Tebuku Malang, Gulaku Sayang

177
Zulfikar Halim Lumintang, SST
Zulfikar Halim Lumintang, SST

Tebu merupakan salah satu komoditas perkebunan yang dimiliki Indonesia. Namun,
tanaman dengan nama latin Saccharum Officinarum ini, keberadaannya mulai terancam di
Indonesia. Dibuktikan dengan semakin menipisnya lahan perkebunan tebu di Indonesia,
setidaknya selama periode tahun 2014-2017.

Pada tahun 2014 Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat luas areal perkebunan tebu seluas
472.676 Ha. Kemudian mengalami penurunan 3,57% hingga menyentuh angka 455.819 Ha. Selang setahun kemudian, areal perkebunan tebu di Indonesia kembali berkurang hinggan mencapai 447.350 Ha. Atau berkurang 1,86% dari tahun 2015. Dan yang terakhir pada tahun 2017 luas areal perkebunan tebu berkurang 27.204 Ha atau berkurang 6,08% dari tahun sebelumnya. Hingga menjadikan periode 2016-2017 merupakan periode terbesar berkurangnya lahan tebu di Indonesia.

Perkebunan tebu di Indonesia didominasi oleh Perkebunan Rakyat dimana pada tahun 2017
luasnya mencapai 227.847 Ha atau sekitar 54,23% dari keseluruhan total area perkebunan
di Indonesia. Diikuti oleh Perkebunan Besar Swasta 29,45% dan Perkebunan Besar Negara
yang hanya mencapai 68.549 Ha atau 16,32%. Dengan proporsi seperti itu, artinya lahan
milik pemerintah hanya sebagian kecil saja.

Pemerintah seharusnya menguasai lebih banyak lahan sehingga produksi tebu bisa lebih
ditingkatkan lagi untuk memenuhi kebutuhan nasional. Ketika swasta lebih banyak
menguasai lahan, tentu profit yang berbicara banyak. Tatkala ekspor lebih menguntungkan, swasta akan memilih untuk mengekspor hasil produksinya dibandingkan memenuhi kebutuhan dalam negeri.

Prioritas nasional harusnya berfokus pada pemenuhan kebutuhan dalam negeri dengan
memaksimalkan potensi yang ada. Sehingga potensi impor bisa ditekan. Nyatanya,
kebutuhan dalam negeri akan gula pasir yang notabenenya merupakan hasil produksi dari
tebu sangat tinggi, hingga impor pun menjadi pilihan. Tercatat pada tahun 2017 impor gula
pasir Indonesia mencapai 4.472.179 ton atau senilai 2.071.969.000 US$.

Jawa Timur sebagai provinsi produsen utama tebu di Indonesia juga bisa menjadi solusi
alternatif. BPS mencatat, pada tahun 2017 luas areal perkebunan tebu di Jawa Timur
mencapai 201.980 Ha dengan produksi gula pasir mencapai 1.146.705 ton atau sekitar
52,34% produksi gula pasir nasional. Dengan potensi seperti itu, pemerintah pusat
khususnya Direktorat Jenderal Perkebunan semestinya bisa melihat peluang tersebut.
Diantaranya, membantu akses permodalan Perkebunan Rakyat di Jawa Timur. Mengingat
luas areal Perkebunan Rakyat di Jawa Timur pada tahun 2017 mencapai 1.017.192 atau
88,70% total luas perkebunan Jawa Timur, dengan produksi gula pasir 87,98% produksi
gula pasir Jawa Timur.

Lebih jauh, meninjau kembali rantai distribusi gula pasir juga penting. Guna mengetahui
pelaku usaha yang berperan dalam distribusi dan juga mengetahui kenaikan harga dari
produsen hingga konsumen akhir.

Pada umumnya pelaku usaha yang terlibat dalam rantai distribusi gula pasir di Indonesia
ada empat, diantaranya produsen, distributor, pedagang besar, dan pedagang eceran.
Dengan empat rantai distribusi tersebut menghasilkan Margin Perdagangan dan
Pengangkutan (MPP) sebesar 32,67. Yang artinya kenaikan harga gula pasir dari produsen
hingga konsumen akhir mencapai 32,67%. Angka tersebut cukup tinggi, mengingat ada
provinsi yang melibatkan importir dalam distribusi gula pasir di Indonesia yaitu Kepulauan
Riau, sehingga memiliki MPP sebesar 55,99.

 

Oleh : Zulfikar Halim Lumintang, SST
Penulis merupakan Statistisi Ahli Pertama BPS Kolaka

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini