Srikandi WON dalam Realita Politik Paslon Independen dan Jalan Menuju Kegagalan

353
Srikandi WON dalam Realita Politik Paslon Independen dan Jalan Menuju Kegagalan
Ilustrasi (Foto : zonadamai.com)

ZONASULTRA.COM, KENDARI – Pasangan calon (Paslon) independen yang kini sebutannya Paslon perseorangan merupakan salah satu sarana bagi setiap insan di Bumi Indonesia untuk menjadi kepala daerah. Penyebutannya sering diumpamakan sebuah pintu rumah dengan segala aksesorisnya.

Srikandi WON dalam Realita Politik Paslon Independen dan Jalan Menuju Kegagalan
Ilustrasi (Foto : zonadamai.com)

Jika paslon perseorangan bingkai pintunya adalah dukungan masyarakat dengan bukti dukungan KTP, maka pintu lainnya adalah koalisi partai politik. Masing-masing pintu ini memiliki fungsi yang sama yakni sebagai jalan untuk menduduki kursi paling mewah di istana pemerintahan kota, kabupaten, dan provinsi.

Di Sulawesi Tenggara (Sultra), belum ada catatan sejarah paslon perseorangan bisa keluar sebagai pemenang. Rute paslon independen masihlah jalan menuju kegagalan meskipun “banyak jalan menuju Roma”. Ledekan khas Sulawesi yang tepat untuk jalan ini adalah siapa saja yang menggunakan jalur independen siap-siap saja “menang-“, menanggung kalah.

Sejak dimulainya pilkada serentak 7 daerah 2015 lalu, hanya beberapa figur berhasil menyandang status paslon perseorangan. Sebagian lagi gugur di tengah jalan sebelum ditetapkan oleh KPU sebagai pasangan calon karena tak mampu memenuhi syarat dukungan. Misalnya Prof. Dr. La Iru – La Ode Sahirudin Kaeba di Pilkada Muna 2015.

Jajaran paslon yang berhasil meraih status paslon perseorangan pada Pilkada 2015 yakni Rusmin Abdul Gani-Muhlis di Konawe Selatan, Ridwan Landipo-Kurdin Wahab di Konawe Kepulauan, dan La Ode Abdul Ganium – Ahmad Damsir di Buton Utara. Semua paslon itu sama-sama di urutan paling buncit.

Pada Pilkada 2017 paslon yang melirik jalur perseorangan mulai menyusut. Dari 7 daerah Pilkada hanya satu pasang yang menyandang status paslon perseorangan yaitu Agus Salim-Laode Agus. Namun sayang, raihan suaranya tidak jauh beda dengan para pendahulunya dengan raihan 3 persen suara saja.

BACA JUGA :  Disabilitas Netra dan Pemilu: Antara Keinginan dan Keraguan Memilih

Jauh ke belakang, paslon independen dapat dicermati di wilayah Kepulauan Buton. Saat Pemilukada Buton 2012 ada Yasin Welson Lajaha-Abdurrahman Abdullah. Di Pemilukada Baubau 2013 paslon independen ada dua pasang yaitu Fahimuddin-Arifuddin dan Saeru Eba-La Ode Hadia. Semua senasib, sama-sama berada diurutan buntut.

Di tataran Pemilihan Gubernur (Pilgub) Sultra yang sudah dua kali digelar, jalur perseorangan belum ada peminat. Sejak pemilihan gubernur secara langsung dimulai 2007, lalu 2012, semua senang dan nyaman maju dengan dukungan partai politik yang memang memiliki mesin penggerak sendiri.

Pada Pilkada 2018 mendatang, wacana bergulir bahwa yang akan menggunakan jalur independen baru di tataran Pilgub yaitu Wa Ode Nurhayati (WON). Sementara Pilkada di tataran bawah Konawe, Kolaka, dan Baubau belum mencuat calon kepala daerah perseorangan.

Jalan Wa Ode Nurhayati

Sejak awal reformasi dan dua kali pemilihan gubernur di Sultra (2007 dan 2012) belum ada srikandi yang sampai ke tahta gubernur provinsi ini. Jangankan itu, bahkan untuk sampai ditetapkan jadi calon gubernur/calon wakil gubernur pun belum ada.

Srikandi-srikandi di Bumi Anoa kebanyakan hanya bisa sampai pada wakil bupati dan wakil walikota, yang dikenal dengan sebutan khas “02”. Misalnya Wakil Walikota Baubau Wa Ode Maasra Manarfa, Wakil Bupati Kolaka Timur (Koltim) Andi Merya Nur, dan Wakil Bupati Wakatobi Ilmiati Daud.

Srikandi lainnya hanya sampai berstatus “calon wakil” dan berujung kekalahan, seperti Farida di Pilkada Koltim 2015, Suri Syahriah Mahmud di Pilwali Kendari 2017, dan Wa Ode Hasniwati di Pilkada Buton Selatan 2017. Para srikandi yang menang maupun kalah itu lebih tertarik diusung partai, tak ada yang melirik jalur independen.

BACA JUGA :  Hakim Perempuan di PN Andoolo Ungkap Keresahan, dari Minim Fasilitas hingga Rentan Intervensi

Dengan realitas politik sejarah yang demikian, langkah putri Wakatobi yang dikenal dengan akronim WON itu adalah berani dan nekat. Ia memilih maju pilgub dengan sengkarut komplikasi masa lalu yang komplit yaitu status mantan Anggota DPR RI (yang stop di tengah jalan) dan mantan terpidana kasus korupsi jeratan KPK yang telah menjalani kurungan 5 tahun 6 bulan penjara.

Untuk memuluskan jalannya, ia melirik pasangan yang tak biasa, bukan dari kalangan politisi ataupun birokrat. Adalah Andre Darmawan, Ketua Himpunan Advokat Muda Indonesia (HAMI) Kendari. Andre sosok muda, beberapa waktu lalu dituding kegiatan paralegal oleh lembaga yang dipimpinnya itu sarat korupsi (sudah dibantah oleh Andre).

Keduanya masih muda, sama-sama berusia baru 36 tahun (lebih tua Andre dua bulan). Di dunia hukum, keduanya saling memadukan, satu pernah bermasalah dengan hukum dan satunya lagi ahli hukum. WON merupakan figur kepulauan (gugusan kepulauan Buton-Muna) dan Andre dikenalkan sebagai figur daratan (sebutan untuk daratan Sulawesi).

Secara kekaderan, WON lebih dulu terjun menjadi politisi muda nan ulung sebagai kader PAN. Pada pertarungan Pilcaleg 2009, ia sukses meraih singgasana Senayan dengan usia masih sangat muda, 28 tahun. Sementara Andre masih perlu diuji dan ujian pertamanya adalah Pilgub 2018 ini. Jika gagal masuk pintu, Andre akan disebut “layu sebelum berkembang” sedangkan WON yang aslinya adalah politisi masih ada harapan di Pilcaleg 2019. (A*/bersambung)

 

Penulis: Muhamad Taslim Dalma
Editor: Jumriati

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini