Razak-ADP-Zayat, Yuk Tiru Hillary

34
Andi Syahrir
Andi Syahrir

OPINI: Beberapa pekan tak menyimak politik lokal di Kendari. Sudah musim kampanye. Para kandidat sibuk kesana kemari. Masuk ke pelosok-pelosok pemukiman. Berusaha menyama-nyamakan nasibnya dengan nasib para jelata yang dijumpainya. Lalu membagi keprihatinan, dan diakhiri dengan menebar janji.

Andi Syahrir
Andi Syahrir

Kampanye hitam sekaligus negatif beserta pesan kebencian yang menyertainya masih ramai. Untuk hal itu tidak perlu lagi diherankan. Amerika Serikat saja yang jauh lebih kenyang berdemokrasi, caci maki dan hujatannya juga tak kalah hebohnya.

Meski perlu disadari bahwa kita memang cenderung bablas. Amerika Serikat itu memisahkan urusan agama dari pemerintahan (politik). Jika model demokrasi mereka adalah nyinyir-nyinyiran, wajar saja. Toh, agama tak menjadi benteng bagi mereka dalam berpolitik.

Sedangkan kita, jangankan urusan politik, bahkan batas celana saja, orang-orang bisa berdebat berjam-jam, lalu mungkin saling lempar hujatan. Harusnya kenyinyiran kita bisa lebih terkendali. Dan Amerika Serikat, begitu kompetisi politik kelar, para kontestannya pun selesai. Kembali berjabat erat dan menyatukan warna.

Bahkan politisi “antagonis” sekaliber Donald Trump sekalipun, rivalnya tidak mau berpanjang-panjang meratapi kekalahannya. Hanya berselang sehari, Hillary Clinton lalu berpidato mengakui kemenangan Trump. Dia memilih tidak mengompori publik yang turun ke jalan menyuarakan penolakan atas Trump.

Bayangkan jika realitas politik itu terjadi di Indonesia. Politisi kita di Indonesia, mayoritas berperilaku santun dan sopan. Tapi apa yang terjadi? Hampir tidak ada pilkada yang tidak bersengketa. Pilkada ulang jangan ditanya. Pilkada ulang berjilid-jilid tidak usah kita bahas.

Mumpung masih hangat kita berbincang tentang Pilpres Amerika Serikat dan (saya) mengacungi jempol atas kebesaran hati Hillary Clinton –dan juga Barack Obama, di Pilwali Kendari, kita perlu menyerap kedewasaan mereka.

Kalau mau jujur, saya sesungguhnya hanya ingin Pilwali Kendari berlangsung tanpa sengketa (hasil). Lalu berimbas pada pilkada ulang, dan kemudian dihelat dalam beberapa episode. Jika itu terjadi, saya meyakini uang negara –duit kita semua– yang habis untuk membiayai pilkada berjilid-jilid itu, jauh lebih besar ketimbang apa yang dikontribusikan oleh pemenang pilkada.

Untuk ukuran perpolitikan di Indonesia, pilkada jujur dan adil itu adalah yang dihelat cuma sekali. Jika diulang dan bahkan berkali-kali, baik yang kalah, maupun yang menang, termasuk penyelenggara beserta pengawas-pengawasnya sudah menjauh dari jujur dan adil.

Maafkan saya untuk dua paragraf terakhir.***

 

    Oleh Andi Syahrir
    Penulis Merupakan Alumni UHO & Pemerhati Sosial

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini