Witeno Wuna, Dulu, Kini dan Semoga

786
Cerita Pagi Untuk Perempuan Terhebat
Zona Cerita

Cerita Pagi Untuk Perempuan Terhebat Zona Cerita

 

Jingga sore itu menggerayangi seuntai pesisir Pulau Muna, tepatnya Kota Raha. Nun jauh disana, hamparan peradaban itu terlihat samar, nan indahnya hangat memanjakan mata. Oksigen segar ala perbukitan begitu menyegarkan. Bersama dua orang sahabat saya, Ikbal dan Butet, kami mencoba menikmati waktu sore pergantian tahun 2016 dengan merebus Kopi, menyeduh Teh Melati. Menikmati suasana dari Puncak Bukit Wakila, Desa Kondongia.

Ada berbait-bait topik pembicaraan saat itu. Kurang lebih berkutat soal ke-Muna-an. Sesekali canda dan gelak tawa terpecah, menyisip disela alur diskusi. Asyiknya suasana menghanyutkan waktu. Hingga tak sadar matahari tergelencir di ufuk, lambat laun itu menemaramkan langit. Kode dari alam untuk segera packing dan pulang kembali ke Raha. Pulang, menemui Kota yang sejak pagi sebelumnya terlihat sibuk oleh perayaan pergantian tahun baru. Diperjalanan pulang ada banyak pemandangan mencengangkan. Banyak lingkaran pesta miras, dan tak sedikit lirikan premanisme menikam senyum yang kutawarkan. Sebuah penyakit sosial yang menjijikkan.

Malamnya, seingat saya suasana Kota Raha begitu ramai. Tak sedikit tenda tergelar di persimpangan jalan, ada banyak konvoi yang seolah ber-thawaf di Tugu Jati. Makin malam, telinga makin sibuk. Tenangnya Bukit Wakila sore tadi sangat kontras dengan riuhnya hiruk-pikuk Kota Raha. Yang dikepung oleh raungan knalpot motor, ledakan petasan- kembang api, musik dangdut karaokean, dan tentu saja yel-yel anak alay. Meriah dan meriah. Seolah pesta kemakmuran, yang sudah mendarah-daging di Kota ini. Seolah-olah.

**

Berbicara tentang Muna adalah suatu kerinduan yang lezat. Suatu hal yang sering memaksa kita untuk berandai khayal, ber-romantisme kritis, ber-optimis dan ada pula yang terlanjur ber-fatalisme. Melahirkan suatu gagasan demi witeno wuna seperti memasuki masjid Muna sambil bersendal kotor. Dipersilahkan dan tak ada larangannya. Bebas, berserak jijik, yang penting mau. Lain halnya ketika sandal kita, rakyat Muna yang berdaulat mengotori teras Galampano atau Ruangan ber-AC Kantor Kementerian Agama Kabupaten Muna. Itu lebih terlarang, karena mungkin disana jauh lebih suci dan sangat terhormat dari Masjid Muna. Lebaran tahun ini buktinya, Masjid Muna ditapakki oleh kekotoran lahir batin tanpa ada upaya larangan dari pemerintah. Naudzubillah.

Kata orang, Witeno Wuna adalah Witeno Barakati, tanah berkah. Hal itu diyakini sejak dulu, menjadi dogma yang terwarisi sejak terpimpin oleh Raja Pertamanya La Eli gelar Baidhul Dhamani hingga dijaman modern dipimpin oleh seorang Bupati bernama L.M Rusman Emba bergelar akademik ST.

Luas daerah yang makin hari makin mengecil seolah tak mencerminkan kecilnya populasi penduduknya. Seperti anomali penduduk, daerah ini sunyi dihari-hari biasanya, dan sangat ramai di momentum lebaran. Jikalau seluruh perantau berdomisili pula di Muna, sepertinya Traffic Light akan perlahan difungsikan, macet akan hadir, dan tak ada peminta-minta dijalan. Yah, tak ada itu, sebab Orang Muna bergengsi tinggi di kampung, dan cenderung bermental baja di rantauan.

Oh ya, dalam beberapa kepemimpinan Bupati, Kabupaten Muna dikenal sebagai Kabupaten tersohor di Sulawesi Tenggara dimasanya. Sependek literasi dan pemahaman saya, mereka adalah Drs. Maola Daud dan Drs. La Ode Kaimoeddin. Tidak menafikan kepemimpinan Bupati lain. Mungkin saja ada yang tidak bersepakat, terlebih menggeneralisir pembangunan ke arti pembangunan fisik, dus tidak menilik tumpukan utang dan segala dampak negatif pembangunan. Terserahlah. Tulisan ini bukan catatan kompetisi. Hanya refleksi dari subyektifitas saya pun itu seberupaya obyektif. Kedua tokoh tersebut boleh dikata adalah pemondasi pembangunan Kabupaten Muna. Ada banyak konsep futuristik yang mereka lakukan dan itu melampaui jamannya.

La Ode Muhram Naadu
La Ode Muhram Naadu

Dari sejarah terbentuknya, Kabupaten Muna memiliki lika-liku tersendiri. Di masa pemerintahan Raja Muna La Ode Pandu menyimpan sejumlah pergolakkkan sejarah perjuangan pahlawan Muna. Ada beberapa pergolakan saat itu yang melibatkan keberanian tekad Idrus Effendi dkk. , beberapa gerakan dari Batalyon Sadar dan Barisan 20 bahkan terlibat pertempuran fisik dengan Belanda. Sayangnya, nama-nama pahlawan itu banyak yang terlupakan, hanya penduduk daerah Tampo yang banyak mengetahui mereka sebab pengabadian nama mereka hanya ada disana, di nama jalan dan aula. Waompu Kaasi.

Kemudian setelah itu, status pembubaran anderafdeling Buton dan Laiwoi tidak lantas menaikkan status pemerintahan Muna menjadi Kewedanan. Hal itu kemudian diperjuangkan sengit oleh beberapa tokoh masyarakat saat itu, yakni La Ode Ado, La Ode Rasyid, Supu Yusuf dlln. Dalam proses-proses selanjutnya ada banyak manufer politik yang dilakukan hingga akhirnya Kabupaten Muna resmi berdasar Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1959. Ditandai dengan empat distrik, yakni Tongkuno, Kabawo, Lawa dan Katobu, dengan Ibu Kota Kabupaten di Raha.

Bupati pertama Kabupaten Muna diangkat pada tanggal 2 Maret 1960. Ia bernama La Ode Abdoel Koedes. Bersamaan dengan itu, ditambahkan pula tiga distrik baru, yakni Kulisusu, Wakorumba, dan Tiworo. Sebagian generasi kekinian mungkin mengenal nama La Ode Abdoel Koedes sebagai nama sebuah jalan-pendakian di daerah Labolu, dalam Kota Raha. Tak banyak yang mengetahui bahwa di masa pemerintahannya yang sesingkat satu tahun termantik rintisan jalan dan lorong-lorong di Kota Raha.

***

Hari ini. Muna konon menapaki optimisme. Sepercik gebrakan Bupati terdengar santer di tiup-sebarkan harum oleh jurnalis-media. Dari kabar-kabar burung, segelintir orang-orang, elit, yang berpanji-panji perubahan saat Pilkada Panjang dulu justru diterpa isu tak sedap. Masih banyak cerita bagi-bagi kue yang menimbulkan konflik. Parahnya lagi, itu vulgar. Seolah menutup celah-celah laku Good Governance. Dan sudah pasti menimbulkan instabilitas politik yang menjadi boomerang sendiri bagi Bupati kita yang terkenal gesit. Yah, Bupati yang gesit, yang sangat dibutuhkan di daerah yang ber-PAD tertinggi dari layanan Rumah Sakit Umumnya ini.

Berbicara tentang Rumah Sakit Umum lebih parah lagi. sudah beberapa kali Tim Pengawas Rumah Sakit dari kementerian berkordinasi Dinas Kesehatan Provinsi memperingatkan keras. Klinik-klinik dokter pun lebih ramai dan berfungsi sebagai Rumah Sakit. Kebijakan daerah seperti tak punya hati, meng-akselarasi pemindahan. Lebih memilih menimbun laut dengan menggelontorkan anggaran sexy puluhan milliar. Entah apa maksudnya, apa mungkin kita buta dengan skala prioritas pembangunan. Semoga alasannya bukan pembenaran.

Disisi lain memang tak bisa ditampik, ada sepercik optimisme dari beroperasinya Bandara Sugi Manuru. Maskapai Garuda begitu mewah disubsidi oleh Pemkab. Suatu keberanian yang menegangkan juga. Memang, harus seberani ini Pemerintah kita. Mendobrak ruas-ruas pemikiran yang membelenggu kemajuan daerah. Diluar itu, masih ada juga belanja investasi yang semoga berdampak baik bagi pembangunan.

Ditataran perkembangan opini publik, sulit menemukan orang yang obyektif dalam mengamati langkah Bupati kita hari ini. Hujan winto dan puja-puji seolah selalu disiapkan menyambut tiap sejengkal langkahnya. Padahal Bupati kita perlu pengingat, penasehat, orang-orang yang membantunya melihat dengan visibilitas dari sudut lain. Bukan pemuji yang berharap paket-paketan. Sebagai contoh pula ; Program Mai Te Wuna, dengan promosi yang sporadis namun minus harmonisasi langkah ditataran penerjemah kebijakan, turut pembangunan kultur masyarakat sadar wisata. Pertanyaannya sederhana, apa sektor pariwisata bisa dibangun dengan modal senyum-promosi?, entahlah, hari ini yang ada hanya Tourisme Curse. Tak usah terlalu jauh soal pariwisata, busuknya ruang tunggu pelabuhan dan tumpukkan sampah dalam Kota saja di-ngkomu-ngkomukan. saya menggaris bawahi kultur sadar wisata dibagian ini.

Berpindah ke objek lain. Menariknya, kabar dari legislatif kita cenderung adem. Seperti tak ada yang bisa dipantau disana atau diberitakan oleh media. Mengukur kinerjanya begitu sulit, tak semudah mengukur kemewahan gaya hidup mereka, atau jam terbangnya ber-pelesiran. Notabene memang tak meng-generalisir semua anggota DPRD Muna, namun apa ada pengaruhnya jika hanya beberapa individu yang berdiri tulus atas nama rakyat disana?, hanya pencitraan yang mungkin bisa diharapkan. Jikalau kita mencoba mengukurnya menggunakan parameter produktivitas Perdanya, Oh My God, sungguh malasnya mereka. Betapa tidak, hanya ada sedikit Perda, itupun yang berlarut-larut dikaretkan jadwalnya untuk dibahas. Lain halnya dengan akting rapatnya, ada banyak pembahasan klaim-klaim paketan disana. Huh, ngeri kune. Ditahun 2015 saja cuma ada 3 Perda, yaitu Pertanggungjawaban, Perubahan dan APBD selanjutnya. Kronis sekali penyakit malasnya. Padahal idealnya sebuah legislatif meski berlangkah jauh merekayasa sosial dengan Perda (social engineering). Sebab Perda merupakan salah satu konkretisasi konsep pembangunan, dimana segala aspek masalah dimasyarakat dibahas dan didiskusikan solusinya di meja-meja mewah Anggota DPRD yang kita pilih.

Bergeser ke sisi yudikatif, kita wajar menyunggingkan senyum. Pergantian Kapolres baru seolah memberi warna tersendiri. Kejaksaan pun sepertinya mulai tak main-main dengan kasus-kasus Korupsi. Walau masih banyak mega korupsi yang mandeg di tahap penyidikan, dan mesti diprioritaskan untuk diakselerasi. Masih banyak riak-riak yang tak sedap didengungkan aktivis anti korupsi.

Berbicara penegakkan hukum mesti adil bersudut pandang. Ada dua sisi yang bisa ditilik, yakni Aparatnya dan Kulturnya. Kinerja aparat kepolisian dengan Patroli Malamnya sungguh patut diacungi jempol. Namun kultur masyarakat kita memang bandel, keras kepala. Permasalahan hukum di Muna ini pada umumnya soal konflik kepemudaan, premanisme-penyakit sosial lainnya, dan tentu saja dua jenis extraordinary crime yakni Korupsi dan Penyalahgunaan Narkoba. Itu yang parah. Saya yakin, Korupsi dan Narkoba di Muna akan di no-bat kan. Yah, di nongol babat-kan.

****

Majunya daerah kita semoga tak seperti sunset di Wakila saja. Terlihat indah, namun tidak sampai menghangatkan badan kita dari dinginnya masalah-masalah sosial. Atau juga indahnya hanya dinikmati oleh ‘orang-orang diatas’ saja. Yah, semoga jangan.

Masih banyak masalah, masih banyak dan banyak. Masyarakat kita pun masih menympan penyakit-penyakit komunal. Anak-anak masih banyak yang bercita-cita jadi preman. Pemuda-pemuda karbitan sudah mulai tersenyum di baliho menuju Pilcaleg. Para Kontraktor masih banyak yang sangat rakus dalam mengambil untung dan membangun dengan licik. Ibu-Bapak kantoran masih terpetakan oleh nomor Pilkada, ke kantor pun masih malas. Para rantauan sukses pun hanya bisa mengutuk kondisi, tanpa melempar investasi. Lucu tapi begitulah kenyataannya.Kalau semua tak berbenah, kita hanya jalan ditempat. Kalau semua mengikuti siklus destruktif yang sudah lama terbangun dan tak mendobrak keadaan ini, yah jangan harap ada perubahan nasib bagi masyarakat banyak.

Menyebutkan masalah yang ada tentu tak akan pernah berhenti membawa kemurungan kita sebagai masyarakat. Memikirkan akar permasalahan dan menawarkannya sebagai sebuah solusi merupakan sebuah kewajiban kita dan itu membutuhkan kesepahaman secara holistik untuk dilakukan secara sistemik dalam satu semangat.

Jangan tanya apa yang daerah berikan kepada kita, tapi tanyakanlah apa yang kita sudah berikan pada daerah ini, kira-kira seperti itulah ungkapan yang harus diresapi sebagaimana kata John F Kennedy. Tulisan ini hanya autokritik, ada banyak cela, banyak kekurangan. Namun mesti kita sikapi bahwa mesti ada kritik konstruktif yang selalu mengawal perubahan kampung kita. Witeno Wuna, Wite Barakati ini.

Kita mesti percaya bahwa perubahan itu ada karena kita sendiri. Menurut Rhenald Kasali, penyebab Perubahan ada dua. Kepanasan atau melihat Cahaya. Dari itu kita bertanya, apa kita menunggu untuk kepanasan atau lebih jeli melihat cahaya masa depan?.Yah, terdengar seperti mempertanyakan pada diri kita – baik Pemerintah maupun masyarakatnya, apa yang akan kita lakukan esok demi tanah yang kita cintai ini?

Ayo berbenah dan bangkit!

Barakatino witeno wuna.. Ffffuuuiii..

 

Oleh : La Ode Muhram Naadu
Penulis Merupakan Pemuda Muna

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini