Kisah Guru Honorer di Koltim, Berjalan Kaki 14 Kilometer untuk Bisa Mengajar

3609
Ida Nur Khayati
Ida Nur Khayati

ZONASULTRA.COM, TIRAWUTA – Jarak rumahnya dengan sekolah begitu jauh, namun tak pernah menyurutkan semangat Ida untuk berbagi ilmu kepada anak-anak didiknya. Ida adalah salah satu potret perjuangan seorang tenaga honorer yang mengabdikan dirinya dalam dunia pendidikan.

Ida merupakan guru honorer di SDN 3 Ameroro, Kecamatan Tinondo, Kabupaten Kolaka Timur (Koltim), Sulawesi Tenggara (Sultra). Usia serta jarak tempuh ke tempat mengajar tak menjadi penghalang baginya dalam mencerdaskan anak bangsa.

Wanita transmigrasi asal jawa Timur ini berjalan kaki setiap hari sejauh 7 kilometer ke sekolah. Sehari, Ida harus berjalan kaki bolak balik sejauh 14 kilometer. Perjalanan sejauh itu dilakukan Ida di usianya yang memasuki 55 tahun.

Berjalan kaki menjadi satu-satunya pilihan bagi Ida. Ia sama sekali tak pandai mengendarai sepeda motor. Jika pun bisa mengendarai sepeda motor, tentu yang akan menjadi kendala lagi adalah jalanan menuju ke sekolah. Ditambah lagi ukuran tubuh Ida yang hanya mencapai 130 sentimeter.

Lokasi tinggal dan sekolah tempat Ida mengajar sangat terpencil. Jaringan seluler, menurut Ida tidak ada. Ke sekolah atau pulang dari sekolah, kadangkala Ida dibonceng oleh warga setempat yang kebetulan sedang melintas.

BACA JUGA :  Hakim Perempuan di PN Andoolo Ungkap Keresahan, dari Minim Fasilitas hingga Rentan Intervensi

Baca Juga : Perjuangan Anak-Anak di Pelosok Bombana Demi Pendidikan

“Biasa ada kebetulan warga lewat, ya biasa saya dibonceng. Tapi kalau tidak ada lagi, ya apa boleh buat harus jalan kaki lagi,” tutur Ida kepada zonasultra.id, Senin (28/1/2019).

Ida sendiri adalah alumni Sekolah Menengah Ekonomi Atas (SMEA) Muhammadiyah Lamongan Jawa Timur. Di usia 35 tahun, ia bersama suami dan kedua anaknya ikut program transmigrasi.

Ida menjadi tenaga honorer di SDN 3 Ameroro sejak 2008 lalu. Ia memegang mata pelajaran Pendidikan Agama Islam. Tapi sebelum di sekolah itu, Ida mengajar di SDN 1 Ameroro pada 1999. Gaji yang diperoleh waktu itu sebesar Rp300 ribu setiap bulan. Upah tersebut langsung diberikan oleh pihak Departemen Transmigrasi.

Baca Juga : Menumbuhkan Asa, Membangun Mimpi, Kisah Inspiratif Yais Dirikan SLB di Tengah Hutan

“Saya pindah ke SDN 3 Ameroro karena diajak teman untuk pindah mengajar. Kebetulan dulu sama-sama saya ngajar di SDN 1, tapi begitu pindah di SDN 3 Ameroro dia diangkat jadi kepala sekolah. Jadi saya diajaklah juga pindah. Waktu pertama gajinya cuma Rp150 ribu. Terus, waktu pak Tony jadi bupati, gaji saya naik sampai Rp300 ribu per bulan selama enam bulan. Sekarang honornya lumayan sudah Rp500 ribu per bulan,” ungkap Ida.

BACA JUGA :  Disabilitas Netra dan Pemilu: Antara Keinginan dan Keraguan Memilih
Dilarang Suami

Ida sudah berkali-kali dilarang oleh suaminya. Begitu pula dengan kedua anaknya. Di rumah, Ida hanya tinggal sendiri, suaminya bekerja di Kota Kendari. Sementara dua anaknya, satu bekerja wiraswasta di Jambi dan satunya lagi honorer kesehatan di Jawa.

“Bapaknya anak-anak sudah sering kali melarang. Tapi dari pada tidak ada kerjaan. Kan lumayan bisa dapat Rp500 ribu per bulan,” kata Ida.

Harapan untuk terangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) sudah tak ada lagi. Meski demikian, Ida mengaku tetap akan mengabdikan dirinya untuk SDN 3 Ameroro apabila tenaganya masih dibutuhkan. (SF/)

 


Kontributor: Samrul
Editor: Jumriati

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini