Gusti Ray Sadimantara, Pelopor Pendidikan Transmigrasi, Guru Besar Pertama dari Konsel

393

Lahir dari pasangan petani dengan ekonomi pas-pasan membuat Gusti harus melewati begitu banyak rintangan demi mendapatkan pendidikan yang layak. Tapi laki-laki kelahiran Dalung, Bali, 1 Oktober 1960

Lahir dari pasangan petani dengan ekonomi pas-pasan membuat Gusti harus melewati begitu banyak rintangan demi mendapatkan pendidikan yang layak. Tapi laki-laki kelahiran Dalung, Bali, 1 Oktober 1960 ini tidak pernah menyerah. Dan ia membuktikan, dengan tekad yang kuat, kerja keras dan disiplin, anak dari petani miskin seperti dirinya bisa menjadi guru besar yang tidak semua orang bisa meraihnya.
Kedua orang tua Gusti Ray Sadimantara, I Gusti Ketut Karya dan Ni Gusti Putu Putera adalah asli Bali. Di Bali, keluarga ini memiliki rumah ditambah pekarangan dan sawah yang luasnya tidak cukup 50 are. Inilah yang melatarbelakangi ayahnya untuk mengikuti program transmigrasi. Tak tanggung-tanggung ayahnya mengikuti program transmigrasi spontan yang biayanya tidak ditanggung pemerintah sepenuhnya. Dengan kemauan sendiri, sang ayah mendaftar dan berangkat ke Kendari, Sulawesi Tenggara (Sultra).
“Waktu itu orang tua saya juga tidak sepakat. Ayah saya mau berangkat tapi ibu saya tidak mau. Setelah dibicarakan akhirnya ayah dan kakak saya dulu yang berangkat. Jangan sampai kehidupan di Kendari tidak baik, kami kembali sudah tidak ada rumah di Bali. Saya dan adik ikut ibu untuk tidak ke Kendari dulu,” cerita Dekan Fakultas Pertanian ini.
Setelah sang ayah, I Gusti Ketut Karya merasa kehidupan di Kendari sudah lebih baik, tahun 1972 ia memboyong keluarganya, termasuk Gusti kecil yang saat itu baru duduk di kelas 4 SD untuk menetap di Desa Mowila, Konawe Selatan (Konsel) yang menjadi lokasi transmigrasi keluarganya. Begitu tiba di Mowila, Gusti kecil merasa terkejut dengan kondisi daerah tempat tinggalnya yang sangat terisolir.
Namun, keterisoliran tempat tinggal barunya itu tak menyurutkan niat Gusti Ray Sadimantara untuk mencari sekolah. Tak butuh waktu lama, ia pun masuk di SDN Mowila. Dan dimulailah petualangannya dalam menimba ilmu di daerah yang masih asing baginya itu.
“Rumah saya dengan sekolah itu jaraknya 2 km. Tiap hari saya jalan kaki, jalan kakinya juga tidak pakai alas kaki. Tidak ada sendal apalagi sepatu. Waktu itu saya juga belum punya seragam sekolah. Kalau pagi hari kadang pakaian saya basah karena lewat jalan setapak yang ditumbuhi ilalang,” kenang lelaki yang menyelesaikan S2, S3 dan post doctoralnya di Jepang ini.
Meskipun begitu, motivasi Gusti Ray Sadimantara untuk belajar tidak pernah surut sehingga prestasinya di SD sangat membanggakan.
Tamat SD Gusti sempat kebingungan untuk melanjutkan sekolah. Saat itu SMP hanya ada di ibukota Kecamatan, Ranomeeto yang jaraknya 27 km dari rumahnya. Untunglah ia bertemu dengan Daeng Masiga, seorang guru di SMPN Ranomeeto. Tidak hanya membantu secara finansial, bapak yang sudah menganggap Gusti seperti anak kandung ini mengajaknya tinggal di rumahnya sampai tamat SMP. Tak berhenti disitu, Daeng Masiga juga masih membantunya melanjutkan sekolah ke SMAN 1 Kendari. Di Kendari ia tinggal di rumah salah satu kerabat Daeng Masiga di Kota Lama hingga ia masuk kuliah di jurusan Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian UHO.
“Pertama tinggal di rumah bapak saya tidak bisa tidur, kadang saya menangis karena rindu orang tua. Bahkan saya sempat kepikiran untuk pulang saja dan tidak usah sekolah. Tapi bapak terus memberi saya semangat. Dia juga yang mengajarkan saya disiplin dan mengatur waktu,” kenang mantan Ketua Jurusan Budidaya Perairan Fakultas Pertanian UHO ini.
“Kalau sudah rindu betul mau ketemu orang tua saya nekad pulang ke Mowila jalan kaki 20 km. Dari Ranomeeto ke Mowila kan belum ada kendaraan saat itu, yang ada hanya sampai Amonggito. Jadi, kalau libur saya naik mobil ke Amonggito. Dari Amonggito jalan kaki sampai rumah. Kadang saya sampai di rumah sudah tengah malam,” lanjut ayah dua orang anak ini.
Tidak mau terlalu merepotkan keluarga Daeng Masiga, awal kuliah Gusti Ray Sadimantara memutuskan untuk pindah dan tinggal bersama teman-temannya di sekitar kampus lama UHO yang kini menjadi gedung pascasarjana. Mereka membangun pondok-pondok dengan lantai dari kayu, dinding dari jelaja dan atap dari rumbia.
“Tinggal banyak orang kan pasti ribut. Saya mau belajar di sebelah malah ribut, teriak-teriak, ada yang main gitar. Kalau begini terus saya pasti tidak bisa belajar. Akhirnya saya siasati, jam 8 malam saya sudah tidur. Jam 1 atau jam 2 pagi baru saya bangun belajar, suasanya juga sudah tenang,” ungkap suami dari Hj. Sulastri ini.
Ketika mengerjakan skripsi Gusti Ray Sadimantara kembali dihadapkan pada masalah biaya. Untunglah saat itu BNI memiliki program Kredit Mahasiswa Indonesia (KMI) yang memberikan pinjaman kepada mahasiswa untuk menyelesaikan skripsi. Gusti dan beberapa temannya pun mengambil KMI ini.
“Saya dan beberapa teman kredit di sini, ketika tamat ijazah ditahan oleh pihak Bank, boleh diambil kalau pinjamannya sudah dilunasi. Saya masih berhutang ketika berangkat ke Jepang. Pulang dari Jepang baru saya lunasi,” ungkap laki-laki yang sejak 2008 menjadi pembimbing tesis mahasiswa S2 Agronomi Pascasarjana UHO ini.
Karena kegigihannya menuntut ilmu, Gusti didaulat sebagai pelopor pendidikan transmigrasi. Ia seharusnya berangkat ke istana presiden untuk menerima penghargaan dari Presiden Soeharto saat itu, namun ia terlambat mendaftar sehingga batal berangkat.
Dengan beasiswa Monbuso dari Jepang, Gusti Ray Sadimantara berhasil menyelesaikan S2 di program studi Pemuliaan Tanaman (plant breeding) di Yamagata University Jepang dan S3 di Iwate University serta post doctoral di universitas yang sama. Barulah 30 Maret 1999 ia kembali mengabdi sebagai tenaga pendidik di UHO.
Dan tahun 1986 merupakan tahun yang sangat bersejarah dalam hidup Gusti Ray Sadimantara dimana ia memutuskan menjadi seorang muallaf.
Saat ini Gusti Ray Sadimantara tengah mengembangkan varietas padi gogo berproduksi tinggi hasil persilangan padi gogo dan padi sawah yang tahan terhadap cekaman lingkungan, terutama tahan terhadap cekaman aluminium dan kekeringan. Varietas ini ia mulai kembangkan sejak 2009 lalu dan 2015 mendatang hasilnya sudah akan terlihat.(Jumriati)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini