Sektor Informal Butuh Perhatian

85
Zulfikar Halim Lumintang, SST.
Zulfikar Halim Lumintang, SST.

Dalam urusan memperoleh penghasilan, terkadang orang tidak memperdulikan mereka masuk dalam kategori sektor formal atau informal. Mungkin bagi sebagian orang, sekilas memang terlihat tidak penting pengkategorian tersebut. Namun bagi dunia usaha dan penelitian mengenai ketenagakerjaan, hal tersebut sangat penting untuk dikaji.

Organisasi Internasional meyakini bahwa pekerja informal merupakan salah satu permasalahan dalam ketenagakerjaan. Hingga tercantum dalam Pemantauan Pencapaian Tujuan Agenda 2020 Sustainable Development Goals (SDGs) berupa Proporsi pekerjaan informal di sektor non pertanian, berdasarkan jenis kelamin.

Perlu diketahui, bahwa Indonesia melalui Badan Pusat Statistik (BPS) juga melakukan kajian terhadap pekerja sektor informal. BPS membuat tujuh kategori yang bisa dimasukkan ke dalam pekerjaan sektor formal dan informal. Dimana dua kategori masuk ke dalam kategori formal, yaitu seseorang yang berusaha dengan dibantu buruh tetap dan seseorang yang bekerja sebagai buruh/karyawan/pegawai. Sedangkan lima kategori lainnya, yaitu berusaha sendiri, berusaha dengan dibantu buruh tidak tetap, pekerja bebas pertanian, pekerja bebas non pertanian, dan pekerja keluarga masuk ke dalam pekerjaan informal.

Bagaimana kondisi pekerja informal di Indonesia saat ini? BPS mencatat pada Februari 2019, mayoritas penduduk Indonesia bekerja di sektor informal. Besarnya mencapai 57,27% dari penduduk yang bekerja, angka tersebut sama dengan 74,09 juta orang. Bila dibandingkan dengan Februari 2018, jelas angka tersebut mengalami penurunan, dimana 58,22% dari penduduk yang bekerja tercatat bekerja di sektor informal.

BACA JUGA :  Pengelolaan Sumberdaya Hutan di Era UU Omnibus Law

Selain itu, jika dibandingkan dengan pekerjaan formal, pekerjaan informal lebih banyak menyerap tenaga kerja perempuan dibandingkan dengan pekerjaan formal. Tercatat pada Februari 2019 pekerja informal yang berjenis kelamin perempuan sebesar 43,91%, angka tersebut naik 0,22 poin dari Februari 2018 yang mencapai 43,69% dari seluruh pekerja informal. Sedangkan porsi wanita dalam pekerjaan formal per Februari 2019 hanya mencapai 35,30% dari total pekerja formal. Uniknya, angka tersebut lebih rendah 0,10 poin jika dibandingkan Februari 2018 yang mencapai 35,40%.

Para pekerja informal selalu diidentikkan dengan pekerjaan yang dekat dengan pedesaan. Dan hal itu pun terbukti dari dominasi para pekerja informal di pedesaan yang mencapai 57,68% per Februari 2019. Sedangkan jumlah pekerja informal di perkotaan hanya mencapai 42,32%. Di desa, para pekerja informal umumnya bekerja sebagai pekerja bebas pertanian. Dimana mereka biasanya memiliki majikan yang tidak tetap, misalnya menjadi buruh tanam, buruh pemetik cengkeh, buruh pemetik daun teh, buruh cangkul dan sebagainya. Ada juga yang bekerja sebagai pekerja bebas non pertanian, dimana mereka bekerja sebagai buruh bangunan yang berganti-ganti majikannya.

Bagaimana distribusi pekerja informal di Indonesia menurut provinsi? Distribusinya jelas sangat bervariasi. Provinsi Sulawesi Tenggara menjadi provinsi dengan urutan ke-8 terbesar yang memiliki pekerja informal di Indonesia per Februari 2019. Dimana jumlah pekerja informalnya mencapai 64,07% dari total pekerja. Dan hanya sedikit pekerja yang bekerja di pekerjaan informal yakni mencapai 35,93%. Seperti yang kita ketahui, bahwa pekerja informal lebih identik dengan pekerjaan di pedesaan, maka porsi pekerja informal di DKI Jakarta pun menjadi paling kecil di Indonesia per Februari 2019. Yakni hanya mencapai 34,57% saja.

BACA JUGA :  Pengelolaan Sumberdaya Hutan di Era UU Omnibus Law

Indonesia sebagai negara yang didominasi para pekerja informal harusnya berfokus untuk lebih memikirkan kebijakan yang melindungi kesejahteraan para pekerja informal. Ya, mungkin benar hanya sebagian kecil, sekitar 5,01% saja dari angkatan kerja kita yang menganggur. Namun mayoritas dari mereka bekerja di pekerjaan informal notabenenya pekerjaan tidak tetap, sehingga peluang mereka untuk masuk ke jurang pengangguran lebih besar.

Kebijakan bisa dimulai dari bantuan modal usaha bagi mereka yang berusaha sendiri maupun berusaha dibantu buruh tidak tetap. Kemudian perlindungan berupa penetapan upah minimum bagi para pekerja bebas juga perlu dipertimbangkan demi kesejahteraannya. Perlindungan pada hak-hak perempuan yang bekerja pada pekerjaan informal juga perlu diperhatikan, mengingat porsinya yang sangat besar dan secara kodratnya memang perempuan tidak harus bekerja.

 

Oleh : Zulfikar Halim Lumintang, SST.
Penulis merupakan Statistisi Ahli Pertama BPS Kabupaten Kolaka

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini