Dikelilingi Tambang Nikel, Desa Morombo Jadi Kampung Termiskin di Konut

2322
Desa Morombo Jadi Kampung Termiskin di Konut
Desa Morombo Jadi Kampung Termiskin di Konut
Desa Morombo Jadi Kampung Termiskin di Konut
Kampung Termiskin : Nampak beberapa rumah di Desa Morombo yang menjadi kampung termiskin di  Kabupaten Konut (Foto : Jefri Ibnu/ZONASULTRA.COM)

 

ZONASULTRA.COM, WANGGDUDU – Kabupaten Konawe Utara (Konut), Sulawesi Tenggara (Sultra) yang bersimbolkan gunung Oheo dan Telaga Anawai Ngguluri sangat terkenal hingga ke luar negeri sebagai penghasil tambang nikel terbesar di wilayah Sultra.

Mendengar hal tersebut terlintas di pikiran kita bahwa masyarakat Konut pasti sejahtera dengan kehadiran sejumlah perusahaan tambang. Seperti PT Unaaha Bakti, Konawe Nikel Nusantara (KNN), Bososi Pratama Nikel, Bumi Karya Utama (BKU), Dwi Multi Guna Sejahtera (DMS), Tristako, Singa Raja, PT Kimko, PT Seicho, PT Duta, PT Masempo Dalle, Cv Eka Sari Indah, PT Titisan Berkah, PT CDS, PT MPM, PT Konawe Bumi Nunsantara (KB), dan PT Surya Tenggara.

Namun hal itu hanya isapan jempol belaka. Justru dengan adanya investor tambang, bukannya memberikan kesejahteraan bagi masyarakat Konut. Sebaliknya, menjadi petaka bagi masyarakat Konut .

Gunung-Gunung hijau dipangkas habis oleh para investor tambang yang datang mengambil keutungan. Debu bertebaran dari kendaraan yang mengangkut tanah (ore) untuk diekspor ke luar negeri.

Tak hanya itu, kebisingan mesin perusahaan membuat masyarakat tak bisa beristrahat selepas bekerja di kebun. Pemandangan ini terjadi di Desa Morombo, Kecamatan Lasolo Kepulauan, Konut. Desa yang berada di sekitar pesisir pantai berbatasan dengan Kecamatan Wiwirano dan Langkikima ini dikeliling puluhan investor tambang nikel juga.

Desa Morombo Jadi Kampung Termiskin di Konut
Keadaan jalan di Desa Morombo

Namun, mirisnya ketika jurnalis zonasultra.id menginjakkan kaki di desa yang berajak 13 kilometer dari Desa Mekar Indah dan Tobi Meita Kecamatan Langkikima. Sebanyak 290 jiwa yang berada di desa itu belum sejahtera, padahal wilayah itu dikelilingi puluhan perusahaan tambang.

Kepala Desa Morombo, Badillah mengatakan, sejak desa yang dipimpinnya mekar pada 2009 lalu dari Desa Tapunggya Kecamatan Molawe, para penambang sudah mulai mengeruk tanah mereka.

Namun, hingga kini belum ada kontribusi yang diberikan oleh perusahaan tambang tersebut. Jalan di desa itu hanya dari tanah timbunan. Diperparah lagi oleh kendaraan para penambang yang hilir mudik mengangkut ore.

” kalau musim hujan mi desa kami ini dilanda banjir karena gunung yang biasa menyerap air sudah gundul, parahnya lagi biasa longsor. Juga jalan yang berlumpur dan berlubang,” tutur Badilah.

Tak hanya itu, mayoritas warga Desa Morombo bekerja sebagai nelayaan telah dibohongi oleh perusahaan tambang tersebut. Hal itu diungkapkan Jawin, salah satu warga setempat. Bapak delapan anak ini yang berprofesi sebagai nelayan menuturkan bahwa hingga saat ini dana kompensasi warga dengan jumlah keseluruhan Rp 190 juta tak kunjung dibayarkan oleh PT Unaaha Bakti. Padahal perusahaan ini terus mengirim ore ke daerah lain.

“Mereka hanya janji terus. Sudah lima kali mengirim ore (tanah tambang) kompensasi masyarakat belum dibayarkan juga,” ungkapnya.

Pantauan awak media ini, sebanyak 93 rumah warga di Desa itu sangat kumuh dan, hanya terbuat dari papan beratapkan rumbia. Sangat tidak layak huni. Padahal Desa ini dikelilingi perusahaan tambang. Ada warga yang dipekerjakan perusahaan, namun hanya posisi sebagai tukang masak saja. Mereka diupah Rp 100 ribu, namun tidak termasuk uang makan, transportasi dan biaya kesehatan.

Sementara banyak warga di Desa Marombo yang memilih keluar untuk mencari pekerjaan lain demi membiayai keperluan hidupnya. Pasalnya, sudah tidak ada yang bisa menghasilkan uang, karena semua tanaman dibabat habis oleh perusahaan. Sementara biaya hidup semakin tinggi.

Badillah terpilih menjadi kepala desa Marombo pada 2015 lalu mengaku, dirinya bersama masyarakat telah beberapa kali mengajukan proposal di perusahaan tambang untuk mendapatkan bantuan. Akan tetapi hal itu tak kunjung terealisasi.

“Sejak desa ini berdiri kami juga belum dialiri listrik. Kami hanya pakai genset saja yang bahan bakarnya kita beli dari hasil patungan-patungan warga. Tapi itu tidak menyala 24 jam, hanya mulai dari jam 6 sore saja sampai jam 11 malam saja,” ungkapnya.

Desa Morombo Jadi Kampung Termiskin di Konut

Hingga kini, desa yang berada di antara Desa Tobimeita, Paka Indah, Boenaga, dan Tapunopaka juga belum memiliki bangunan pemerintahan seperti kantor desa, balai desa, kantor LPM, BPD dan sanggar PKK serta perumahan puskesmas pembantu (Pustu).

“Ada kantor desa tapi sudah kumuh dan tidak layak pakai bangunannya masih jamannya Razak Porozi tahun 2003. Ini saja pagar saya sisihkan sedikit-sedikit dari honor gaji desa, supaya bisa dipasang pagar tiap-tiap rumah juga dicat karena kalau mau harap kasian masyarakat setengah mati ,” terangnya.

Kemiskinan di desa yang berjarak sekitar 80 kilometer dari ibu kota Kabupaten ini, semakin parah dengan tidak adanya perhatian dari pemerintah maupun DPRD Konut. Mereka belum pernah meluangkan waktunya untuk meninjau desa dan melihat kehidupan mereka.

Bahkan, PAD desa yang mereka harapkan dari perusahaan untuk bisa menunjang pembangunan di desa Marobo juga tak kunjung dibayar.

Beruntung, Desa Marobo mendapat bantuan dana APBN dari Kementrian Desa di 2015 dan 2016 masing-masing Rp 267 juta dan Rp 600 juta. Dana itu digunakan untuk membangun deker delapa unit dan drainase sepanjang 137 meter untuk mengatasi banjir dan longsor akibat ulah perusahaan tambang.

Sedangkan untuk meningkatkan ekonomi masyarakat desa, pemerintah desa juga membangun dua pasar mini lokal untuk kebutuhan masyarakatnya menjual hasil kebun dan melaut.

“Kami hanya berharap ada perhatian dan mendapat kesejatraan. Kami butuh hidup sejahtera bukan dijajah,” tukas Badilah. (B)

 

Reporter : Jefri Ibnu
Editor : Kiki

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini