Secuil Kisah Humanis Gubernur dan Wakil Gubernur Sultra

1303
Andi Syahrir
Andi Syahrir

Saya ingin menceritakan secuil kisah. Tentang humanisme. Dari Gubernur Sultra Bapak Ali Mazi. Juga dari Wakil Gubernur Bapak Lukman Abunawas. Kisah yang tidak semua orang tahu. Kisah yang secara pribadi saya temukan sendiri. Yang saya gali sendiri. Kemarin dan hari ini. Saya memulainya dari peristiwa hari ini.

Usai magrib tadi, saya membuka-buka media sosial, lalu menemukan video Bapak Ali Mazi sedang bernyanyi diiringi musik organ. Ketua DPRD Bapak Abdurrahman Shaleh terlihat di video itu dan tampak berkelakar saat Pak Gub mulai bernyanyi.

Ceritanya saya mau antar begini. Bagi kita yang bukan penyanyi dan tidak setiap hari bernyanyi, pekerjaan memilih lagu “andalang” adalah persoalan serius. Ada lagu yang begitu kita suka, namun apa daya suara tak sampai. Ada juga lagu yang kita senangi dikarenakan pita suara kita lumayan cocok dengan nadanya.

Sebagai orang yang bukan penyanyi dan tidak tiap hari bernyanyi, Pak Gub memilih lagu berjudul “Ibu”. Ciptaan Iwan Fals. Yang lirik awalnya, “ribuan kilo jalan yang kau tempuh”. Hapal kan? Ini lagu kebangsaan banyak orang saat sedang merindukan ibu. Kenapa pilihan lagu “jago-Jago” Pak Gub seperti itu?

Saya menemukan satu alasan yang menjadi benang merahnya. Dituturkan oleh saudara sepupu beliau, yang pernah menjadi atasan saya di kantor. Bahwa Pak Ali Mazi adalah orang yang begitu penuh perhatian, penyayang, dan taat pada ibunya.

Saudara sepupu ini hampir sepantaran usianya dengan Pak Ali Mazi. Sehingga di masa kecil, mereka kerap bermain bersama. Saat bermain, Ali Mazi kecil kerapkali bandel khas anak lelaki. Namun, jika sang ibu sudah menegur, pasti nurut. Tidak ada bantahan lagi. Kepatuhan Pak Ali terhadap ibunya itu begitu membekas dalam ingatan saudara sepupunya.

Saat menjadi gubernur pun, perhatian Pak Ali Mazi tidak pernah berkurang buat sang ibu. Pernah suatu ketika sedang rapat dengan sejumlah staf, termasuk saudara sepupu sebagai salah satu pesertanya, tiba-tiba ada telepon bahwa “mama haji” –demikian sapaan kesayangan keluarga buat sang ibu– sedang tidak enak badan.

Pak Gub menskors rapat sejenak, mengangkat telepon, lalu berbincang dengan dokter. Mendiskusikan ini itu terkait perawatan kesehatan sang ibu. Setelah memastikan semuanya beres, barulah Pak Gub kembali melanjutkan rapat.

Pada suatu ketika, saudara sepupu tadi mengenalkan seorang kerabat dari kampung. Setelah dia melihatnya, pernyataan pertamanya adalah “Ya sudah, kamu tinggal di sini saja temani mama haji.” Di hati saudara sepupunya, pikiran Pak Gub ini hanya pada ibunya.

Saya teringat dengan mantan Gubernur Sultra Bapak Nur Alam yang juga begitu perhatian dengan ibunya. Pada buku “Di Depan Selalu Ada Cahaya” yang diterbitkan Badan Litbang Sultra, ada kisah ketika Pak Nur Alam mengawali presentasi kepemimpinannya di Sultra dengan menyanyikan lagu “Sio Mama”, lagu berbahasa daerah Ambon yang bertema ibu. Semua hadirin larut dengan lagu itu. Ratusan pasang mata berkaca-kaca.

Kedua pemimpin itu memberi pesan satu hal, bahwa bagi seorang anak, ibu adalah medan bakti yang sesungguhnya. Jika ingin Tuhan menjawab doa-doamu, berbaktilah pada ibumu. Dua Gubernur Sultra ini adalah pemimpin yang benar-benar mencurahkan segalanya untuk mengabdi pada ibunya.

***

Sore kemarin, saya ada urusan keluarga di Wawotobi, Kabupaten Konawe. Di kecamatan itu, rumpun keluarga besar saya bermukim. Dari keluarga dekat hingga jauh. Perantau dari Pulau Selayar, Sulawesi Selatan. Telah menetap berpuluh-puluh tahun.

Karena masih suasana lebaran, saya tidak bisa menolak ketika ditodong harus berkunjung dari satu rumah ke rumah keluarga lainnya. Cerita mengalir deras dari satu topik ke topik lainnya. Hingga sampai pada sosok Wakil Gubernur Sultra Bapak Lukman Abunawas.

“Pak Lukman itu sudah seperti saudara kita. Sudah kita anggap orang Selayar juga. Beliau orang yang begitu low profile dan sombere’,” kata seorang paman yang kami tuakan di Wawotobi. Sombere’ dalam bahasa Selayar dapat diartikan ramah, supel, mudah bergaul.

Paman itu bercerita, ketika awal-awal perantau Selayar tiba di Wawotobi, Bupati Kendari kala itu Bapak Abunawas –ayah Pak Lukman– memberikan akses tanah untuk mereka olah. Kemurahan hati Pak Abunawas itu dikisahkan turun temurun ke anak-anak mereka. Agar jangan pernah melupakan jasa beliau.

Kemurahan hati dan kebijaksanaan almarhum Bapak Abunawas menurun pada putranya, Bapak Lukman Abunawas. Yang juga begitu telaten merawat rasa persaudaraannya dengan warga Selayar perantauan di Wawotobi.

“Kita sulit menemukan sosok pemimpin seperti Pak Lukman. Acara apapun, asalkan kita sampaikan ke beliau, pasti datang,” tutur paman tadi.

Ketika turut melayat saat Ibu Yati Lukman wafat tahun lalu, saya juga memperoleh kisah tentang bagaimana cara Pak Lukman sekeluarga memperlakukan tetangganya. Saya sudah menuliskannya kala itu. Saya ingin menulisnya sekali lagi.

“Orang di belakang itu, bukan sekadar tetangga kita. Mereka adalah bagian dari keluarga kita,” demikian Pak Lukman dan Bu Yati merefleksikan cara pandang bertetangganya. Orang di belakang yang beliau maksud adalah tetangga di belakang rumahnya.

Saya menyerap seluruh kepingan cerita itu dengan seksama. Menyimpannya baik-baik di benakku. Ingin menuliskannya segera. Sebagai sumber inspirasi bagi kita semua. Bahwa rasa persaudaraan, mampu menyatukan identitas apapun yang menjadi pembeda. Pak Lukman, wakil gubernur kita, adalah buku tebal tempat kita belajar merawat keberagaman.***

 

Penulis merupakan Kepala Bidang Informasi dan Komunikasi Publik, Dinas Komunikasi dan Informatika Provinsi Sulawesi Tenggara

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini