Warga Kendari yang Membanggakan dan Apa Selanjutnya

485
Andi Syahrir
Andi Syahrir

Dalam dua hari terakhir, saya benar-benar bangga pada warga kota ini. Kendatipun kita banyak yang nyinyir, tukang protes, sedikit-sedikit kritik (termasuk barangkali saya di dalamnya…hehehe), tapi satu hal bahwa kita patuh pada pemimpin kita. Taat pada perintah walikota kita. Tidak keluar rumah. Kita telah membuktikannya dua hari.

Kita mengikuti instruksi walikota untuk tidak keluar rumah. Tidak peduli bahwa ada perwakilan pemerintah pusat yang meminta agar kita tak perlu taat. Namun, jauh di dasar hati dan rasio, kita lebih bersepakat dengan walikota ketimbang mereka yang di pusat sana. Betul. Kita lebih mengenal kota ini ketimbang mereka. Kita yang lebih paham kegentingan situasinya ketimbang mereka.

Perintah tinggal di rumah selama tiga hari dengan embel-embel “diamankan tentara-polisi jika nekad keluar”, cukup efektif menahan kita untuk tidak keluar. Tapi benarkah ketaatan kita oleh karena “ancaman” itu?

Pada kenyataannya, hanya beberapa jam setelah instruksi Walikota Kendari masuk ke ruang publik, serta merta ada klarifikasi bahwa diksi “diamankan” itu bukan dalam pengertian dikerasi. Polisi, kata pak kapolres, hanya bantu menghimbau. Sehingga, jika dua hari ini jalanan sepi karena warga takut diamankan polisi, itu tidak relevan.

Memang, jika kita melihat dari sisi kurang-kurangnya, tidak pernah ada kebijakan yang bakal benar-benar utuh bernilai positif untuk semua. Bahwa instruksi ini kurang sosialisasi, iya. Bahwa dampaknya –dengan berjubelnya orang di pasar– kurang diperhitungkan, juga iya.

Tapi keadaan memaksa kita untuk tidak terlalu panjang menganalisa. Terlalu banyak dialektika hukum dan wacana intelektual lainnya. Wabah Covid-19 ini belum ada presedennya. Makhluk ini terus memuru kita. Kita semua melakukan antisipasi, pencegahan, dan pengendalian, dengan modal dan model kita masing-masing.

Jadi, kalau ada yang tak sempat diperhitungkan, ini menjadi bahan pelajaran ke depannya. Menjadi input kita pada kebijakan berikutnya. Tidak lantas menjadi ajang bully dan caci maki pada walikota.

Hal penting yang dapat ditarik dari peristiwa ini adalah pemerintah kota kita peduli. Rela disemprot oleh pemerintah pusat demi menyelamatkan warganya. Dan syukurnya, kita mengapresiasi langkah pemerintah kota, dengan taat.

Kita sudah punya modal besar. Kompak. Kompak sesama warga. Kompak dengan walikota. Kekompakan ini yang akan kita bawa ke level selanjutnya.

Bagaimana itu? Begini ceritanya…

Puasa sudah dekat. Kalau tidak salah tanggal 24 April. Belasan hari lagi. Bagaimana kalau kita ulangi tinggal di rumah tiga hari itu dengan menaikkannya menjadi 15 hari? Bonus satu hari dari anjuran.

Alasan pertama, kita berpuasa. Kita tidak terlalu banyak makan dan minum. Makanya, setiap tahun saya senewen melihat realitas, justru di bulan puasa konsumsi kita meningkat. Lalu, dimana esensi berpuasa itu untuk turut merasakan keprihatinan?

Nah, mumpung Corona melanda –kok mumpung sih– kita bisa lebih konsen di dalam rumah. Makan seadanya. Ala kadarnya. Benar-benar hidup prihatin. Benar-benar beribadah. Benar-benar berpuasa.

Kita keluar rumah karena benar-benar ada keperluan mendesak. Tidak perlu wara-wiri cari jajanan buka puasa. Atau buka puasa bersama –yang sudah pasti dilarang.

Bagi yang punya kemampuan ekonomi lebih, disinilah ladangnya untuk beramal. Bukbernya tidak usah undang-undang orang. Identifikasilah tetangga samping depan belakang rumah. Sajian bukbernya dialihkan ke tetangga yang kurang mampu. Supaya mereka juga punya alasan untuk tinggal di rumah.

Kedua, masjid dikuatkan peran sosialnya. Masjid menjadi simpul koordinasi database pertetanggaan. Pengurus masjid bekerjasama dengan RT setempat melakukan pemilahan warga kaya-miskin. Dana masjid dialokasikan sesuai kemampuan.

Saya sepakat dengan ide Pak Wapres Ma’ruf Amien bahwa zakat disegerakan pembayarannya. Zakat harta yang sudah mencapai nisab tidak perlu menunggu dibayarkan bersamaan dengan zakat fitrah (kebiasaan orang kebanyakan begitu). Pun, zakat fitrah tidak perlu menunggu hingga detik-detik terakhir. Kita segerakan membayarnya.

Kedermawanan orang kaya yang terkonsolidasi di tingkat RT, keuangan masjid, serta pembayaran zakat lingkungan pertetanggaan tadi, menjadi modal kita untuk “lockdown” selama 15 hari.

Tidak usahlah terlalu berharap dan meributkan uang pemerintah. Kalau memang negeri ini sanggup membiayai kita, sejak dululah tarif PLN tidak perlu naik, BPJS tak perlu bayar, BBM responsif kalau minyak dunia turun (ini malah gercep kalau minyak dunia naik, giliran turun pura-pura tidak tahu).

Ini tidak rumit karena kita urus RT kita masing-masing. Kita perhatikan tetangga kita masing-masing. Kita bantu makanan mereka. Itu saja dulu. Tidak usah pikirkan baju lebarannya. Karena kemungkinan kita lebaran di rumah masing-masing. Jadi tidak butuh baju lebaran.

Tahan dulu beli sofa baru, karena tidak ada tamu yang akan datang mendudukinya. Tidak usah bikin kue banyak-banyak karena tidak ada yang datang massiara. Alihkan dulu untuk yang lebih perlu. Terutama untuk membiayai kekompakan pertetanggaan kita. Penguji kesetiakawanan sosial kita, yang saban tahun kita upacarakan itu.

Nah, apa yang dilakukan Pak Wali bersama jajarannya? Yah, mendorong agar semangat pertetanggaan yang dikomandoi pergerakannya oleh pengurus masjid-Pak RT, dapat terwujud.

Buat instruksi ke masjid dan RT untuk segera mengkonsolidasikan dan memetakan warga miskin-kaya. Mintakan komitmen orang kaya agar memastikan tetangga miskinnya terjamin makannya dalam waktu 15 hari. Tarik uang masjid sesuai kemampuannya untuk ikut memperkuat. Percepat pembayaran zakat untuk didistribusikan sesegera mungkin.

Lalu, pastikan tetangga yang miskin untuk tidak usah keluar rumah dulu selama 15 hari sebab kebutuhan perutnya dijamin. Fokus ke RT masing-masing supaya pengurusannya tidak berat.

Non-Muslim yang kaya juga wajib berpartisipasi. Non-Muslim yang miskin juga menjadi bagian yang dipastikan makannya selama 15 hari. Kita kompak. Kita seia sekata di bulan puasa ini.

Jika kita sudah melakukan semua itu atas nama kemanusiaan. Demi berlanjutnya hidup dan kehidupan manusia. Pun kita kemudian mati oleh Corona atau hal lainnya, itu hanya soal sebab. Kita serahkan semuanya pada Yang Maha Kuasa. Sang Maha Adil. Sang Maha Tahu isi hati setiap hamba-Nya.***

 

Oleh : Andi Syahrir
Penulis Merupakan Alumni UHO & Pemerhati Sosial

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini