Sero, Alat Tangkap Ikan Ramah Lingkungan Suku Bajo

2214
Sero, Alat Tangkap Ikan Ramah Lingkungan Suku Bajo
Sero Cakalang – Tenaga kerja tetap bersama nelayan yang datang membantu saat mengangkat ikan ke dalam perahu. Nelayan yang membantu ini hanya mendapat upah 2-5 ekor cakalang. (FOTO: BAJOBANGKIT for ZONASULTRA.COM)
Sero, Alat Tangkap Ikan Ramah Lingkungan Suku Bajo
Sero Cakalang – Ikan Cakalang yang telah masuk di dalam sero akan digiring ke dalam tempat penampungan (pamangkungan). Ikan yang sudah masuk ke dalam penampungan itu masih dalam kondisi hidup. Jika beruntung, sekali masuk ikan bisa mencapai ribuan ekor. (Foto: BAJOBANGKIT for ZONASULTRA.COM)

 

ZONASULTRA.COM, KENDARI– Sea gipsy atau suku laut, begitulah julukan yang dilekatkan pada  orang-orang Bajo.

Lautan  adalah tempat untuk hidup sekaligus sumber penghidupan. Namun, tak jarang mereka sering disalahkan karena dianggap telah merusak lingkungan  dan melakukan penangkapan ikan dengan menggunakan bom, khususnya bagi warga Bajo yang bekerja sebagai nelayan. Padahal suku ini memiliki begitu banyak kearifan local termasuk bagaimana cara menangkap ikan dengan lestari menggunakan alat tangkap ramah lingkungan.

Sero Cakalang begitulah nama alat tangkapnya. Alat tangkap jenis ini banyak digunakan oleh nelayan Bajo yang bermukim di wilayah pesisir Kecamatan Soropia, Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara.

Pada Minggu (10/1/2016) Zonasultra.com berkesempatan bertemu dengan Sarifuddin, salah satu nelayan sero di Desa Mekar, Kecamatan Soropia, Kabupaten Konawe. Laki-laki paruh baya ini bercerita banyak tentang sero.

Sero, Alat Tangkap Ikan Ramah Lingkungan Suku Bajo
Sero Caklang – Beginilah rupa sero, alat tangkap nelayan Suku Bajo. Sero dipasang di tengah laut dengan kedalaman 5-6 meter. Menggunakan tiang-tiang penyangganya setinggi 7-8 meter. Tiang-tiang kayu yang dipasang tersebut dilengkapi dengan jaring sepanjang lingkaran sero. (FOTO: BAJOBANGKIT for ZONASULTRA.COM)

Sero dipasang di tengah laut dengan kedalaman 5-6 meter. Alat tangkap ini berbentuk lingkaran dengan diameter sekitar 10 meter, menggunakan sayap yang memanjang ke depan. Tiang-tiang penyangganya menggunakan kayu setinggi 7-8 meter. Jumlahnya pun bervariasi antara 100-150 batang untuk setiap pembuatan satu sero. Tiang-tiang kayu yang dipasang tersebut dilengkapi dengan jaring sepanjang lingkaran sero.

Menurut Sarifuddin, jika ingin mendapatkan hasil tangkapan yang banyak tempat untuk memasang sero tidak boleh sembarangan. Sero harus dipasang di tempat yang menjadi jalur migrasi ikan ataupun tempat ikan mencari makanan. Untuk  mengetahui jalur migrasi ikan para pemilik sero menggunakan pengetahuan dan pengalaman yang telah lama dilakukan oleh orang tua mereka seperti melihat pasang surut air laut, arus dan juga penanggalan dalam kalender Islam.

“Sebagian besar tempat memasang sero sekarang ini merupakan tempat warisan dari orang tua. Mereka menemukannya sejak lama dan dipasangkanlah sero, kemudian tempat tersebut diwariskan secara turun temurun, termasuk sero saya ini. Saya hanya melanjutkan saja punya orang tua yang sudah meninggal,” kata Sarifuddin.

Bapak dua anak ini melanjutkan, dalam kepemilikan sero ada yang dikenal dengan dapu patannangan sebagai pemilik dari sero tersebut. Jika pemilik sero ini memiliki lebih dari satu anak nelayan, dan dia tidak mampu lagi untuk mengelolanya, maka pengurusan sero diserahkan kepada anak-anaknya, apakah dengan dikelola secara bersama-sama atau dengan sistem bergilir dalam jangka satu musim (satu tahun). Namun jika ia tidak mempunyai anak maka akan dikelola oleh keluarganya atau orang lain dengan pembagian hasil yang telah ditentukan.

Sero, Alat Tangkap Ikan Ramah Lingkungan Suku Bajo
Sero Cakalang – Pemilik sero saat mengangkat ikan cakalang ke dalam perahu dengan menggunakan jarring. Ikan-ikan ini langsung dibawa ke Kendari untuk dijual kepada para penampung besar. (FOTO: BAJOBANGKIT for ZONASULTRA.COM)

Sarifuddin menuturkan, ikan Cakalang yang telah masuk di dalam sero akan digiring ke dalam tempat penampungan (pamangkungan). Ikan yang sudah masuk ke dalam penampungan itu masih dalam kondisi hidup. Apabila mencapai ribuan ekor, maka ikan akan tetap dibiarkan dalam penampungan hingga dua sampai tiga hari, tergantung dari kesanggupan pemilik sero untuk mengangkat ikan-ikan tersebut ke atas perahu.

“Kalau ikan yang masuk berton-ton, kadang kita butuh waktu dua sampai tiga hari untuk mengangkat semuanya. Dalam satu bulan hasil tangkapan satu sero bisa mencapai 1- 3 ton. Selain Cakalang, Ikan Tengiri dan Pari juga sering masuk di dalam sero,” ujar Sarifuddin.

Namun, tidak semua pemilik sero juga mujur alias mendapat tangkapan yang banyak. Nelayan harus bersabar agar ikan bisa masuk kedalam sero. Aminuddin misalnya, dia membutuhkan waktu hingga berbulan-bulan sampai cakalang masuk ke dalam seronya.

“Bersero itu juga harus sabar. Tidak semuanya langsung berisi. Kadang berisinya dua bulan sekali. Itu pun kalau ikan yang masuk juga banyak, tapi kalau sedikit hasil yang kita dapat juga pasti tidak banyak,” ungkap Aminuddin.

Sistem Kerja dan Pembagian Hasil

Menurut Aminuddin, dalam mengelola sero pemilik sero tidak mengerjakannya sendiri. Dia dibantu oleh beberapa tenaga kerja yang disebut sabi. Hasil tangkapan kemudian dikumpul dalam kurun waktu tertentu (biasanya selama 1 bulan), setelah itu barulah pembagian hasil kerja atau turo.

Pemilik  sero mendapat bagian  yang lebih besar atau setengah dari hasil tangkapan sedangkan setengahnya lagi  akan dibagi rata oleh para sabi.

Sero, Alat Tangkap Ikan Ramah Lingkungan Suku Bajo
Sero Cakalang – Tenaga kerja tetap bersama nelayan yang datang membantu saat mengangkat ikan ke dalam perahu. Nelayan yang membantu ini hanya mendapat upah 2-5 ekor cakalang. (FOTO: BAJOBANGKIT for ZONASULTRA.COM)

Dia menambahkan, pemilik sero mendapatkan pembagian hasil yang besar karena semua operasional sero menjadi tanggung jawabnya mulai dari pembelian tiang (kayu) sero, jaring dan perlengkapan lainnya. Sabi hanyalah membantu menjaga dan menangkap hasil ikan yang masuk ke dalam sero serta memperbaiki sero jika mengalami kerusakan.

“Satu kali pembagian itu, hasilnya bisa di atas Rp 1 juta per orang kalau ikan yang masuk juga banyak. Tapi kalau sedikit, baginya juga pasti sedikit, paling banyak Rp 500.000 per orang,” ucapnya.

Dalam satu unit sero biasanya menggunakan tenaga kerja 4-7 orang yang selalu menjaga sero atau biasa disebut tenaga kerja tetap. Ada pula tenaga kerja yang tidak terikat dan tidak mendapatkan pembagian hasil kerja. Mereka disebut sabi loka, nelayan yang hanya datang membantu jika banyak ikan yang masuk ke dalam sero.

“Yang mereka dapat juga hanya pemberian sukarela dari pekerja tetap, mereka mengambil dua sampai lima ekor cakalang. Cakalang ini ada yang mereka jadikan lauk dan sisanya mereka jual ke penampung dengan harga yang bervariasi mulai dari Rp 30.000 per ekor sampai Rp 80.000 per ekor untuk ukuran yang besar,” ungkapnya.

 

Penulis  :  Jumriati

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini