Pemilu berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil jelas disebut. Penyelenggara juga mesti bekerja dalam prinsip mandiri, jujur, adil, berkepastian hukum, tertib, kepentingan umum, terbuka, proporsional, professional, akuntabel, efektif, efesien, dan aksesibilitas.​

​Oleh karena itu, segala perilaku yang dapat mencederai demokrasi harus menjadi kewaspadaan sejak dini. Kawan-kawan penyelenggara Pemilu, baik yang tidak menggelar Pilkada, lebih khusus yang Pilkada, mari konsisten mengimplementasikan sumpah jabatan yang pernah diucapkan, atas nama Tuhan. Jangan pernah menggadaikan integritas, dan independensi serta tergoda hal-hal yang mencurangi moralitas penyelenggara.

​Hanya dengan cara itu, wajah kita sebagai anggota KPU bakal tetap tegak dimata publik, dan dipercaya penuh menjadi satu-satunya lembaga yang diberi amanah undang-undang menyelenggarakan pemilihan. Trush kini menjadi hal yang mahal, dan itu mesti dipertaruhkan di Pilkada 2020.

Tak semua orang bisa dipercaya menjadi penyelenggara Pemilu. Kita melalui proses seleksi ketat, yang tidak hanya layak dari sisi keilmuan, tapi juga dianggap patut dari sisi integritas. Andaipun KPU dan jajarannya mengawali tahun 2020 dengan noktah hitam kasus PAW, maka diujung penanggalan 2020, Pilkada yang sukses bakal membersihkan noda itu.

Oleh : Abdi Mahatma
Penulis Merupakan Anggota KPU Bombana, Sultra, Divisi Pendidikan Pemilih, SDM dan Parmas

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini