Sesat Tafsir Zona Merah Kuning Hijau

211
Andi Syahrir
Andi Syahrir

Sebuah media online melansir berita tentang adanya penambahan penyebaran Covid-19 melalui klaster sekolah. Sumber datanya dari laporcovid19, sebuah platform data covid yang dilaporkan masyarakat.

Setidaknya, ada enam klaster sekolah di Indonesia menurut laporan itu. Klaster Tulungagung (Jawa Timur), Kalimantan Barat, Klaster Tegal (Jawa Tengah), Cilegon (Banten), Sumedang (Jawa Barat), Pati (Jawa Tengah).

Klaster sekolah ini muncul setelah kebijakan kementerian pendidikan dan kebudayaan mengizinkan persekolahan dapat dilaksanakan pada zona hijau dan kuning.

Di Kendari, pemerintah kota masih belum mengizinkan persekolahan dimulai kendatipun pada kawasan zona hijau dan kuning, menyusul peningkatan jumlah konfirmasi positif secara signifikan dalam dua pekan terakhir.

Namun, dalam prakteknya, sekolah punya “kebijakan” sendiri-sendiri. Ada kawan saya yang khawatir, karena anaknya yang sekolah di sebuah SMP, diminta datang ke sekolah pada hari tertentu. Katanya, untuk para ketua kelas, wajib datang hari itu.

Saya tidak bertanya detail lagi, berapa hari dalam sepekan para ketua kelas ini diwajibkan datang ke sekolah. Ataukah hanya hari itu saja mereka diminta datang.

Tapi, mewajibkan anak didik datang ke sekolahnya, adalah kesesatan yang tidak perlu. Tidakkah cukup instruksinya disampaikan via daring saja? Kecuali kalau para ketua kelas ini mau disuruh menyapu…hehehe.

Lain lagi di sekolah anak saya. Kemarin, beberapa anak kelas satu diantar orangtua mereka ke sekolah. Entah anaknya yang kebelet mau sekolah, atau orangtuanya yang tidak tahan menyaksikan anaknya berseragam, atau gurunya sedang berusaha membunuh rasa bosannya. Tapi lagi-lagi, ini bentuk-bentuk kecerobohan.

BACA JUGA :  Pengelolaan Sumberdaya Hutan di Era UU Omnibus Law

Terlepas dari kreatifitas kita semua menyiasati persekolahan dan kehidupan sosial secara umum, ada satu hal tentang praktek zonasi merah kuning hijau Covid-19 yang tafsirannya sesat dan menyesatkan. Bahwa zonasi ini kemudian menjadi dasar untuk melonggarkan aktifitas kumpul-kumpul warga.

Misalnya, ketentuan dibolehkannya shalat id berjamaah di masjid dan lapangan pada zona hijau dan kuning. Dan yang teranyar, kebijakan ijin proses belajar mengajar (PBM) pada dua zona “aman” tadi.

Mari kita dudukkan satu hal. Bahwa corona disebarkan oleh virus yang dibawa manusia. Corona bukanlah malaria atau demam berdarah, yang inangnya dibawa oleh nyamuk.
Kita tahu nyamuk, seberapa jauh range pergerakannya. Sehingga ketentuan zonasi untuk demam berdarah atau malaria adalah hal yang tepat.

Jangan kesana dulu karena disana banyak nyamuk. Shalat id atau sekolahnya di sini saja karena nyamuk tidak mungkin terbang ke sini. Kira-kira begitu logikanya.

Lha, corona ini dibawa manusia. Berapa jauh Wuhan dengan Kecamatan Kendari Barat. Wabahnya sampai juga.

Informasi tentang zonasi hanyalah pemberitahuan bahwa yang terkonfirmasi positif berdomisili di wilayah itu. Zonasi tidak mampu menjelaskan mobilitas warga yang positif. Kemana saja dia selama ini. Dengan siapa dia berinteraksi. Pertanyaan-pertanyaan itu tidak dapat dijawab oleh zonasi.

Dalam hal kebijakan ijin shalat id pada wilayah hijau dan kuning, justru memicu pergerakan warga dari zona merah menuju wilayah hijau dan kuning. Demikian pula dengan ijin persekolahan. Memang bangunan sekolah itu berada di zona hijau dan kuning. Tapi warganya, boleh jadi berasal dari zona merah.

BACA JUGA :  Pengelolaan Sumberdaya Hutan di Era UU Omnibus Law

Zonasi itu perihal administratif-geografik. Statis sifatnya. Sedangkan ijin shalat id berjamaah dan bersekolah itu perihal mobilitas warga –dan virus itu sendiri. Sifatnya dinamis.

Ringkasnya, menggunakan informasi domisilinya orang terkonfirmasi positif sebagai acuan untuk ijin kumpul-kumpul warga adalah keliru. Itu sebelas dua belas dengan ucapan orang Indonesia tidak akan kena Corona karena rajin makan nasi kucing.

Lalu, apakah zonasi salah? Tidak. Itu langkah yang tepat sebagai acuan melakukan tracing penyebaran. Tapi kelirunya hakiki jika menjadi acuan diizinkannya anak-anak bersekolah atau kegiatan yang melibatkan orang banyak berkumpul, yang datang entah dari zona mana saja.

Jadi, sebaiknya kegiatan persekolahan ini jangan dibuka dulu mau zona hijau atau kuning, selama masih ada zona merah di dekat kita. Kita belajar dululah via daring kendati melelahkan dan tidak asyik.

Mudah-mudahan tidak lama lagi wabah ini berakhir. Cina, kawan karib kita itu, sudah ajak kita uji klinis tahap tiga. Rusia, saudara ideologis Cina, sudah duluan umumkan penggunaan vaksin secara massal.

Kita, Indonesia, kumpul-kumpul uang dulu buat beli vaksin nanti. Bersekolah? Yah, kita pake-pake saja dulu yang ada.***

 

Oleh : Andi Syahrir
Penulis Merupakan Alumni UNHAS – UHO

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini