Puncak Kemerdekaan RI dan Puncak Kekalahan Nur Alam

242
Puncak Kemerdekaan RI dan Puncak Kekalahan Nur Alam
Puncak Kemerdekaan RI dan Puncak Kekalahan Nur Alam

Puncak Kemerdekaan RI dan Puncak Kekalahan Nur Alam Puncak Kemerdekaan RI dan Puncak Kekalahan Nur Alam

 

ZONASULTRA.COM, KENDARI – Puncak Perayaan hari ulang tahun (HUT) kemerdekaan Republik Indonesia (RI) ke-72 pada 17 Agustus 2017 ini dirayakan gegap gempita seluruh masyarakat Indonesia yang merasa benar-benar “merdeka”.

Titik puncak perayaan itu adalah upacara pengibaran bendera sangsaka Merah Putih. Jika di Istana Negara yang menjadi inspektur upacara (Irup) adalah Presiden Jokowi, maka di Sulawesi Tenggara (Sultra) seharusnya adalah Nur Alam yang sudah dua periode memangku jabatan gubernur.

Momen ini adalah kesempatan terakhir bagi Nur Alam untuk manjadi Irup yang masa jabatannya akan berakhir pada Februari 2018. Sayang, Nur Alam saat ini tidak berada dalam kondisi megahnya suatu protokoler kegubernuran. Sebagai tersangka KPK, ia mungkin memang “merdeka” namun terbatas oleh jeruji besi Rutan Pomdam Guntur Jaya, Jakarta Selatan.

Entah apa yang dilakukan sang gubernur nonkatif di hari kemerdekaan ini, mungkin saja ia menjadi peserta upacara bendera, atau bisa jadi hanya terdiam di ruang tahanan tanpa kipas angin dan tak ber-AC. Satu hal yang pasti, upacara pengibaran bendera di kantor gubernur berlangsung khidmat oleh Irup Pelaksana tugas (Plt) Gubernur Sultra Saleh Lasata.

Status Nur Alam saat ini masih sebatas tersangka, dalam arti sederhana orang yang disangka berbuat sesuatu dan bisa saja tak bersalah. Namun adakah peluang tak bersalah ketika sudah di tangan KPK? Publik pasti paham bagaimana ketika tokoh-tokoh di pusat tak berdaya ketika jadi tersangka KPK.

Di antara tokoh itu misalnya Andi Malarangeng ketika menjabat Menteri Pemuda dan Olahraga, Anas Urbaningrum saat masih Ketua Umum Demokrat, dan masih banyak lagi. Apalagi, KPK sudah melakukan perhitungan kerugian negara sekitar Rp. 3,4 triliun dari kasus Nur Alam tentang tambang.

Tentang kekalahan Nur Alam maka ada dua hal yang jadi poin bahasan penting yakni kalah persoalan hukum atau kasus tambang yang menjeratnya dan kalah di dunia yang melambungkan namanya, politik. Nur Alam sesungguhnya tidak jatuh dengan cepat setelah mencapai klimaks kejayaan. Butuh berbulan-bulan sejak kasusnya menyeruak hingga ia benar-benar melemah.

Sebagai batasan dalam tulisan ini, yang dimaksud kalah persoalan hukum adalah karena ia belum mampu melepas status tersangka dan ditahan sehingga juga dinonaktifkan sementara sebagai gubernur. Sedangkan kalah di dunia politik karena merosotnya pencapaian politik dalam jenjang karirnya.

Jeratan Kasus Tambang

Nur Alam gubernur sultra

Kasus yang melilit Nur Alam mulai mencuat ke publik pada tahun 2015 lalu. Saat itu publik Indonesia khususnya Sultra dihebohkan dengan penyelidikan dugaan Tindak Pencucian uang (TPPU) Nur Alam berdasarkan hasil temuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).

PPATK menemukan adanya transaksi keuangan melalui rekening mencurigakan yang kemudian populer dengan sebutan rekening gendut. Kasus rekening gendut ini merupakan satu dari 10 rekening gendut kepala daerah.

Berdasarkan hasil temuan mencurigakan itulah, PPATK langsung melaporkannya ke Kejaksaan Agung (Kejagung) RI untuk ditindaklanjuti. Seolah menjemput “bola”, Kejagung langsung mengambil langkah dengan membentuk tim untuk melakukan penyelidikan terkait aliran dana.

Alhasil, Kejagung menemukan fakta bahwa memang benar Nur Alam menerima sejumlah uang dalam jumlah cukup besar di rekeningnya. Jumlah uang yang masuk di rekening Nur Alam sebesar 4,5 juta dolar Amerika Serikat (USD).

Uang dengan nilai fantastis itu diduga dari transferan pengusaha tambang asal Taiwan bernama Mr. Chen kepada Gubernur Sultra untuk mengamankan wilayah konsesi tambangnya di Sultra. Dolar itu ditransfer sebanyak empat kali dalam bentuk polis asuransi melalui bank di Hongkong.

Dalam sebuah wawancara di salah satu TV swasta ketika itu, Nur Alam membenarkan menerima dana transfer. Namun versi dia, dana itu berasal dari seorang teman yang dititipkan ke rekeningnya karena dianggap dipercaya. Nur Alam mengaku telah mengembalikan dana tersebut ke pemiliknya.

Tak ada angin tak ada hujan, tiba-tiba Kejagung RI menghentikan penyelidikan kasus dugaan TPPU Nur Alam, masih pada tahun yang sama, 2015. Hingga tutup Oktober di tahun itu, Nur Alam masih tampak powerfull dan merdeka dari kasus itu.

“Saya kira nda usah ditanggapi kalau sudah selesai, kan,” ujar Nur Alam pendek namun dengan mimik serius, usai mengikuti rapat paripurna di Sekretariat DPRD Sultra, Senin (21/9/2015).

Namun kenyamanan sang gubernur tak bertahan lama. Bagai geledek menyambar tiba-tiba publik Sultra heboh dengan masuknya petugas KPK di Kendari pada November 2015. Di bulan itu, KPK memeriksa 29 pejabat di Sultra diantaranya Kepala Dinas (Kadis) Pertambangan Provinsi Burhanuddin, mantan Kadis Pertambangan Provinsi Hakku Wahab, dan lainnya.

Fase masuknya KPK ketika jadi babak baru dengan lingkaran kasus yang ternyata lebih besar dari pada TPPU yang hanya 4,5 juta dolar (USD). Perlahan dan pasti, Nur Alam akhirnya ditetapkan tersangka oleh KPK pada 3 Agustus 2016. Kekalahannya melawan KPK dimulai ketika kalah praperadilan.

Nur Alam dijerat dugaan tindak pidana korupsi dalam persetujuan pencadangan wilayah pertambangan, persetujuan IUP eksplorasi dan persetujuan peningkatan IUP eksplorasi menjadi izin usaha pertambangan operasi produksi kepada PT. AHB di wilayah Sultra tahun 2008-2014.

KPK menjerat Nur Alam dengan Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Kemerosotan di Dunia Politik

Catatan kemerosotan pencapaian politik Nur Alam dimulai 2014. Di tahun itu, Hatta Rajasa yang merupakan ketua umum PAN maju jadi calon wakil presiden. Nur Alam yang memasuki periode ketiga jadi nahkoda PAN Sultra tak mampu menghadiahkan kemenangan. Di Sultra, Hatta yang berpasangan dengan Prabowo tak bisa melampaui perolehan suara Jokowi-Jusuf Kalla.

Begitu kalender berganti, tahun 2015 kader-kader di bawah kendali Nur Alam mulai menunjukkan perlawanan dan berani membelakangi. Awal perlawanan para kader yakni ketika Hatta yang kalah Pilpres hendak mempertahankan kedudukannya di PAN dengan maju Ketua Umum PAN periode kedua, melawan Ketua MPR RI Zulkifli Hasan.

Saat itu Nur Alam konsisten berada di jajaran pemenangan Hatta. Namun tak semua jajaran PAN di Sultra benar-benar mengekor pada Nur Alam. Hatta Rajasa kalah tipis 6 suara dan ada 4 suara rusak.

Awalnya kader-kader PAN Sultra terutup dengan berpalingnya sejumlah suara dari Hatta Rajasa dan adanya suara rusak. Namun hal itu kemudian diakui oleh Ketua PAN Konawe Selatan Djainal, bahwa penyebab Zulkifli Hasan menang tipis karena suara dari Sultra.

Efek domino dari kemenangan Zulkifli tersebut terus bergulir dengan kepentingan politik kader dan kepentingan Nur Alam. Dalam perhelatan Pemilihan Kepala Daerah (Pikada) 2015 mulai banyak kader yang unjuk gigi, secara terang-terangan berlawanan dengan Nur Alam. Diantaranya Ketua PAN Konawe Utara (Konut) Raup, Ketua PAN Kolaka Timur (Koltim) Farida dan Ketua PAN Konawe Selatan (Konsel) Djainal.

Di Pilkada Konut Nur Alam mendukung Aswad Sulaiman sedangkan Raup maju calon wakil bupati mendampingi Ruksamin dengan rekomendasi PAN. Di Pilkada Koltim Nur Alam mendukung Toni Herbiansyah sedangkan Farida maju calon wakil bupati berpasangan dengan Syamsu Alam juga dengan rekomendasi PAN. Sementara di Konsel Djainal menolak menandatangani SK rekomendasi PAN untuk Asnawi Syukur, yang tak lain kakak kandung Nur Alam.

Langkah perlawanan dari dalam itu membuat Nur Alam yang dikenal sebagai sosok pemain tenang dalam percaturan politik, tiba-tiba murka. Ketika berkampanye di Koltim untuk Toni, Nur Alam menyindir Raup dan Farida sebagai Malin Kundang. Tokoh cerita rakyat asal Sumatra Barat yang durhaka terhadap ibunya dan dikutuk jadi batu.

“Iya benar mereka (Malin Kundang) tidak melalui proses dan mekanisme kepartaian. Desk (tim penjaringan) Pilkada di daerah itu tidak pernah ada, gak pernah berkordinasi dengan DPW langsung ke pusat,” aku Nur Alam di kantor Gubernur Sultra, Kamis (6/8/2015).

Imbas perlawanan tersebut, membuat sejumlah calon kepala daerah yang didukung Nur Alam mengalami kekalahan, Asnawi kalah di Konsel, Aswad Sulaiman di Konut, LM Baharuddin di Muna, Ridwan Zakariah di Buton Utara, dan Nur Sinapoy di Konawe Kepulauan.

Jelang Pilkada Februari 2017, Nur Alam juga menunjukkan dukungan terhadap beberapa calon namun tak begitu gencar turun kampanye seperti di Pilkada 2015. Salah satu kader PAN yang didukungnya adalah Abdul Rasak dalam pemilihan wali kota Kendari, ada banyak baliho yang menyandingkan keduanya.

Rasak tak mendapatkan SK rekomendasi pencalonan dari PAN dan yang jadi pengusung justru Golkar dan Nasdem. Pada akhirnya, Rasak mengalami kekalahan dan di hari pemilihan Nur Alam tak terlihat di Tempat Pemungutan Suara (TPS).

Di tubuh PAN sendiri, Nur Alam mulai tersisihkan ketika Musyawarah Wilayah (Muswil) PAN Sultra Februari 2016. Ia yang terwacana memegang rekor baru kepemimpian PAN provinsi 4 periode pupus. Penyebabnya dari 5 formatur yang dibentuk ada yang tak memilih Nur Alam yakni Asrun karena juga berkeras maju sebagai ketua.

Tiga bulan kemudian 19 Mei 2016, DPP PAN akhirnya mengumumkan nahkoda PAN pasca Nur Alam. Umar Samiun jadi Ketua dan Sekretarisnya Adriatma Dwi Putra (ADP), putra kandung kedua Asrun. Nur Alam pada akhirnya ditarik jadi Wakil Ketua Umum PAN di pusat dan Asrun tetap di PAN Kota Kendari.

“Tidak bisa ditempatkan begitu saya harus diminta kesediaan orang karena saya bukan pegawainya partai. Kalau pegawai itu siap ditempatkan dimana saja. Jadi kalau mau ditempatkan ditanya dulu. Jadi tidak otomatis apa yang menjadi keinginan mereka di Jakarta saya langsung terima,” ujar Nur Alam, Jumat (20/5/2016).

Sebulan kemudian, 10 Juni 2016 Nur Alam meluapkan kekecewaannya dengan berucap di media massa bahwa telah hengkang dari PAN baik sebagai kader maupun pengurus. Namun pernyataan itu hanya sebatas lisan, secara tertulis dirinya masih di PAN.

Estafet Kepemimpinan

Nur Alam Tepis Isu Pembayaran untuk Diangkat Jadi Kepala Sekolah

Pada pemilihan Gubernur (Pilgub) Sulawesi Tenggara (Sultra) 2018, Nur Alam nampaknya ingin estafet kepemimpinanannya dilanjutkan oleh istrinya sendiri, Tina Nur Alam. Namun bisa juga, itu keinginan sepihak dari Tina untuk melanjutkan kepemimpinan suaminya.

Dalam beberapa kesempatan di tahun 2015, Nur Alam mengaku tidak bermaksud mendorong istrinya untuk maju menjadi calon Gubernur Sultra setelah masa kepemimpinannya berakhir. Kendati demikian, Nur Alam menyebut Tina secara pribadi mempunyai hak untuk maju sebagai calon gubernur.

“Dalam kehidupan ini kita tidak hanya mengejar kedudukan, ada nilai-nilai tertentu yang harus kita pertahankan. Cukup saya saja sebagai suaminya yang jadi gubernur supaya tidak menambah kedengkian rakyat. Mungkin kalau saya tidak mengizinkan istri saya calon gubernur maka rakyat akan semakin cinta sama saya,” kata Nur Alam usai menghadiri rapat paripurna di DPRD Sultra, Jumat (10/7/2015).

Kemudian pada tahun 2016, Nur Alam melempar wacana bahwa sudah giliran figur kepulauan (Buton-Muna) menjadi gubernur. Ia mengaku secara pribadi memberikan dukungan kepada kader-kader dari kepulauan.

“Kalau kita bicara dari sisi konsensus para leluhur yang membentuk daerah ini, ini pendapat saya pribadi bahwa sekarang sudah giliran kepulauan menjadi Gubernur atau memimpin Sulawesi Tenggara,” ujar Nur Alam usai Musyawarah Perencanaan Pembangunan di Hotel Clarion Kendari, Selasa (11/4/2016).

Terlepas dari pernyataan politis yang demikian, begitu Tina mulai gencar mendaftar di sejumlah partai politik pada Juni 2017, Nur Alam juga memberikan dorongan. “Saya mendukung istri maju. Orang lain saja saya dukungapalagi istri. Dan mendaftar itu bukan menjadi jaminan bahwa itu sudah jadi. Jadi di satu partai pun bukan jaminan bahwa itu cukup pintunya. Jadi masih banyak tahapan yang mesti dilalui,” kata Nur Alam di Kendari, Jumat (16/6/2017).

Namun langkah Tina untuk meraih tongkat estafet nampaknya mulai buyar begitu Nur Alam ditahan KPK sejak 5 Juli 2017 lalu. Tina yang anggota DPR RI tidak hadir dalam acara pemaparan visi misi yang digelar PDIP dan Demokrat (Juli-Agustus), padahal ia sudah mengajukan pendaftaran di dua partai tersebut.

Siapa yang akan jadi pelanjut Nur Alam akan ditentukan melalui pemilihan gubernur 27 Juni 2018 nanti. Jika melihat keadaan Nur Alam saat ini maka sangat sulit baginya turun campur tangan menentukan pelanjutnya. Terkecuali ia lihai menjadi dalang dari balik Jeruji besi di kejauhan Jakarta.  (A*)

Sambungan dari tulisan sebelumnya Pelangi dan Badai Karir Nur Alam

 

Penulis: Muhamad Taslim Dalma
Editor: Jumriati

  • TOPIK
  • *

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini