Menertawakan Pasha, Menertawakan Diri Sendiri

53
PAN Sultra di Persimpangan Jalan
Andi Syahrir

Warga Palu di Sulawesi Tengah sedang mencandai pemimpinnya. Saya lebih memilih kata “mencandai” ketimbang “mengolok-olok” meski barangkali kata kedua yang lebih tepat. Mereka menertawakan wakil walikotanya, Sigit Purnomo Said, saat tampil perdana di depan publik setelah pelantikannya.

Pemuda di Belantara Politik
Andi Syahrir

Tawa para staf memancing kemarahan wakil walikota yang popular dengan sapaan Pasha ini. Dia mengawali pidatonya dengan bersungut-sungut.

“Apa motif saudara-saudara tertawa terbahak-bahak. Saya malu karena ada yang tertawa terbahak-bahak saat saya masuk. Next, saya tidak mau ini terulang lagi. Polisi Pamong Praja harus mengecek yang tertawa itu. Jelas?…Jelas?…Jelas?” katanya bernada tinggi.

Reaksi lugu dan polos bekas pentolan band Ungu ini bukan yang pertama kali sejak dirinya resmi menjadi wakil walikota. Beberapa saat setelah pelantikannnya, dia menjauhi wartawan yang mencoba mewawancarainya. Saya sekarang bukan artis yang bisa diwawancarai setiap waktu, elaknya.

Sikap dan reaksi Pasha sesungguhnya tidak perlu ditertawakan. Pasha sebenarnya sedang mengalami bencana. Dia tergagap-gagap dengan belantara yang dimasukinya. Dunia yang tak dikenalinya. Dia orang asing yang tiba-tiba ditunjuk menjadi pemandu.

Kita seharusnya prihatin dengan nasib yang dialami Pasha. Dan dalam perspektif yang lebih luas, kita lebih prihatin dengan masa depan masyarakat Palu.

Pasha sebenarnya merupakan korban dari sebuah sistem suksesi kepemimpinan yang mendewakan popularitas. Di negeri ini, patung pun bisa saja diusul menjadi pemimpin atas nama popularitas.

Jika itu adalah soal demokrasi, maka Anis Matta memiliki definisinya sendiri. Katanya, demokrasi seperti kanvas. Warna apa saja boleh tertoreh. Demokrasi bukan tentang salah-benar tapi legal-ilegal. Kebenaran yang diperjuangkan secara ilegal dianggap salah. Kemungkaran yang dijalankan secara legal dinilai benar.

Meminjam pengertian itu, demokrasi bukan tentang mampu atau tidak mampu, melainkan populer atau tidak populer. Kedunguan yang diperjuangkan secara legal akan mengalahkan kecerdasan yang digerakkan secara ilegal. Apalagi jika kedunguan itu dikemas cantik, menghibur, dan dilambari dengan kenikmatan sesaat.

Kehadiran Pasha di tampuk tertinggi kepemimpinan Kota Palu adalah duka. Harusnya ditangisi. Tak pantas ditertawakan. Jika menertawakannya, tertawakan dulu diri sendiri. Saya berduka untuk rakyat Palu. Tapi saya salut dengan warga Palu. Mereka pandai menghibur dirinya.***

 

Andi Syahrir
Alumni Pascasarjana UHO & Pemerhati Sosial

 

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini