Temuan DPRD Sultra, PT Babarina Diduga Menambang Dalam Kawasan HPT

956
Temuan DPRD Sultra, PT Babarina Diduga Menambang Dalam Kawasan HPT
INVESTIGASI - Anggota Panitia Khusus (Pansus) Penertiban Pertambangan DPRD Sulawesi Tenggara (Sultra) La Ode Mutanafas dan Abu Bakar Lagu melakukan investigasi ke lokasi IUP PT Babarina Putra Sulung (BPS) di Desa Muara Lapao-pao, Kabupaten Kolaka, Kamis (15/11/2018). Saat melakukan investigasi dewan menemukan beberapa pelanggaran yang dilakukan PT BPS. (RAMADHAN HAFID/ZONASULTRA.COM)

ZONASULTRA.COM, KENDARI – Satu persatu pelanggaran yang dilakukan PT Babarina Putra Sulung (BPS) terkuak. Selain diduga kuat melakukan penyalagunaan izin usaha pertambangan (IUP) dengan melakukan penambangan ore nikel, perusahaan yang memiliki IUP batuan itu pun disinyalir melakukan penambangan di dalam areal hutan produksi terbatas (HPT).

Hal tersebut terungkap saat anggota Panitia Khusus (Pansus) Penertiban Pertambangan DPRD Sulawesi Tenggara (Sultra) La Ode Mutanafas dan Abu Bakar Lagu melakukan investigasi ke lokasi IUP PT BPS di Desa Muara Lapao-pao, Kabupaten Kolaka, Kamis (15/11/2018).

Anggota Pansus Penertiban Pertambangan DPRD Sultra La Ode Mutanafas mengungkapkan, pembuktian atas dugaan-dugaan yang dilakukan PT BPS telah ditemukan.

“Setelah kami melakukan kunjungan, ada temuan yang kami dapat bahwa PT BPS ini melakukan penambangan di luar izin mereka. Dimana mereka mengantongi IUP batuan, tapi melakukan penambangan ore nikel, kata Mutanafas saat di wawancarai usai melakukan investigasi di PT BPS, Kamis (15/11/2018) malam.

Selain melakukan penambangan dalam kawasan HPT, kata Mutanafas, PT BPS juga belum memiliki izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) dan itu diakui langsung oleh Kepala Teknik Tambang (KTT) perusahaan tersebut.

“Saya bertanya langsung ke KTT-nya bahwa apakah informasi yang disampaikan oleh Dinas Kehutanan Sultra bahwa PT BPS melakukan kegiatan di dalam lokasi hutan produksi, KTT-nya mengakui ya memang itu dilakukan tapi tidak sengaja. Luasnya melakukan kegiatan penambangan seluas satu hektar dan itu justru jadi aneh menurut kami,” ungkap Wakil Ketua DPW PAN Sultra ini.

Hasil dari investigasi lain, Mutanafas juga menemukan beberapa pelanggaran seperti belum adanya terminal khusus (Tersus) termasuk rekomendasi gubernur. Padahal rencana kerja dan anggaran biaya (RKAB) PT BPS sudah disetujui yakni sebesar 45.000 ton dengan luasan dua hektar.

“Pertanyaannya mereka melakukan produksi dan RKAB-nya sudah disetujui, lalu Tersusnya belum punya izin. Kemudian hasil produksinya mau bawa ke mana. Makanya saya sampaikan jangan dulu ada hal-hal yang dilakukan terkait dengan kegiatan tambangnya, sepanjang izin itu belum diselesaikan,” pinta anggota Komisi III DPRD Sultra ini.

Kemudian selain mempermasalahkan pelanggaran PT BPS, Mutanafas juga menyoroti surat teguran dari Dinas ESDM Sultra kepada perusahan yang beroperasi di Desa Muara Lapoa-pao itu. Ia menilai surat Dinas ESDM berupa pemberhentian sementara PT BPS sifatnya normatif, tidak mempertegas apa saja yang dilanggar oleh perusahaan tersebut.

Olehnya itu, atas temuan tersebut Mutanafas mengaku pihaknya dalam waktu dekat akan memanggil PT BPS untuk dilakukan rapat dengar pendapat (RDP) bersama DPRD dengan menghadirkan dinas terkait.

“Kami akan melakukan RDP terhadap masalah yang kami temukan langsung di lapangan, supaya ketika ini menjadi sebuah rekomendasi dari DPRD, rekomendasi yang objektif sesuai informasi temuan dan fakta sesuai hasil kajian instansi teknis,” pungkasnya.

Apabila setelah dikonfrontir dan terbukti sesuai hasil kajian, kata Mutanafas, maka sesuai undang-undang itu bisa dipidana karena melakukan kegiatan produksi di dalam areal HPT tanpa ada IPPKH.

Adapun sanksi terhadap kegiatan pertambangan di dalam kawasan hutan tanpa dilengkapi IPPKH ada dua, yakni Sanksi Pidana dan sanksi administratif yang mana sanksi pidananya pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) sebagaimana diatur di dalam Pasal 78 ayat (6) UU Kehutanan.

Sedangkan untuk sanksi administrasinya, sesuai dengan Pasal 119 UU Minerba, Izin Usaha Pertambangan (IUP) atau Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) dapat dicabut oleh menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya karena alasan pemegang IUP atau IUPK tidak memenuhi kewajiban yang ditetapkan dalam IUP atau IUPK serta peraturan perundang-undangan. (A)

 


Kontributor : Ramadhan Hafid
Editor : Kiki

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini