Sensasi Jelajah Liangkobori, ‘Lorong Waktu’ 5 Ribu Tahun ke Zaman Prasejarah

1260
Sensasi Jelajah Liangkobori, 'Lorong Waktu' 5 Ribu Tahun ke Zaman Prasejarah
GUA LIANGKOBORI - Gua Liangkobori yang terletak di desa Liangkobori Kecamatan Lohia, kabupaten Muna yang kini telah mendunia. (Nasruddin/ZONASULTRA.COM)

ZONASULTRA.COM, RAHAWisata sejarah bisa menjadi pilihan menarik untuk mengisi liburan awal tahun 2019. Bagi pencinta sejarah Gua Liangkobori bisa menjadi referensi untuk dikunjungi.

Terletak di Desa Liangkobori Kecamatan Lohia Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara (Sultra) terdapat gua yang menjadi bukti sejarah peradaban masyarakat Muna pada zaman pra sejarah.

Penasaran dengan gambar purbakala dan pakaian kulit binatang serta alat berburu yang terbuat dari batu. Atau suka berpetualang ke masa lampau seperti di film ‘Back to The Future Trilogy’ dalam seri ketiganya, dengan mesin waktu berupa mobil deLorean DMC-12 keluaran 1981. Maka pilihan tepat ke gua Liangkobori yang menyajikan kehidupan manusia purba yang diperkirakan hidup lima ribu tahun silam.

Gua ini merupakan salah satu situs alam yang memiliki ornamen berupa lukisan hasil karya manusia purba dengan 130 gambar purba terpampang disepanjang dinding gua.

Laode Asmada penjaga situs Liangkobori menceritakan salah satu sejarah peninggalan nenek moyang masyarakat Muna yang masih bertahan hingga saat ini, diperkirakan telah berusia lima ribu tahun.

Asmada mengisahkan cerita turun temurun tentang Gua Liangkobori bermula pada zaman prasejarah yang identik dengan batu itu, pertama kali diteliti oleh sejarawan asal Jepang bernama Kosasih S.A pada tahun 1977.

(Baca Juga : Pesona Air Jatuh Kalima-lima, Wisata Alam di Desa Moolo Muna)

Awalnya, Liangkobori disebut Liabalano yang berarti gua besar. Namun seiring berkembangnya waktu dan mulai diketahui dihuni oleh manusia purba nenek moyang dari masyarakat Muna, maka disebut Gua Kabori atau gua lukisan dan goresan.

Sesuai data yang dicetuskan dalam peta Badan Arkeolog (Balar) nasional gua Kobori memiliki sekitar 40 mulut gua. Salah satunya gua Liangkobori, Matanduno, Lakulumbu, Wabose, Watoko, Kominsa, Kolofine, Lakatiangi, Marewu, Kumbou, Melobuno, Wapinda, Lakuba. Gua ini saling berhubungan satu sama lain.

Ketika memasuki bibir gua, seperti membentang mulut ular raksasa dengan tinggi bervariasi antara 2 hingga 5 meter dan lebar sekira 30 meter.

Sejumlah ornamen berupa lukisan stalaktit dan stalakmit membentuk tiang batu menghiasi ruang tamu gua seakan menyajikan petualangan lorong waktu ke zaman purba.

BACA JUGA :  Seorang Wanita di Kendari Jadi Korban Salah Tembak Polisi

130 jenis lukisan menggambarkan cerita hidup masyarakat Muna zaman purba mulai dari cara bercocok tanam, berternak, berburu, berdapatasi dengan lingkungan, dan berperang untuk mempertahankan diri dari serangan musuh.

(Baca Juga : 7 Lokasi Wisata di Sultra Paling Populer Sepanjang 2017)

Lukisan dalam gua didominasi gambar hasil buruan seperti pembantu berburu, anjing dan kuda. Lalu hasil buruan rusa, babi hutan dan sapi liar. Bahkan gambar orang menaiki seekor gajah, gambar matahari serta gambar pohon kelapa.

Kata Asmada, bahan baku dari lukisan bersumber dari tanah liat dicampur darah binatang, lemak dan getah pohon. Campuran itu, membuat lukisan di batu itu tetap awet hingga sekarang.

Namun ada satu gambar yang kini mulai terkenal seantero dunia yakni gambar layang layang yang didedikasikan dalam bentuk karya budaya. “Layang layangnya terbuat dari daun Kolope atau daun umbi hutan. Layang layang dari Muna bahkan telah menjuarai berbagai festival internasional dan kini dinobatkan sebagai layang layang unik didunia,” ulas Asmada pada awak zonasultra.id, Senin (31/12/2018).

Ada tiga gua yang memiliki gambar layang layang, ukurannya bervariatif mulai dari 10 cm hingga 1 meter. Bahkan ada gambar kerangka layang-layang dengan menggunakan cap tangan yang memiliki diameter sekitar 21 cm.

*Sumber air*

Selain sebagai situs sejarah Gua Kabori dan Metanduno ini juga memiliki sumber air namun dia tidak mengalir atau pun muncul dari bawah tanah namun menetas melalui langit dinding gua dan membentuk telaga. Inilah sumber air yang digunakan masyarakat sejak dahulu hingga sekarang dan masih tetap lestari.

Namun jika kita ingin menikmati jernihnya air harus memasuki beberapa rongga gua. Tempat mengambil air sampai 80 meter. Untuk memasuki sumber air harus melalui sejumlah rongga. Dirongga awal agak luas, lalu masuk lagi sekitar lima meter ada lagi rongga sempit dan mengharuskan kita jongkok.

“Setelah melalui rongga sempit itu, kita akan dimanjakan dengan jernihnya air telaga yang memiliki diameter cukup luas,” ceritanya.

Ketika memasuki hujan dan musim barat setelah musim kemarau berakhir, masyarakat setempat akan berkumpul di gua untuk menggelar upacara. “Kalau habis hujan pasti ada doa bersama yang dilakukan oleh masyarakat disekitar gua,” kisah Asmada.

BACA JUGA :  Seorang Wanita di Kendari Jadi Korban Salah Tembak Polisi
*Dikunjungi sejumlah peneliti dunia*

Sejak tahun 1977 hingga saat ini sudah ribuan peneliti yang telah berkunjung di Liangkobori. Italia, Belanda, Jerman, Jepang, Amerika, Korea Utara dan Korea Selatan. Bahkan peneliti dari Jerman yang sempat meneliti soal lukisan layang layang diperkirakan berusia 5 ribu tahun lalu.

Sementara peneliti Indonesia, dari Badan Arkeologi Nasional, Cagar Budaya Sulawesi Selatan (Sulsel) dan beberapa peneliti lainnya sudah menjejakkan kakinya ditanah Kobori.

*Liangkobori Butuh Wajah Baru*

Saat ini Laingkobori mengalami perubahan wajah. Sejak tahun 2017 pihak Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) telah menggelontorkan anggaran sekitar Rp 300 juta untuk pembenahan lokasi sekitar gua seperti pembangunan rumah adat dan sejumlah gazebo.

Dinas Pariwisata Muna membangun jalan setapak dan tambahan lima buah gazebo dan anggaran dari Balai cagar budaya Sulsel berupa pintu gerbang pos jaga dan gazebo.

“Saat ini paling prioritas yang dibutuhkan akses jalan dan sejumlah saran dan prasarana yang belum memadai,” ceritanya.

Ada juga beberapa situs yang belum terjangkau namun saling berhubungan seperti dari gua Kobori ke Motanduno aksesnya belum memadai.

*Cerita mitos yang Berkembang*

Gua selalu identik dengan horor, begitupun Liangkobori. Menurut cerita yang berkembang dari warga setempat yang kembali diulas oleh Asmada. Berawal sejak tahun 2000 an salah seorang pengunjung pernah tersesat saat hendak menjelajahi beberapa makam tua yang ada disekitar kawasan gua. Beberapa makam nenek moyang itu seperti Sugimanuru, Sugilaende, Sugipatola dan Sugiambona.

Namun dia memastikan saat ini gua Liangkobori aman untuk dijelajahi oleh pelancong karena permukiman penduduk di sekitar kawasan gua mulai ada. “Alhamdulillah kalau ular saat ini sudah aman, namun soal mitos itu masih simpang siur. Asal jangan salah bicara saat sedang berada dikawasan gua. Namun untuk lebih aman didampingi oleh penjaga,” kisahnya.

 


Reporter : Nasruddin
Editor : Tahir Ose

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini