Banjir di Sultra: Bisakah Digugat di Pengadilan?

1058
Erdin Tahir SH
Erdin Tahir SH

“Saya ingin mengatakan bahwa jika kita kunci pernyataan bahwa banjir adalah kehendak yang maha kuasa maka sudah barang tentu Hakim tidak akan mengadili Tuhan diruang persidangan itu sendiri”

Banjir yang melanda sejumlah daerah di Sulawesi Tenggara (Sultra) yakni Kolaka Timur, Konawe Utara, Konawe dan Konawe Selatan menjadi tandatanya besar oleh masyarakat. Apakah Banjir tersebut murni bencana alam atau apakah banjir tersebut ada kaitannya dengan aktifitas pertambangan di Sultra. Pertanyaan ini patut untuk dijawab dan diketengahkan agar masyarakat paham terkait sebab musabab terjadinya banjir yang telah banyak merugikan masyarakat baik kerugian ekonomi, sosial, pendidikan maupun bahkan berakibat pada hilangnya nyawa seseorang. Tulisan ini bukan untuk mencari siapa yang harus bertanggung jawab akibat terjadinya banjir di Sultra akan tetapi tulisan yang penulisan sajikan untuk para pembaca hanya sebatas menjelaskan aspek hukum dibidang penegakan lingkungan hidup.

Permasalahannya adalah: Bisakah Banjir Digugat Di Pengadilan? Bukankah Banjir merupakan murni Bencana Alam atau Bukankah Banjir Merupakan Tindakan Tuhan (Act Of God).? Kemudian jika banjir diduga ada kontribusi pelaku usaha pertambangan maka langkah hukum apa yang mesti dilakukan oleh masyarakat ataupun pemerintah.? Apakah Pengadilan di Indonesia Pernah Memutus Gugatan terkait Bencana Alama Banjir?

Bencana Alam Banjir dan Tanah Longsor Bisakah di Perkarakan?

Pengelolaan lingkungan pada dasarnya merupakan tanggung jawab bersama/semua pihak baik Pemerintah, masyarakat dan penanggung jawab usaha serta pemangku kepentingan lainnya. Terlebih kepada pelaku usaha yang melakukan aktifitas dibidang pertambangan yang  mana aktivitas tersebut berdampak serius terhadap kerusakan lingkungan hidup, hal ini dibebankan tanggungjawab atas dampak yang timbul dari aktifitas usaha pertambangan itu. Sebagai konsekuensi logis maupun yuridis kepada pelaku usaha yang mengambil atau memanfaatkan hasil suber daya alam untuk kepentingan bisnis demi mendulang keuntungan yang sebesar-besarnya. Yang menjadi masalahnya adalah masih ada pelaku usaha yang tidak peduli terhadap dampak yang ditimbulkan sebagai akibat dari aktifitas usaha yang dilakukan. Tak sedikit perusahaan tambang yang aktifitasnnya menyebabkan kerusukan lingkungan yang serius yang berujung pada bencana alam seperti banjir dan tanah longsor.

Bagaimana Jika ada perusahaan tambang dalam melakukan aktifitas usahanya berakibat pada kerusakan lingkungan hidup? Untuk menjawab pertanyaan ini maka kita dapat merujuk pada ketentuan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU 32/2009) Pasal 87 ayat (1) berbunyi: “Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup wajib membayar ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu.”

Masalahnya adalah: apakah bencana alam banjir bisa dimintakan pertanggungjawaban secara hukum? Tentunya, sebelum menjawab pertanyaan ini yang mesti dipahami terlebih dahulu adalah, apakah banjir ada kaitannya dengan aktifitas pelaku usaha dalam hal ini pertambangan? Secara teoritis banjir merupakan kejadian hidrologis yang dicirikan dengan debit dan/atau muka air yang tinggi dan dapat menyebabkan penggenangan pada lahan di sekitar sungai, danau, atau sistem air (water body) lainnya. Banjir biasanya terjadi karena sungai atau saluran tidak mampu mengalirkan sejumlah air hujan yang mengalir diatas permukaan (surface run off). Pada dasarnya pemahaman masyarakat banjir terjadi karena faktor alamia (Act of God) akan tetapi tak dapat dipungkiri banjir juga terjadi karena faktor manusia itu sendiri baik secara langsung maupun secara tidak langsung.

BACA JUGA :  Pengelolaan Sumberdaya Hutan di Era UU Omnibus Law

Faktor yang dipengaruhi manusia itu, apakah juga termasuk dalam aktifitas pertambangan? Jika termasuk, maka bagaimana korelasinya? Perlu kita pahami bersama bahwa pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batu bara yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pasca tambang. Sementara Penambangan adalah bagian kegiatan Usaha Pertambangan untuk memproduksi Mineral dan/atau Batubara dan Mineral ikutannya (Pasal 1 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara/UU Minerba).

Olehnya itu setiap pelaku usaha dibidang pertambangan terlebih dahulu harus memiliki AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan). Amdal adalah kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dari/ atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/ atau kegiatan.

Sementara dampak kerusakan lingkungan yang timbul sebagai akibat kegiatan pertambangan biasanya berupa perubahan bentang alam yang berakibat pada terganggunya fungsi hidroorologis dan iklim mikro kawasan yang dibuka/ditambang, meningkatnya surface run off sebagai penyebab potensial terjadinya erosi, banjir dan longsor. (Laporan Akhir Tim Pengkajian Hukum Tentang Penambangan Terbuka Dalam Kawasan Hutan Lindung Departemen Hukum Dan Hak Asasi Manusia RI Badan Pembinaan Hukum Nasional)

Sehingga negara memberikan perlindungan kepada masyarakat yang terkena dampak negatif langsung dari kegiatan usaha pertambangan, dimana masyarakat berhak memperoleh ganti rugi yang layak akibat kesalahan dalam pengusahaan kegiatan pertambangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undsngan; dan berhak mengajukan gugatan kepada pengadilan terhadap kerugian akibat pengusahaan pertambangan yang menyalahi ketentuan. (Pasal 145 UU Minerba).

Pertanyaanya kemudian apakah Pelaku usaha Pertambangan di Sultra dapat digugat di Pengadilan? Hal ini dapat saja dilakukan dengan dasar jika pelaku usaha terbukti memiliki kontribusi dalam kerusakan lingkungan hidup yang menyebabkan terjadinya banjir maupun tanah longsor, sehingga pelaku usaha pertambangan dapat dimintakan pertanggungjawaban oleh masyarakat yang kena dampak secara langsung.  Tentunya hal ini dibutuhkan kajian yang mendalam apakah ada atau tidaknya kontribusi pelaku usaha terhadap kerusakan lingkungan yang menyebabkan terjadinya banjir ataupun tanah longsor.

Bukan saja masyarakat yang dapat menggugat akan tetapi Organisasi Lingkungan serta Pemerintah dapat memintakan pertanggungjawaban pelaku usaha di Pengadilan. Cara yang ditempuh untuk memintakan ganti kerugian dengan melakukan gugatan Perdata, dalam hal ini dasar pertanggungjawaban yang dimaksud adalah Perbuatan Melawan Hukum (PMH) atau dengan Strict Liability (bertanggung jawab mutlak).

Perbuatan melawan hukum dalam konteks lingkungan hidup diatur dalam ketentuan Pasal 87 ayat 1 UU 32/2009 sebagaimana telah disebutkan terdahulu, sementara Strict Liability diatur dalam Pasal 88 UU 32/2009 disebutkan bahwa “Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan. Yang dimaksud dengan “bertanggung jawab mutlak” atau strict liability adalah unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayaran ganti rugi.

BACA JUGA :  Pengelolaan Sumberdaya Hutan di Era UU Omnibus Law

Perdebatannya adalah: Bukankah banjir termasuk bencana alam yang murni merupakan tindakan dari Tuhan? Tentunya jika kita kunci pernyataan bahwa banjir adalah kehendak yang maha kuasa maka sudah barang tentu Hakim tidak akan mengadili Tuhan diruang persidangan itu sendiri. Bagaimana dengan praktek Pengadilan Indonesia terkait dengan bencana alam.?

Beberapa putusan di Indonesia memperlihatkan penerapan dalih bencana alam dalam kasus-kasus di Indonesia. Misalnya Putusan terkait longsor dan banjir diputuskan bukan termasuk dalih bencana alam. Dalam hal ini pengadilan menolak dalih bencana alam apabila pengadilan melihat bahwa pihak tergugat sendiri berkontribusi dalam terjadinya kerugian. Contohnya di dalam kasus Mandalawangi (Putusan MA No: 1794 K/Pdt/2004, antara Dedi, dkk, vs Perum. Perhutani), secara khusus, pengadilan menyatakan bahwa longsor penyebab kerugian penggugat, terjadi karena, antara lain adanya “kerusakan/pencemaran lingkungan…pemanfaatan tanah tidak sesuai dengan fungsi dan peruntukannya sebagai kawasan hutan lindung…” dengan demikian, kegiatan tergugat dalam mengelola hutan, dianggap telah berkontribusi dalam terjadinya kerugian (longsor) sehingga menghapuskan faktor alam, berubah curah hujan yang tinggi dan banjir bandang, sebagai penyebab terjadi kerugian. (Dr. Andri G. Wibisana/Dosen Hukum Lingkungan, Fakultas Hukum UI dalam bukunya Penegakan Hukum Lingkungan Hidup Melalui Pertanggungjawaban Perdata: 2017, hal. 192).

Hal senada juga dikemukakan oleh Mahkamah Agung dalam putusan Sylvia H.B. Panjaitan vs Direktur Perum Perumnas Cq. Kepala Kantor Perum Perumnas Regional VII Cabang Jayapura, dkk (Putusan MA No. 2143 K/Pdt/2004). Dalam putusan ini, MA berpandangan bahwa kontribusi perbuatan Tergugat I, yang tidak membuatkan saluran pembuangan air merupakan tindakan yang melawan hukum yang mengakibatkan terjadinya banjir yang menimbulkan kerugian pada harta benda penggugat. Oleh MA, sebab alam berupa curah hujan yang tinggi tidak dianggap sebagai penyebab kerugian berupa banjir, ketika MA menemukan bahwa ada kontribusi tergugat di dalam terjadinya banjir. (Andri G. Wibisana, hal. 193).

Kedua putusan tersebut diatas membuktikan bahwa penegakan hukum lingkungan hidup di Indonesia berupa bencana alam banjir maupun tanah longsor pernah dilakukan gugatan di Pengadilan dan diputuskan bahwa pelaku usaha telah bersalah/melakukan perbuatan melawan hukum dan diwajibkan untuk melakukan ganti kerugian terhadap yang terkena dampak lingkungan. Artinya tidak selamanya dalih bencana alam tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban oleh karena alasan kehendak tuhan.


Oleh : Erdin Tahir SH
Penulis adalah Alumni Fakultas Hukum UHO

Catatan: Penulis saat ini sebagai mahasiswa S2 Universitas Indonesia, tulisan ini adalah pandangan pribadi, tidak mewakili lembaga mana pun.

 

1 KOMENTAR

  1. Sya sangat mendukung serta apresiasi tulisan saudara, yg begitu baik menguraikan serta membuka wawasan kita, minimal menjadi perhatian dalam perencaan pembangunan kedepan, masyarakat, pelaku usaha serta pemerintah daerah maupun pusat.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini