Sang Petahana

109
Rekha Adji Pratama
Rekha Adji Pratama

ISTILAH petahana atau incumbent hanya kita temui dalam kontes negara demokratis. Dimana mekanisme pemilihan umum diberlakukan di berbagai level pemerintahan baik eksekutif maupun legislatif, mulai dari pusat, provinsi, kabupaten/kota sampai desa. Petahana dapat kita definisikan sebagai kandidat yang sedang menjabat atau partai politik yang sedang berkuasa mencalonkan kembali dalam pemilu. Jadi, petahana dapat melekat pada diri kandidat, keluarga, dan partai pengusungnya.

Rekha Adji Pratama
Rekha Adji Pratama

Berbeda dengan situasi di Amerika, definisi petahana semakin luas dan kompleks. Karena kedudukan jabatan politik dalam pemerintahan terdiri presiden dan wakil, gubernur dan wakilnya, bupati atau walikota dan wakilnya. Sehingga ketika mereka kembali mencalonkan diri dengan partai lain atau dengan pasangan lain masih dapat dikategorikan sebagai petahana. Begitu juga apabila logika dinasti politik berlaku dalam kandidasi. Maka kandidat dari istri atau suami atau yang berhubungan keluarga dengan kandidat yang tak lagi dapat mencalonkan diri dalam kompetisi pemilu dapat pula diklasifikasikan sebagai petahana.

Tren Kekalahan

Menarik untuk dicatat, sebuah media nasional merilis hasil pilkada tahun 2015 di 264 daerah. Dari 255 petahana, sebanyak 46,27% mereka kalah. Sebelumnya, tahun 2005, dari 211 pemilukada yang digelar di daerah diikuti 124 petahana (59,05%) sebanyak 87 daerah (40,95) incumbent tersebut tumbang. Nampaknya, tren kekalahan petahana terus mengalami kenaikan dari tahun ke tahun.

Penjelasan ihwal petahana kalah sampai sekarang memang belum cukup memuaskan. Secara teoretis, petahana bisa memenangkan kompetisi lebih mudah. Banyak pula spekulasi yang berkembang misalnya persoalan pemilih pragmatis, praktik patronase dan klientalisme kandidat, kekuatan jaringan atau modalitas sosial, dan kebangkitan pemilih rasional. Hal ini masih terlalu asumtif karena kompleksitas dan variasinya konteks. Keterbatasan tersebut menjadi peluang kajian akademik.

Faktanya, ‘kandidat atau partai petahana’ mempunyai aspek suka dan duka di dalam menghadapi pemilu. Untuk menjelaskan, ada tiga hipotesis. Antara lain, pertama, jika tidak ada keadaan buruk yang massif yang berhubungan langsung dengan kandidat atau partai pengusung, mayoritas pemilih akan kembali memilih petahana. Ini adalah situasi menguntungan petahana. Prestasi petahana bukan isu penting bagi mayoritas pemilih.

Kedua, jika petahana merupakan the rulling elite yang sangat lama berkuasa, pemilih akan mendukung non-petahana sebagai upaya mencari jalan perubahan. Kalahnya petahana pada pemilukada 2015, juga kalahnya partai petahana di Karanganyar dan Sragen akibat persoalan konflik internal dan isu korupsi serta gagalnya ratusan petahana lainnya. Track record yang buruk barangkali juga menjadi ‘duka’ bagi petahana-dimana masyarakat sangat rasional dan berpegang teguh pada nilai moralitas. Kejenuhan dan involusi politik menggerakkan pemilih untuk mencari cela perubahan walaupun tak ada garansi keadaan lebih baik.

Ketiga, jika patronase dan klientalisme tidak bekerja, maka mayoritas pemilih akan kembali memilih petahana. Pengalaman kandidat seperti Suyoto di Bojonegoro, Risma di Surabaya, Hery Zudianto di Kota Yogyakarta mengalami zaman dimana praktik patronase dan klientalisme dalam berbagai wujud tak bekerja dengan baik karena integritas petahana yang melampaui mesin uang dan barang.

Jurus Lama Petahana

Temuan Subianto pada pemilukada di Kalimantan Barat tahun 2005, petahana ataupun keluarga anak & istri dari petahana berpeluang untuk memenangi kompetisi jauh lebih besar. Hal ini karena kemampuan memobilisasi dukungan dari pengusaha lokal dan juga jaringan struktur birokrasi lebih besar berada pada petahana. Kedua kekuatan ini jarang dimiliki kandidat penantang (Erb, M & Sulistiyanto, P, 2009:346).

Bagi petahana, birokrasi dan organisasi binaan pemerintah menjadi mesin politik yang efektif (Soetjipto & Adelina, 2016). Hal ini membenarkan bahwa modal sosial dan politik dalam beragam bentuknya dengan mudah dapat dikapitalisasi dalam bentuk suara dukungan. Riset jurusan IP UMY melihat pola-pola pembangunan opini baik oleh kandidat, partai, timses, melalui media mengenai bagaimana kekuatan modal sosial-budaya dapat secara efektif dipakai membangun citra dan integritas kandidat petahana.

Wajah Baru rasa Petahana

Permasalahan calon Kepala Daerah yang tengah memerintah atau sering di sebut sebagai (Petahana) merupakan bagian dari permasalahan yang banyak di soroti. Hal itu sesuai dengan yang sering terjadi bahwa Kepala Daerah yang tengah memerintah (Petahana) seringkali mempergunakan fasilitas-fasilitas publik yang ada serta mencoba mempengaruhi kalangan Pegawai Negeri Sipil (PNS) agar ikut dan turut serta dalam proses memperkuat kekuasaan politiknya.

Kepala daerah pada masa demokrasi dipilih secara langsung pada kontestasi politik pemilukada. Kepala daerah yang membutuhkan dukungan suara dan materi, mencoba merangkul berbagai kalangan untuk mendapatkan dukungan untuk memenangkan kontestasi politik. Ada kondisi dimana disatu sisi pejabat ataupun anak pejabat yang mengikuti pileg atau pemilukada membutuhkan dukungan suara dan dukungan materi untuk melancarkan jalannya menuju kemenangan meraih kursi dalam Pilkada. pada titik tertentu birokrat juga menginginkan adanya peningkatan dalam kariernya di pemerintahan.

Praktek kekuasaan yang dilanggengkan oleh orang-orang seperti itu sejatinya berdampak pada proses demokratisasi yang sedang berlangsung di daerah. Timbul fragmentasi politik, polisentrisme, dan basis-basis politik-ekonomi yang dikuasai segelintir orang. Model politik ini menyulitkan bagi suburnya partisipasi politik yang mandiri. Masyarakat lebih sering didorong, dan dimobilisasi untuk kepentingan politik tertentu.

Otonomi daerah yang seharusnya membawa keberkahan bagi pembangunan sumber daya manusia, kesejahteraan, dan kemakmuran masyarakat, berubah menjadi peluang untuk memenuhi nafsu keuasaan dan nafsu ekonomi elit lokal yang berusaha membangun sebuah dinasti politik pada keluarganya. Bahkan, anggran daerah sering diakali demi mencapai tujuan-tujaun busuk elit politik lokal.

Karena itu, benarlah kata José Maria de Eça de Queiroz, penulis realis Portugis, ia mengatakan bahwa politisi dan popok bayi (pampers) itu harus sering diganti dan keduanya dilakukan dengan alasan yang sama, karena menjijikkan! Maka, saatnya politik daerah khususnya di Kota Kendari yang sebentar lagi akan melaksanakan pemilihan walikota dapat cerdas dalam menentukan pilihannya nanti agar pemerintahan nantinya tidak di isi orang baru tapi dengan cara bekerja ala pemimpin yang lama. Kita memerlukan pemimpin muda tapi tidak asal muncul karena mengandalkan power atau jabatan yang sedang berkuasa sekarang,tetapi kita membutuhkan pemimpin berpengalaman yang sudah terbukti kinerjanya di masyarakat, fresh, dan berpikir kemajuan kota kendari dan peduli terhadap kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.

***

Oleh : Rekha Adji Pratama,
Mahasiswa S2 Departemen Politik & Pemerintahan Universitas Gadjah Mada (UGM)

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini